Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 59 tahun silam, tepatnya 22 Oktober 1964, filsuf asal Prancis Jean-Paul Sartre memenangkan Hadiah Nobel Sastra. Namun, penulis sekaligus aktivis politik yang lahir pada 21 Juni 1905 tersebut menolak diganjar Hadiah Nobel tersebut dengan berbagai alasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip dari bigthink.com, Sartre menolak Hadiah Nobel karena itu akan membuatnya lebih besar dari kata-kata dalam karyanya. Dengan Nobel di belakang namanya, karyanya akan diperbesar melebihi yang dikenalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, Sartre juga merasa kesal karena Hadiah Nobel dianggap hanya diberikan kepada penulis dari Barat atau pemberontak dari Timur. Sartre juga mengatakan bahwa Hadiah Nobel cenderung Eurosentris dalam setiap unsurnya.
Menurut Sartre, ia menganggap bahwa sistem Hadiah Nobel tidak sepatutnya begitu. Dilansir dari thehansindia.com, Sartre tidak mengetahui bahwa Hadiah Nobel diberikan tanpa persetujuan dari pihak penerima. Menurutnya, hal itu harus dibenahi ke depannya.
Dalam suratnya kepada Swedish Academy, pemberi penghargaan Hadiah Nobel Sastra, Sartre mengungkap dua alasan. Pertama, adalah alasan subjektif. Kedua, adalah alasan objektif.
Dalam alasan subjektif, ia menuturkan bahwa semua penghargaan yang mungkin diberikan padanya akan memberi tekanan yang tidak diinginkan kepada pembacanya. Menurut pandangannya, jika ia menandatangani dengan nama Jean-Paul Sartre, itu tidak akan sama dengan jika ia menandatangani dirinya sebagai Jean-Paul Sartre, penerima Hadiah Nobel.
Dalam alasan objektif, Sartre menganggap bahwa Hadiah Nobel hanya dibuat dan diperuntukkan oleh orang-orang Barat saja, khususnya orang-orang Eropa. Selain itu, ia menganggap bahwa Hadiah Nobel adalah penghargaan ala-ala kaum borjuis yang juga diinterpretasi oleh orang-orang borjuis pula. Sartre juga tidak ingin dirinya diinstutisionalisasi ke dalam suatu kubu, dalam konteks ini adalah Hadiah Nobel.
Sartre menolak Hadiah Nobel karena khawatir hal itu akan membatasi pengaruh karyanya. Selain itu, dia merasa kecewa bahwa situasi tersebut membuat keputusannya menolak Hadiah Nobel terlihat sebagai keputusan yang kontroversial.
Karya-karya Jean-Paul Sartre
Dilansir dari history.com, pada tahun 1943, Sartre menerbitkan salah satu karya kuncinya yang berjudul"Being and Nothingness,". Dalam buku tersebut, ia berargumen bahwa manusia terkondemnasi pada kebebasan dan memiliki tanggung jawab sosial. Sartre, dan juga Beauvoir, terlibat dalam gerakan sosial, mendukung komunisme, dan pergerakan mahasiswa radikal di Paris pada tahun 1968.
Juga pada tahun 1943, dia menulis salah satu drama paling terkenalnya, "The Flies,"dan "Huis Clos" (No Exit) pada tahun 1945. Pada tahun 1945, dia memulai sebuah novel berjudul "The Roads to Freedom" dalam empat volume, tetapi dia berhenti menulis dalam bentuk novel setelah menyelesaikan volume ketiga pada tahun 1949. Pada tahun 1946, dia terus mengembangkan filsafatnya dalam "Existentialism and Humanism."
Pada tahun 1950-an dan 60-an, Sartre mengabdikan dirinya pada studi tokoh sastra seperti Baudelaire, Jean Genet, dan Flaubert. "The Family Idiot," karyanya tentang Flaubert mencapai empat volume, tetapi hanya tiga yang diterbitkan.
HISTORY | BIG THINK | THE HANSINDIA
Pilihan editor: Mengenal Gunter Grass, Sastrawan Jerman yang Memenangi Nobel Sastra