Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Akibat was-was

Cerita: norman barrasch & carrol moore sutradara: wahab abdi produksi: yayasan teater nasional. resensi: salim said. (ter)

3 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JANGAN KIRIMI AKU BUNGA cerifa Norman Barrasch & Carroi Moore, diterjemahkan dan disutradarai Wahab Abdi. Produksi bersama Yayasan Teater Nasional & Yayasan Jantung 'Dewi Sartika' SEBENARNYA ia sehat-sehat saja. Tapi Anton Sunarya (H. Mansur Syah) toh merasa selalu sakit. Ia bahkan masih merasakan sakit pada jarinya yang terluka oleh silet 2 tahun silam. Menjadi pegawai tinggi pada sebuah perusahaan, jaminan kesehatan secara gratis, memudahkan baginya untuk setiap saat mendatangkan dokter perusahaan. Justru pada salah satu kunjungan dokter (Deddy Sutomo) itulah komedi ini mendapatkan titik tolaknya. Soalnya sebenarnya amat sederhana, salah pengertian karena salah dengar. Yang dipercakapkan lewat telepon oleh sang dokter adalah pasien lain -- "Washington Sihombing yang tua bangka" dan akan mati dalam dua pekan -- yang diterima Anton sebagai dirinya. Nah, karena merasa akan mati dalam waktu dekat itulah ia melakukan persiapan mendadak. Anton memesan tanah pekuburan. Tapi yang amat merisaukannya adalah isterinya, Yetty (Rahayu Effendy), yang muda belia dan 'sangat tergantung pada diriku." Anton bukan saja merencanakan lapangan kerja bagi Yetty -- perempuan itu harus mengambil berbagai kursus -- bahkan calon suami ia pikirkan. Pilihan jatuh pada Zulkarnaen (llendra Cipta), teman sekolah, perjaka ganteng dan kaya. Iktikad baik Anton ternyata menimbulkan kecurigaan sang isteri. Konflik muncul dari sini. Ada perempuan lain? Yetty membayangkan yang tidak-tidak. Dan bayangan itu diwujudkan oleh sutradara, Wahab Abdi, di atas pentas dalam sorotan cahaya suram. Di sini teknis sorot balik (flashback) -- amat lazim dalam film -- menjadi media bagi perasaan tokoh cerita. Ketika Anton risau akan hari depan Yetty, lampu suram dan muncul sorot balik. Lebih dari sekali. Yetty juga diberi kesempatan membayangkan Anton lagi asyik dengan ceweknya yang sebenarnya tidak ada. Bahkan Anton dan pengacaranya, Parto (Usbanda), secara bersama mempunyai bayangan yang sama tentang hari depan Yetty. Ini adegan amat mengingatkan sebuah adegan film Indonesia yang menggambarkan 3 orang pemainnya pada saat yang sama mempunyai mimpi yang sama. Tentu tak perlu lagi diperdebatkan, bagaimana mungkin? Bau film nampaknya memang sulit dihindarkan dari pertunjukan ini. Di atas pentas Teater Arena -- yang ditata rapi nyaris bagai set pada sebuah studio film -- bermain para bintang film yang juga diatur oleh seorang sutradara film. Sayangnya semangat berfilm tidak secara merata melatar-belakangi para pemain. Usbanda dan Bung Salim (agen perusahaan penguburan), misalnya lebih dulu berteater sebelum tampil di depan kamera. Semangat teaternya di pentas memang lebih menonjol dari yang lainnya, yakni teman-temannya yang sebenarnya juga tidak asing dengan panggung. Hasilnya, tampak pada perbedaan intensitas hubungan dengan peran Rahayu Effendi, misalnya. Di banyak bagian ia memang mainkan tokoh Yetty secara komis sekaligus subtil. Pada bagian lain ia tampil secara melodramatis. Bertahan dengan semangat film adalah Hendra Cipta. Bintang film ini boleh dipuji dalam ketekunannya menghapal dialog. Dalam soal dialog -- juga bentuk akting -- barangkali para pemain tidak seluruhnya harus bertanggungjawab. Kalau di atas pentas masih tercium negeri sono, asal cerita, tentulah karena kerja penyadur sebaiknya harus lebih rapi. Bagi penonton yang mencoba melihat Anton Sunarya dan Yetty sebagai orang Indonesia, rasa risih melihat tingkah laku di pentas memang tak terhindarkan. Spontanitas Zulkarnaen dan Yetty dalam pertemuan mereka pastilah masih asli dan khas Barat. Dan sejumlah dialog yang menyebut nama Tuhan jelas mudah ditemukan dalam kalimat pendek: "Oh, God," atau "Jesus Christ " Para penonton berjubel. Di akhir pertunjukan -- berlangsung lama dan kadang-kadang lamban -- mereka meninggalkan Teater Arena dengan mengenang akhir kisah: Yetty dan suaminya kembali rukun. Anton ternyata tidak sakit jantung dan berjanji menjauhi penyakit waswas. Salim Said

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus