Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memasuki ruang pameran ini, saya seperti memasuki sebuah pameran esai kuratorial yang terbagi dalam tiga ruang. Tubuh saya seperti terbelah antara memasuki sebuah mal dalam museum dan sebuah mal yang telah dimuseumkan.
Kota Zurich yang mengitari pameran di Landesmuseum ini, dengan pertokoan dan kantor bank di sekitarnya, seperti bayangan besar yang ikut masuk ke ruang pameran ini. Pameran untuk memperlihatkan kehancuran dari keortodoksan modernisme, sekaligus sebagai kuburan dari postmodernisme.
Ketiga pembagian ruang itu dihadang oleh sebuah foto besar tentang dihancurkannya apartemen modern, Pruitt-Igoe, di St Louis, Amerika, pada 1972. Foto ini berdampingan dengan karya Alessandro Mendini, Monumentino da Casa, 1974, yang menampilkan patung kursi dengan keempat kakinya yang meleleh. Sebuah ruang pintu masuk pameran yang menandai akhir modernisme dan awal postmodernisme.
Pameran ini merupakan kelanjutan dari pameran sama yang sebelumnya berlangsung di Museum Victoria & Albert, di London. Lalu dilengkapi dengan karya dari seniman-seniman Swiss dalam pameran yang sama di Landesmuseum Zurich. Karya yang dipamerkan melibatkan seniman seperti Aldo Rossi, Ai Weiwei, Vivienne Westwood, Andy Warhol, Talking Heads, Ridley Scott, dan Laurie Anderson. Sedangkan dari Swiss, ada seniman seperti Fischli & Weiss, Mario Botta, Yello, Trix, Robert Haussmann, dan Pipilotti Rist. Ada 150 karya yang dipamerkan. Kurator pameran dilakukan oleh Glenn Adamson dari Museum V & A London dan Christina Sonderegger, kurator dari Swiss National Museum.
Ketiga pembagian ruang pameran ini mencakup tema: arsitektur; desain, musik, grafis, performance, dunia mode, kehidupan diskotek, serta problem sekitar komersialisasi dan konsumerisme. Ketiganya memperlihatkan bagaimana prinsip postmodernisme dilakukan: kebudayaan subkultur seperti arsitektur, mode, musik pop, desain produk, kehidupan diskotek, berbagai produk budaya massa yang sebelumnya tidak dianggap sebagai karya seni, dalam postmodernisme mendapat ruang. Seni dan desain mendapat ruang kemungkinannya yang lebih luas. Persilangan, mediasi, dan percepatan dianggap lebih penting daripada isi dalam memproduksi makna.
Ruang pertama dibuka dengan karya Andy Warhol, sebuah drawing yang menggambarkan figur Mao Tse Tung. Drawing dengan garis yang tegas, tidak lagi mereproduksi ilusi kesenian. Informasi tentang figur Mao diperlihatkan lebih penting daripada referensi kesenian. Sebuah karya yang memperlihatkan bahwa apa yang kita lihat adalah apa yang kita lihat. Tidak lagi memerlukan rujukan.
Setelah itu, berbagai karya di sekitar arsitektur memenuhi ruang pertama ini. Antara lain karya arsitektur postmodernis di Las Vegas dari arsitek Amerika, Robert Venturi dan Denise Scott Brown, 1972. Karyanya menggambarkan perpaduan arsitektur klasik yang dianggap tinggi, dan dipadukan dengan arsitektur dari kultur urban yang sebelumnya dianggap rendah. Ruang pertama ini diakhiri dengan karya Fiischli & Weiss dari Swiss. Sebuah video yang menggambarkan berbagai aksi dari rangkaian obyek yang saling menghancurkan. Setiap aksi penghancuran mendorong dan melahirkan gerakan baru dan penghancuran baru yang lainnya. Karya video ini salah satu yang dipadati pengunjung, termasuk anak-anak.
Ruang kedua berisi karya yang memenuhi tema "perang gaya dan fose". Ruang ini dipenuhi berbagai desain produk dari furnitur, mode pakaian, lampu hias warna-warni, pertunjukan musik dan klip video. Ruang pertunjukan musik dibuat sedemikian rupa, seakan-akan kita sedang berada di tengah-tengah ruang pertunjukan yang sedang berlangsung. Penonton bisa duduk di deretan sofa mewah, sambil menyaksikan layar lebar dari berbagai pertunjukan musik pop. Sayap kiri dan kanan panggung dibatasi dengan etalase pameran mode. Ruang ini termasuk yang paling banyak diminati penonton.
Kedua ruang 1 dan 2 pameran ini seperti menjebak penonton untuk tidak lagi membaca pameran ini melalui persepsi di sekitar dunia kesenian, tapi membawa mereka kembali ke kehidupan sehari-hari yang dikelilingi berbagai desain produk. Ruang yang pada satu sisi memperlihatkan prinsip seni postmodern di sekitar keberagaman bentuk, warna, cahaya, orientasi, dan kebebasan.
Pada sisi lain, kedua pembagian ruang pameran itu membawa pengunjung berhadapan dengan relativitas dunia seni: seni dan bukan seni diperlakukan sebagai lapisan-lapisan yang pecah, ledakan-ledakan kemungkinan. Pecahan yang tidak bisa diintegrasikan atau dicari kesatuannya. Jebakan ruang yang pada gilirannya mendesak pengunjung untuk memiliki persepsinya sendiri. Tubuh pengunjung tidak lagi diposisikan sebagai "menonton" karya seni yang berjarak, tapi dibawa masuk ke ruang karya seni. Tubuh pengunjung dilibatkan ke berbagai sensasi bentuk, warna, cahaya, suara, dan gambar.
Kedua pembagian ruang pameran ini seperti memperlihatkan konflik ruang dan waktu dari modernisme dalam memposisikan sejarah. Terutama dalam membaca masa lalu dan masa kini yang selalu dilampaui oleh masa depan, sebelum masa depan itu berlangsung sebagai masa kini. "Belajar masa depan dari masa lalu" merupakan kredo yang pernah dimunculkan dalam Biennale Arsitektur Venice, 1980. Konflik ruang dan waktu yang dijadikan argumen dalam postmodernisme untuk mengalirkan kekinian dari masa lalu.
Sedangkan ruang ketiga menyatakan berakhirnya postmodernisme pada akhir 1980-an. Ruang ini berisi karya-karya yang menampilkan komersialisasi, konsumerisme, percepatan, dan hedonisme. Protect Me From What I Want, 1985, karya Jenny Holzer dari Amerika, yang hurufnya menggunakan neon sign, menampilkan ruang makna yang diserahkan kepada pengunjung untuk mempertanyakannya sendiri. Perupa Cina, Ai Weiwei, menyuguhkan karya berupa sebuah guci Cina berusia 2.000 tahun yang ditempeli logo Coca-Cola pada badannya.
Glenn Adamson, kurator pameran ini, melihat postmodernisme bukanlah sebuah gerakan. Ia hanya sebuah argumen. Argumen yang membedakan modernisme atas cara melihat dunia sebagai jendela yang transparan. Postmodernisme melihat dunia sebagai cermin pecah, bayangan pecah, dan kabur. Postmodernisme dianggap telah berakhir, tapi meninggalkan gagasan penting untuk membaca peta ruang dan waktu yang kita miliki sebagai lapisan-lapisan yang hancur. Ini merupakan jalan terbaik untuk merasakan masa lalu yang belum terlalu berlalu.
Afrizal Malna (Zurich)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo