Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Hikayat Seniman Asia di Documenta

Documenta, pameran seni rupa di Kassel, Jerman, yang berlangsung tiap lima tahun sekali, kali ini banyak menampilkan perupa Asia.

27 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Hikayat Seniman Asia di Documenta
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Documenta, hajatan seni rupa kontemporer yang dianggap paling penting dalam beberapa dekade terakhir, telah menginjak usia 65 tahun ini, dan pada 2012 ini memasuki penyelenggaraan yang ke-13. Kali ini dOCUMENTA dikuratori Carolyne Christov Bakergiev, yang sebelumnya sukses mengawal Sydney Biennale 2008.

Semenjak 22 Juni lalu, kota kecil di Jerman, Kassel, sampai 16 September nanti, dipadati praktisi seni dari seluruh penjuru dunia. Sekitar sebulan setelah itu, hampir semua ulasan atas pameran ini menunjukkan penilaian yang positif terhadap kerja kurator, seniman, dan penyelenggara, yang dipersiapkan lebih dari tiga tahun.

Saya sendiri melihat, secara umum, dOCUMENTA kali ini berhasil menunjukkan bahwa di antara gemuruh politik ekonomi dan komodifikasi seni, seniman dari seluruh penjuru dunia tetap bekerja keras menciptakan sebuah ruang dengan jarak tertentu atas realitas, tempat kemanusiaan dan peradaban dibicarakan dan dipertanyakan kembali.

Kontestasi antara seni yang menawarkan dimensi sosial politik yang kuat dan seni yang mencoba memaknai sejarah dan definisi seni itu sendiri, ketimbang merujuk pada perdebatan mana yang lebih baik atau lebih berharga, justru menunjukkan betapa kayanya kemungkinan atas seni, dan betapa besarnya pengaruhnya pada cara kita melihat dunia.

Yang menarik, kuratorial Bakergiev, meski ia sendiri menolak menyebut satu gagasan besar sebagai bingkai kuratorialnya, menuntun pada relasi antara seni dan sejarah, terutama menempatkan bagaimana praktek seni dilihat dalam konstelasi sosial politik dunia yang semakin kompleks dewasa ini. Khusus untuk memperdalam relasinya terhadap pembacaan sejarah, Bakergiev mengambil dua negara sebagai fokus sampingan: Afganistan dan Mesir, sehingga proyek ini diperluas di Kabul, Bamiyan (Afganistan), dan Alexandria (Mesir). Bersama beberapa kurator lain yang menjadi "agen", Bakergiev mengundang para seniman untuk membicarakan isu tentang Kabul dalam perspektif yang berbeda dengan apa yang selalu diangkat oleh media.

Dan, saya kira, banyak karya yang berangkat dari fokus tentang Afganistan dan Mesir ini menjadi karya yang memperkuat dOCUMENTA 13. Fokus pada dua tempat ini juga membuat partisipasi seniman Timur Tengah dalam dOCUMENTA menjadi cukup menonjol, meski tidak semua seniman yang terlibat dalam proyek Afganistan/Mesir ini berasal dari jazirah tersebut.

Di Otoneum, misalnya, dipamerkan satu proyek khusus tentang Kabul, yang sebagian besar menampilkan seniman Afganistan dari generasi muda, baik yang tinggal di Kabul maupun yang sekarang bermukim di negara lain. Mereka terutama banyak menggunakan arsip dan dokumentasi sejarah untuk membicarakan kembali isu yang tak sempat menguak atau memberi perspektif baru pada persoalan mainstream yang dikendalikan media massa.

Proyek yang dilakukan para seniman di Kabul ini sederhana, jauh dari kesan masif, tapi relevan dengan konteks sejarah mereka. Jeanno Gaussi, misalnya, yang pergi dari Kabul pada pertengahan 1970-an dan sekarang tinggal di Berlin. Ia menelusuri kembali potret lama keluarganya, kemudian meminta seorang pelukis foto di Afganistan membuat reproduksi foto-foto itu, dan melihat sejarah diri, sejarah keluarga, dan sejarah Afganistan dari sisi yang berbeda selama proses pembuatan lukisan (ia merekam wawancara dan percakapan dengan si pelukis).

Lida Abdul memutar video dua layar, tentang seorang laki-laki yang berenang di sebuah danau hijau di dekat Kabul, memegang bendera. Ia berusaha keluar dari danau itu, tapi selalu kehilangan keseimbangan, bahkan akhirnya tenggelam. Bersamaan dengan ekspose atas gambar yang indah, kita mengikuti jalan pikirannya, melalui subteks yang sangat filosofis. Sebuah metafor yang puitik tentang perjuangan menegakkan kedaulatan.

Berangkat dari situ, saya ingin memfokuskan tulisan ini pada karya seniman Asia, karena saya sendiri tertarik melihat hal penting dari seniman Asia dalam menampilkan keberagaman nilai estetika dalam sejarah seni kontemporer global dewasa ini. Tentu saja ada banyak karya yang sangat menarik dari seniman Eropa/Amerika, tapi saya kira penting untuk merekam dan mencatat bagaimana seni Asia sekarang dirayakan melampaui posisinya sebagai "sang liyan", dan menjadi bagian penting dalam seni rupa kontemporer yang tidak tunggal.

Selain lebih dari 20 seniman Timur Tengah, dalam dOCUMENTA kali ini, Asia diwakili 4 seniman India, 3 seniman Thailand, 2 seniman Kamboja, 2 seniman Cina, dan 1 seniman Vietnam. Jumlah ini jauh lebih besar dibanding representasi Asia pada Venice Biennale 2011, yang memamerkan karya dua seniman, Song Dong dan Dayanitha Singh.

Seniman Asia yang mencuri perhatian adalah Pratchaya Pimthong (Thailand), yang melakukan penelitian mengenai epidemi masif di Afrika yang disebabkan oleh lalat tse-tse. Ia mempelajari bagaimana pembiakan lalat ini dan bagaimana lingkungan hidup yang tidak kondusif membuat nyawa-nyawa manusia tetap terbuang. Alih-alih menyajikan karya instalasi atau olah arsip dari penelitiannya, Pratchaya memamerkan sepasang lalat mati, dipajang dalam kotak kaca. Karyanya ini merupakan salah satu yang mewakili seni konseptual radikal dalam dOCUMENTA 13, selain misalnya karya konseptual yang ditampilkan Jimmi Durham.

Bertentangan dengan Pratchaya, Dinh Q Le dari Vietnam menampilkan arsip yang berkaitan dengan sejarah seni rupa Vietnam dan bagaimana menempatkan seni rupa Vietnam dalam peta dunia. Ia memutar video dokumenter tentang kehidupan para seniman ini, termasuk yang menceritakan relasi Ho Chi Minh (Uncle Ho) dengan dunia seni, dari seni modern di Eropa hingga dukungan Uncle Ho terhadap pertumbuhan seniman Vietnam. Dalam rumah kayu di tamah Kassel, Le memajang karya seniman Vietcong, baik dari Utara maupun Selatan, yang diciptakan selama Perang Vietnam berlangsung.

Song Dong dari Cina menciptakan bukit kecil yang masif di tengah padang rumput di depan gedung megah Orangerie. Sepintas karya ini kelihatan menyatu dengan lingkungan sekitarnya, tampak sebagai bagian lanskap yang alamiah dari situs ini. Yang membedakan, Song Dong menempatkan lampu neon warna-warni dalam karakter huruf Cina, yang bisa ditafsir dalam banyak pengertian. Menurut Song Dong, Doing Nothing merujuk pada percakapan awalnya dengan Bakergiev, yang tidak punya konsep khusus dalam kuratorialnya sehingga, sebagai seniman, ia pun tidak menciptakan apa-apa.

Nalini Malini menampilkan karya video yang mengambil bentuk-bentuk animasi yang secara visual mengingatkan kita pada mitologi, dengan teknologi yang memproyeksikan gambar langsung ke tembok dalam bentuk bayangan, seperti wayang. Amar Kanwar, yang kemarin sempat memamerkan karyanya di Jogja Biennale 2011, kembali ke dOCUMENTA untuk ketiga kalinya. Karyanya berangkat dari keinginannya menelusuri pengaruh pertumbuhan bangunan industri dan pabrik di sebuah kota di India, yang meningkat dalam jumlah masif terhadap kehidupan masyarakat sekitar dalam berbagai aspek. Ia terutama berfokus pada isu alam dan lingkungan hidup (termasuk pertanian), tapi masuk pada hilangnya kebajikan-kebajikan lokal.

Dua ruang besar di Ottoneum diisinya dengan video-video yang puitik dan nostalgik berbentuk buku dengan kisah seperti pengantar tidur, juga hasil pertanian yang beragam. Sebuah film dokumenter terbarunya diputar di ruang utama, tetap dengan nuansa yang menyentuh, menggugah, mengajak berpikir, dan mengganggu, tapi kita mendapatkan perasaan terpuaskan dalam mencari nilai estetik.

Seniman India yang lain, Tejal Sjah, menampilkan video dengan imaji dan fantasi yang radikal atas tubuh perempuan, seksualitas, dan konsep sadomasokis(me) dalam konteks ritual yang seperti dekat, tapi juga asing. Sebagaimana karya-karya Tejal Sjah sebelumnya, gambar-gambar yang ia tampilkan secara langsung menusuk perasaan kita, mempertanyakan kembali apa yang kita terima sedemikian adanya dalam khazanah kemanusiaan.

Kembali pada poin awal saya, memang tidak bisa membandingkan begitu saja dOCUMENTA dengan Venice Biennale. Memang salah satu poin yang kurang menarik dari Venice Biennale 2011 adalah estetika yang terlalu "seragam", yang terutama berpijak pada gagasan seni Barat. Seni Asia, meskipun sering kali yang membawa nilai-nilai tradisi itu dianggap melulu eksotik, pada kenyataannya memberikan warna baru dalam khazanah kontemporer global. Seniman Asia sesungguhnya juga bisa dirujuk pada seniman-seniman Amerika Selatan, menunjukkan pendekatan berbeda tentang bagaimana merepresentasikan sejarah dalam visi estetika tertentu. Mereka mempertemukan narasi personal, sejarah peradaban dalam gambaran besar, mengintegrasikan mitologi dengan realitas, semua dijukstaposisi dalam lapis-lapis interpretasi yang harus dibuka satu per satu.

Hal-hal inilah yang tampak cukup menonjol dalam dOCUMENTA, di mana seniman Asia menjelajahi sejarah dan konteks lokal, tetap menonjolkan elemen visual lokal, meskipun dalam lingkup sistem dan kode seni global. Jika meminjam bahasa jadoel yang sangat esensial dalam sejarah seni rupa kita, memang terasa seni Asia itu punya "jiwa ketok".

Sebagai salah satu hajatan terbesar, persiapan dOCUMENTA melibatkan jejaring dan riset yang lebih lama. Bakergiev pun punya cukup waktu untuk melakukan perjalanan ke beberapa bagian negara Asia untuk mencari proyek seni yang menarik. Mungkin kemewahan ini yang tidak banyak didapatkan kurator Eropa lain. Indonesia sendiri belum pernah mewakilkan senimannya dalam sejarah dOCUMENTA. Melihat apa yang dicapai dOCUMENTA 13, rasanya jalan menuju ke sana masih terasa jauh betul; terlalu banyak pekerjaan rumah untuk dibereskan sehingga seniman kita sampai pada kualitas yang menggetarkan semacam karya-karya di dOCUMENTA.

Alia Swastika (Kassel)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus