JANGAN KIRIMI AKU BUNGA
cerifa Norman Barrasch & Carroi Moore, diterjemahkan dan
disutradarai Wahab Abdi. Produksi bersama Yayasan Teater
Nasional & Yayasan Jantung 'Dewi Sartika'
SEBENARNYA ia sehat-sehat saja. Tapi Anton Sunarya (H. Mansur
Syah) toh merasa selalu sakit. Ia bahkan masih merasakan sakit
pada jarinya yang terluka oleh silet 2 tahun silam. Menjadi
pegawai tinggi pada sebuah perusahaan, jaminan kesehatan secara
gratis, memudahkan baginya untuk setiap saat mendatangkan dokter
perusahaan. Justru pada salah satu kunjungan dokter (Deddy
Sutomo) itulah komedi ini mendapatkan titik tolaknya.
Soalnya sebenarnya amat sederhana, salah pengertian karena salah
dengar. Yang dipercakapkan lewat telepon oleh sang dokter adalah
pasien lain -- "Washington Sihombing yang tua bangka" dan akan
mati dalam dua pekan -- yang diterima Anton sebagai dirinya.
Nah, karena merasa akan mati dalam waktu dekat itulah ia
melakukan persiapan mendadak. Anton memesan tanah pekuburan.
Tapi yang amat merisaukannya adalah isterinya, Yetty (Rahayu
Effendy), yang muda belia dan 'sangat tergantung pada diriku."
Anton bukan saja merencanakan lapangan kerja bagi Yetty --
perempuan itu harus mengambil berbagai kursus -- bahkan calon
suami ia pikirkan. Pilihan jatuh pada Zulkarnaen (llendra Cipta),
teman sekolah, perjaka ganteng dan kaya.
Iktikad baik Anton ternyata menimbulkan kecurigaan sang isteri.
Konflik muncul dari sini. Ada perempuan lain?
Yetty membayangkan yang tidak-tidak. Dan bayangan itu diwujudkan
oleh sutradara, Wahab Abdi, di atas pentas dalam sorotan cahaya
suram. Di sini teknis sorot balik (flashback) -- amat lazim
dalam film -- menjadi media bagi perasaan tokoh cerita. Ketika
Anton risau akan hari depan Yetty, lampu suram dan muncul sorot
balik. Lebih dari sekali.
Yetty juga diberi kesempatan membayangkan Anton lagi asyik
dengan ceweknya yang sebenarnya tidak ada. Bahkan Anton dan
pengacaranya, Parto (Usbanda), secara bersama mempunyai bayangan
yang sama tentang hari depan Yetty. Ini adegan amat mengingatkan
sebuah adegan film Indonesia yang menggambarkan 3 orang
pemainnya pada saat yang sama mempunyai mimpi yang sama. Tentu
tak perlu lagi diperdebatkan, bagaimana mungkin?
Bau film nampaknya memang sulit dihindarkan dari pertunjukan
ini. Di atas pentas Teater Arena -- yang ditata rapi nyaris
bagai set pada sebuah studio film -- bermain para bintang film
yang juga diatur oleh seorang sutradara film. Sayangnya semangat
berfilm tidak secara merata melatar-belakangi para pemain.
Usbanda dan Bung Salim (agen perusahaan penguburan), misalnya
lebih dulu berteater sebelum tampil di depan kamera. Semangat
teaternya di pentas memang lebih menonjol dari yang lainnya,
yakni teman-temannya yang sebenarnya juga tidak asing dengan
panggung.
Hasilnya, tampak pada perbedaan intensitas hubungan dengan peran
Rahayu Effendi, misalnya. Di banyak bagian ia memang mainkan
tokoh Yetty secara komis sekaligus subtil. Pada bagian lain ia
tampil secara melodramatis. Bertahan dengan semangat film adalah
Hendra Cipta. Bintang film ini boleh dipuji dalam ketekunannya
menghapal dialog.
Dalam soal dialog -- juga bentuk akting -- barangkali para
pemain tidak seluruhnya harus bertanggungjawab. Kalau di atas
pentas masih tercium negeri sono, asal cerita, tentulah karena
kerja penyadur sebaiknya harus lebih rapi. Bagi penonton yang
mencoba melihat Anton Sunarya dan Yetty sebagai orang Indonesia,
rasa risih melihat tingkah laku di pentas memang tak
terhindarkan. Spontanitas Zulkarnaen dan Yetty dalam pertemuan
mereka pastilah masih asli dan khas Barat. Dan sejumlah dialog
yang menyebut nama Tuhan jelas mudah ditemukan dalam kalimat
pendek: "Oh, God," atau "Jesus Christ "
Para penonton berjubel. Di akhir pertunjukan -- berlangsung lama
dan kadang-kadang lamban -- mereka meninggalkan Teater Arena
dengan mengenang akhir kisah: Yetty dan suaminya kembali rukun.
Anton ternyata tidak sakit jantung dan berjanji menjauhi
penyakit waswas.
Salim Said
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini