Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA puluh tujuh tahun lalu, 1974, Teater Mandiri mementaskan Aduh di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Naskah dan penyutradaraan oleh Putu Wijaya. Pada 15-16 Juli lalu, naskah yang sama kembali dipentaskan.
Penonton yang menyaksikan pertunjukan ini 37 tahun lalu mungkin tergoda untuk tahu: apa yang terjadi dengan pertunjukan ini setelah sekian banyak perubahan terjadi di sekitar kita. Yang belum pernah menonton mungkin juga penasaran: apa yang akan dilakukan Putu Wijaya terhadap naskahnya sendiri yang legendaris itu dalam pertunjukannya. Dan Teater Mandiri sudah berusia 40 tahun. Terbayanglah sudah bagaimana aktor-aktor tua akan bermain dengan aktor yang lebih muda dalam pertunjukan mereka.
Pertanyaan itu segera terjawab. Putu melakukan aktualisasi terhadap naskahnya dengan membuat teras baru di bagian depan dan bagian akhir pertunjukan. Teras depan diaktualisasi lewat monolog Putu yang mengisahkan kekhawatiran orang tua terhadap sang anak, yang waktunya lebih banyak habis di depan komputer. Orang tua yang merasa telah gagal dalam pendidikannya sangat takut sejarah akan berulang kalau anaknya juga gagal dalam pendidikan.
Anaknya ternyata tidak gagal dalam pendidikan. Berarti sejarah tidak berulang. Tapi anaknya menolak pendidikan hanya karena di sekolah internasional, sekolah yang memberi beasiswa kepada anaknya yang pintar itu, tidak ada sejarah dan bahasa Indonesia dalam mata pelajarannya.
Aktualisasi teras bagian akhir juga dilakukan lewat monolog Putu Wijaya. Monolog ini lebih heroik karena orang tua itu bermimpi harus menyelamatkan bom agar tidak meledak di tempat yang banyak orang. Bom dia peluk sambil memanjat tiang listrik dan berteriak-teriak agar orang-orang menyingkir. Tapi orang-orang justru semakin mendekat karena benda yang dianggap sebagai bom oleh orang tua itu justru mereka lihat sebagai anak si orang tua sendiri. Kalau anak itu dilempar dari tiang listrik, dia akan celaka. Monolog tersebut membuat napas Putu Wijaya tersengal-sengal di setiap jeda teriakan yang dilakukannya. Monolog bagian akhir itu berusaha membalik pembacaan publik bahwa ancaman terorisme, yang menjadi fenomena belakangan ini, sebenarnya merupakan hasil perbuatan kita sendiri. Yang membuat dan yang menjadi korban juga diri kita sendiri.
Dua monolog itu berusaha memperlihatkan posisi yang berbeda antara generasi tua sebagai generasi yang gagal dalam pendidikan dan generasi masa kini, yang justru terancam oleh pendidikan yang ahistoris dan terorisme dalam berbagai bentuknya. Kedua monolog yang menjadi teras depan dan teras akhir pertunjukan itu diperankan Putu dengan kopiah hitam dan kostum yang juga berwarna hitam.
Di antara kedua teras itulah Aduh dipentaskan. Pertunjukan dibuka dengan permainan layar putih di belakang panggung. Teater Mandiri mulai melakukan trik, sihir ruang pertunjukan, melalui layar ini. Layar yang digerakkan menjadi media untuk permainan berbagai bentuk bayangan, blok dan garis-garis cahaya yang didominasi warna merah serta biru, juga slide video. Emosi dan karakter ruang tercipta melalui permainan layar putih ini. Ruang seperti mengeluarkan vibrasi antara yang bergetar dan bergerak.
Di depan layar terdapat gundukan level, seperti altar memanjang. Pada bibir panggung tengah, masih dalam garis pusat dengan altar di atasnya, terdapat gundukan level yang membentuk tangga hingga lantai bawah.
Segerombolan orang (Yanto Kribo, Alung Seroja, Ucok Hutagaol, Gandung Bondowoso, Buddy Setiawan, Fien Herman, Cak Winarso, Chandra, Bung Kardi, Bei Alias, Bambang Ismantoro, Agung Anom Wibisana, Sulasmoro, Eno Bening Suara, Taksu Wijaya, Dewi Pramunawati) membentuk blok kerumunan di depan layar putih itu. Mereka menyanyikan lagu: bekerja keras bagai kuda… kurasa berat… kurasa berat… beban hidupku… uuu… karya kelompok musik Koes Plus. Hampir semua aktor mengenakan kostum warna gelap dengan ikat atau tutup pada kepala mereka.
Musik lebih banyak memainkan elemen-elemen bunyi digital (seperti suara desis), yang digubah oleh Fahmi Alatas. Bunyi-bunyi digital ini berfungsi membangun karakter ruang bawah: menciptakan suasana seakan-akan ada kehidupan tersendiri di bagian lantai pertunjukan. Usaha menghidupkan lantai bawah pertunjukan melalui bunyi-bunyian itu penting karena aksi permainan tokoh Yang Sakit (diperankan Wendy Nasution), penderita yang terus mengaduh dan mengeluarkan suara-suara keluhan lainnya, hampir 99 persen berada dalam posisi terbaring di lantai.
Wendy memainkan peran ini dengan kepala gundul, mirip seorang biksu. Mengenakan jubah putih dan selendang merah yang membalut bagian tengah tubuhnya dari pinggul hingga leher. Aktor-aktor dalam kerumunan itu melakukan berbagai aktivitas lisan yang saling membantah. Aktivitas lisan ini bergerak dari usaha mengidentifikasi asal-usul tokoh yang sakit ini, sakit yang dideritanya, hingga bagaimana cara menolongnya. Tapi, sampai akhir pertunjukan, mereka hanya sibuk berbicara dan berbantah satu sama lainnya tanpa tindakan.
Gerombolan yang memperlihatkan moral yang panik, chaos dalam diri mereka masing-masing pada cara-cara mereka memaknai hubungan satu sama lainnya; penuh kecurigaan dan kerumitan dalam menanggapi kehadiran orang asing (tokoh yang sakit itu). Seluruh aktivitas yang gokil ini pada gilirannya mengubah aktivitas kelisanan mereka menjadi aktivitas kelatahan. Gerombolan yang banyak bicara tapi nol tindakan. Gerombolan ini cenderung mempersonifikasi tubuh mereka dengan posisi tubuh mirip sekerumunan serigala yang mengincar korban mereka: siap menerkam.
Dalam kesempatan-kesempatan tertentu, tokoh Yang Sakit justru menyelinap di antara gerombolan itu hingga memperlihatkan pembacaan lain: siapa sih sebenarnya yang sakit, tokoh yang sakit itu atau gerombolan itu. Perubahan posisi yang dilakukan tokoh Yang Sakit beberapa kali terjadi: kadang duduk di altar, membentuk posisi seorang biksu yang melakukan ritual.
Pola pengadeganan dibuat seperti memiliki bagian-bagian. Setiap bagian dipisah melalui gerombolan aktor yang bergerak bersama menuju layar putih, dan kembali bernyanyi betapa berat… betapa berat… beban hidupku… uuu… dengan membelakangi penonton. Pertunjukan berakhir dengan bergeraknya massa dari belakang layar putih. Mereka mengangkat bibir layar putih itu hingga seluruh bangunan layar putih seperti berubah menjadi sebuah atap melengkung (setengah lingkaran) yang dijaga bersama agar tidak runtuh.
Perubahan signifikan yang terjadi dalam pertunjukan ini adalah aktor-aktor Teater Mandiri tidak lagi menggunakan vokal dan koreografi yang keras, yang sebelumnya hampir mewarnai seluruh pertunjukan Teater Mandiri. Koreografi dan sikap tubuh aktor juga berusaha menutupi sebagian aktor Teater Mandiri yang sudah atau hampir berusia 50 tahun.
Aduh akhirnya menjadi sebuah pertunjukan yang tidak sakit, juga tidak menyakitkan lagi. Dia hampir menjadi pertunjukan yang manis. Menghasilkan alternatif pembacaan bahwa kesakitan kini memang telah menjadi hiburan: bahwa penderitaan sudah menjadi barang hiburan dalam dunia kontemporer kita. Alternatif pembacaan ini jauh lebih signifikan daripada cara Putu Wijaya membuat teras baru melalui monolognya untuk pertunjukan ini.
Strategi membawa waktu aktual ke dalam Aduh memperlihatkan cara mengesankan Putu membiarkan dirinya terseret dalam pembacaan pasar agar pertunjukannya tetap dianggap aktual, dan merusak substansi Aduh itu sendiri.
Aduh adalah naskah penting yang dihasilkan seniman teater di Indonesia. Ia memperlihatkan chaos pada cara-cara kita menjalankan politik identitas, cara kita memandang diri sendiri baik sebagai sebuah bangsa maupun sebagai individu. Dua teras monolog itu rasanya telah memenggal bagian kepala dan kaki naskah Aduh menjadi pertunjukan yang tanpa kepala dan tanpa kaki untuk menjalankan politik pembacaan dalam melihat realitas kehidupan bersama kita.
Afrizal Malna, penyair
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo