Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mumpung film sepi ?

Yatena (yayasan teater nasional) berdiri oktober 1976, menampung semangat eks atni di bidang teater dan film. yatena ingin menjadi anggota international theater institut. (ter)

3 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKADEMI Teater Nasional Indonesia (ATNI) sudah meninggal. Tapi orang ATNI sekarang masih gentayangan. Mereka bekerja di film, tv, teater, radio dan sebagainya. Seakan ATNI masih saja hidup. Ini disokong pula oleh adanya YATENA (Yayasan Teater Nasional), berdiri Oktober 1976 yang menampung semangat profesional eks-ATNI di bidang teater dan film. Untuk periode 1976-1979 ketua umum Yatena adalah Pramana Padmodarmaja. Yayasan ini memiliki "dewan produser" yang terdiri dari Kasim Akhmad, Sukarno M. Noor, Pramani Pmd, Wahab Abdi dan Galeb Husein. Mereka sudah sempat mementaskan lakon Monserrat tahun laru, dan kini kembali tampil dengan Jangan Kirimi Aku Bunga. Program Yatena, menurut Pramana, antara lain ingin menjadi anggota International Theater Institute (ITI) sebuah lembaga di bawah Unesco yang saat ini berpusat di Paris. Membentuk Lembaga Teater Nasional. Menyelenggarakan Festival Teater Remaja tingkat nasional. Dan lain-lain. Karena adanya barisan produser, dengan modal hanya setengah juta produksi kedua Yatena ini licin. Dua hari pementasan karcis diborong oleh Yayasan Jantung. Hari ketiga diborong oleh Yatena sendiri, untuk keperluan reuni. Hari keempat oleh Bina Vokalia. Hari kelima dan keenam oleh Yayasan Usaha Kemanusiaan untuk Timor Timur, yang diketuai Ny. Norman Sasono. Hanya hari terakhir tidak diborong. "Dengan pendekatan personal syukurlah banyak pintu terbuka," kata Sukarno M. Noor, produser, dengan gembira. Menurut ketentuan Yatena 10% keuntungan jatuh ke tangan produser. 10% untuk yayasan. Jumlah honor pemain dirahasiakan. "Yang pasti hasil satu hari shooting saya saja lebih besar dari honor mereka main seminggu," ujar Sukarno. Pun pementasan kali ini tidak punya hubungan organisatoris dengan Parfi. "Jadi kalau secara kebetulan para pemain anggota Parfi, itu karena menurut saya materi pemain memang Parfi itu sumbernya," katanya. Ia membantah sangkaan pementasan ini hanya pelarian orang film yang kesepian karena tidak ada produksi. Ia sempat menunjuk kehidupan teatcr kalangan muda dewasa ini, yang dianggapnya banyak berbeda. "Coba kita lihat. Tidak kita temukan semangat yang lebih profesional," katanya. Di situ ia melihat bedanya dengan keadaan teater di zaman jayanya ATNI. Dianggapnya akademi tersebut sudah memberi bekal yang kuat. "Kita riil ini, hampir semua posisi dan formasi di bidang kegiatan film atau teater, semua terdiri dari eks-ATNI," ujarnya dengan bangga. Sebaliknya Wahab Abdi mengaku terus terang, ia menerima tugas sebagai sutradara karena kebetulan tidak ada kesibukan dalam film. Mulanya Galeb Husein yang dicanangkan, tapi ia repot. "Pementasan ini sebenarnya lebih sebagai syarat, bahwa beberapa orang film kita semula adalah orang teater. Saya merasa sayang atas potensi mereka yang main pada film-film cengeng Film nasional kita 'kan kebanyakan cengeng," ujarnya kepada Abdul Muthalib dari TEMPO. Wahab yakin, ATNI punya peranan yang tak bisa ditinggalkan dalam perkembangan teater kita. Ia menganggap julukan kuno yang dilemparkan anakanak muda sekarang terhadap ATNI, didorong oleh kebutuhan untuk melanjutkan kreativitas. Baginya itu wajar. Dari reaksi itu ia malah menyimpulkan "ada pengaruh ATNI pada generasi muda, yang positif sifatnya." Yatena juga punya niar menjadi impresario: menampung dan menyalurkan pementasan grup yang ingin tampil secara profesional. Sebagai langkah ke situ, mereka sekarang sedang mengincer bekas Gedung Kesenian di Pasar Baru yang sekarang sudah jadi bioskop. Diharap Departemen P8K ikut melicinkan mimpi mereka, agar gedung itu difungsikan kembali menurut kodratnya yang memang untuk teater. Sesuatu yang baik untuk pemerataan pertunjukan, mengingat sekarang kiblat semua orang hanya TIM.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus