AKADEMI Teater Nasional Indonesia (ATNI) sudah meninggal. Tapi
orang ATNI sekarang masih gentayangan. Mereka bekerja di film,
tv, teater, radio dan sebagainya. Seakan ATNI masih saja hidup.
Ini disokong pula oleh adanya YATENA (Yayasan Teater Nasional),
berdiri Oktober 1976 yang menampung semangat profesional
eks-ATNI di bidang teater dan film.
Untuk periode 1976-1979 ketua umum Yatena adalah Pramana
Padmodarmaja. Yayasan ini memiliki "dewan produser" yang terdiri
dari Kasim Akhmad, Sukarno M. Noor, Pramani Pmd, Wahab Abdi dan
Galeb Husein. Mereka sudah sempat mementaskan lakon Monserrat
tahun laru, dan kini kembali tampil dengan Jangan Kirimi Aku
Bunga.
Program Yatena, menurut Pramana, antara lain ingin menjadi
anggota International Theater Institute (ITI) sebuah lembaga di
bawah Unesco yang saat ini berpusat di Paris. Membentuk Lembaga
Teater Nasional. Menyelenggarakan Festival Teater Remaja tingkat
nasional. Dan lain-lain.
Karena adanya barisan produser, dengan modal hanya setengah juta
produksi kedua Yatena ini licin. Dua hari pementasan karcis
diborong oleh Yayasan Jantung. Hari ketiga diborong oleh Yatena
sendiri, untuk keperluan reuni. Hari keempat oleh Bina Vokalia.
Hari kelima dan keenam oleh Yayasan Usaha Kemanusiaan untuk
Timor Timur, yang diketuai Ny. Norman Sasono. Hanya hari
terakhir tidak diborong.
"Dengan pendekatan personal syukurlah banyak pintu terbuka,"
kata Sukarno M. Noor, produser, dengan gembira. Menurut
ketentuan Yatena 10% keuntungan jatuh ke tangan produser. 10%
untuk yayasan. Jumlah honor pemain dirahasiakan. "Yang pasti
hasil satu hari shooting saya saja lebih besar dari honor mereka
main seminggu," ujar Sukarno.
Pun pementasan kali ini tidak punya hubungan organisatoris
dengan Parfi. "Jadi kalau secara kebetulan para pemain anggota
Parfi, itu karena menurut saya materi pemain memang Parfi itu
sumbernya," katanya. Ia membantah sangkaan pementasan ini hanya
pelarian orang film yang kesepian karena tidak ada produksi.
Ia sempat menunjuk kehidupan teatcr kalangan muda dewasa ini,
yang dianggapnya banyak berbeda. "Coba kita lihat. Tidak kita
temukan semangat yang lebih profesional," katanya. Di situ ia
melihat bedanya dengan keadaan teater di zaman jayanya ATNI.
Dianggapnya akademi tersebut sudah memberi bekal yang kuat.
"Kita riil ini, hampir semua posisi dan formasi di bidang
kegiatan film atau teater, semua terdiri dari eks-ATNI," ujarnya
dengan bangga.
Sebaliknya Wahab Abdi mengaku terus terang, ia menerima tugas
sebagai sutradara karena kebetulan tidak ada kesibukan dalam
film. Mulanya Galeb Husein yang dicanangkan, tapi ia repot.
"Pementasan ini sebenarnya lebih sebagai syarat, bahwa beberapa
orang film kita semula adalah orang teater. Saya merasa sayang
atas potensi mereka yang main pada film-film cengeng Film
nasional kita 'kan kebanyakan cengeng," ujarnya kepada Abdul
Muthalib dari TEMPO.
Wahab yakin, ATNI punya peranan yang tak bisa ditinggalkan dalam
perkembangan teater kita. Ia menganggap julukan kuno yang
dilemparkan anakanak muda sekarang terhadap ATNI, didorong oleh
kebutuhan untuk melanjutkan kreativitas. Baginya itu wajar. Dari
reaksi itu ia malah menyimpulkan "ada pengaruh ATNI pada
generasi muda, yang positif sifatnya."
Yatena juga punya niar menjadi impresario: menampung dan
menyalurkan pementasan grup yang ingin tampil secara
profesional. Sebagai langkah ke situ, mereka sekarang sedang
mengincer bekas Gedung Kesenian di Pasar Baru yang sekarang
sudah jadi bioskop. Diharap Departemen P8K ikut melicinkan
mimpi mereka, agar gedung itu difungsikan kembali menurut
kodratnya yang memang untuk teater. Sesuatu yang baik untuk
pemerataan pertunjukan, mengingat sekarang kiblat semua orang
hanya TIM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini