Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENULIS puluhan buku, Achdiat Kartamihardja selalu dikenang dengan romannya yang ”monumental”, Atheis, 1949. Karya ini memperoleh Penghargaan Tahunan Pemerintah Indonesia 1969. Almarhum Sumandjaja kemudian mengangkatnya ke dalam format sinema, pada 1974.
Nama Achdiat Kartamihardja sering dikacaukan dengan Aoh Karta Hadi madja, abang penyair-biografer Ramadhan Karta Hadimadja. Kebetulan, ketiganya sama-sama penulis, pernah menjadi wartawan, datang dari bumi Priangan, biasa hidup di luar Tanah Air, dan kini sama-sama almarhum. Achdiat, yang suka memanggil dirinya ”Aki”, wafat di rumahnya di Canberra, Australia, Kamis pekan lalu, pukul 08.40 waktu setempat.
Lahir di Cibatu, Garut, Jawa Barat, pada 6 Maret 1911, Achdiat melewatkan masa kecilnya sebagai anak priayi Sunda. Ayahnya, Kosasih Kartamihardja, pegawai sebuah bank di Garut. Ibunya adik Wedana Ciawi, Tasikmalaya. Sang ayah ternyata mengoleksi karya sastra dunia dari William Shakespeare, Alexander Dumas, Leo Tolstoy, dan Multatuli. Buku-buku itulah yang pertama kali mendorong Achdiat menjadi penulis.
Entah mengapa, dari AMS (setingkat sekolah menengah atas) Jurusan Bahasa dan Sastra Barat di Bandung, ia pindah ke AMS Solo, Jawa Tengah, Jurusan Bahasa dan Sastra Timur. Di kota ini ia tinggal di rumah dokter Sulaeman Mangunhusodo, anak dokter Wahidin Sudirohusodo, penggagas berdi rinya Boedi Oetomo. ”Di rumah ini saya banyak belajar,” kata Achdiat sekali waktu.
Semasa dengan Amir Hamzah dan Sanusi Pane, tadinya Achdiat ingin meneruskan studi ke fakultas hukum. Tapi, ketika itu zaman malaise—krisis ekonomi dunia—dan ayahnya sudah pensiun pula. Anak kedua dari tujuh bersaudara itu pun langsung bekerja, berpindah-pindah di sejumlah media massa, sebelum menjadi Kepala Redak si Balai Poestaka. Sambil bekerja, ia mengikuti kuliah nongelar filsafat Barat di Universiteit van Indonesia.
Setelah Atheis, makin kentaralah kecamaran Achdiat pada pergulatan pi kir an. Kecenderungan itu tampil kuat pada Debu Cinta Bertebaran, no vel 419 halaman yang diterbitkan di Singapu ra, pada 1973. Dalam Manifesto Khali fatullah, yang diluncurkan di Jakarta pada 2005, corak ”novel pikiran” itu semakin menjadi-jadi. Di tengah kebangkitan intelektual muda Indonesia, yang bersimpang-siur dengan berbagai arus pikiran klasik dan modern, apa boleh buat, ”novel pikiran” semacam itu tidak lagi terasa menawarkan sesuatu yang baru dan unik.
Mungkin pula saking lamanya menetap di negeri orang, sejak 1961, Achdiat seperti kehilangan kepekaan terhadap perkembangan kecerdasan para pembaca muda di Tanah Air. Ia, misalnya, menyebut Manifesto bukan novel, melainkan ”kispan”—kisah panjang—tanpa mendefinisikan perbedaan itu secara meyakinkan.
Pada peluncuran Manifesto, Achdiat sudah mulai tertatih-tatih dan mengeluhkan penglihatannya yang semakin lemah. ”Itulah pertemuan kami terakhir,” kata Ajip Rosjidi, pengarang dan perawat kesastraan Sunda yang kini bermukim di Mungkid, Magelang, Jawa Tengah. Berbeda usia sebelas tahun, keduanya pernah berkhidmat di Pusat Studi Kebudayaan Sunda, Badan Pangulik Budaya.
Sebelumnya, ”Aki” rajin menulis surat kepada Ajip, dalam bahasa Sunda. Belakangan, ”Ketika dia sudah tak mampu menulis, ia tampaknya menyuruh orang yang menuliskan,” Ajip bercerita kepada Cheta Nilawaty dari Tempo. ”Akhirnya, bahasa Sundanya jadi aneh.”
Sepekan sebelum wafat, pensiunan Lektor Kepala Australian National University, Canberra, itu sempat dira wat di ruang gawat darurat Canberra Hospital. Pengidap diabetes kronis itu terkena serangan jantung. ”Baru Selasa kemarin pulang ke rumah, sadar, dan terlihat sehat,” kata cucunya, Santi Dahlan, kepada Tempo. Dari istrinya, Suprapti Noor, Aki dianugerahi empat anak, sepuluh cucu, dan tujuh cicit. Nun di negeri jauh, di Pemakaman Woden, Canberra, sang Aki berlabuh abadi.
Amarzan Loebis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo