Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seniman tuntut revitalisasi TIM dimulai dari gelanggang remaja
Diurus Dinas Olahraga, sebagian gelanggang remaja mangkrak
Pesta Raya di Bulungan jadi proyek percontohan revitalisasi gelanggang remaja
LIMA siswi itu terlihat menarikan Gending Sriwijaya, tari tradisional Palembang, Senin siang, 9 Maret lalu. Para pelajar Sekolah Menengah Kejuruan Ma’arif itu berlatih di pendapa Auditorium Gelanggang Remaja Grogol, Jalan Nurdin IV, Jakarta Barat, dua hari menjelang pentas di sekolah mereka. Kata salah satu siswi, Fani Safitri, mereka berlatih di sana karena ruang latihan di sekolah direnovasi. “Kami berlatih di sini atas saran guru pelajaran seni,” ujar pelajar kelas XI itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aktivitas seni Gelanggang Grogol lumayan ramai. Menurut Ketua Ikatan Drama Jakarta Barat (Indraja) Anto Ristargie, sejumlah ruangan di gelanggang ini masih dimanfaatkan oleh komunitas seni, baik teater, tari, maupun musik. Enam kelompok teater yang ada di bawah Indraja pun aktif di sana, di antaranya Teater Alamat dan Teater Cermin. Mereka disokong ruangan Auditorium Gelanggang Grogol yang secara fisik relatif memadai dengan panggung seluas 18 x 12 meter, lebih besar dibanding milik gelanggang lain di Jakarta. Panggung pertunjukan juga dibekali tata suara yang lumayan ciamik ditambah peralatan hidrolik milik Indraja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anto mengakui Indraja beruntung lantaran diberi keistimewaan oleh Suku Dinas Olahraga Jakarta Barat. Mereka leluasa memanfaatkan sejumlah ruangan di gelanggang remaja tanpa mesti membayar uang sewa. Sebab, Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2017 tentang Penyesuaian Tarif Retribusi Pelayanan Olahraga dan Pemuda menetapkan kutipan biaya sewa, termasuk Rp 2 juta per lima jam untuk kegiatan non-olahraga di gedung auditorium. “Kami mendapat kebebasan dari Sudin (Suku Dinas Olahraga Jakarta Barat), jadi paling hanya membayar uang kebersihan,” kata Anto, Selasa, 10 Maret lalu.
Gelanggang remaja digagas Gubernur DKI Jakarta 1966-1977, Ali Sadikin. Ia menginginkan kawasan yang bisa menampung geliat anak-anak muda, baik dalam kesenian maupun olahraga. Proyek pertama yang dibangun adalah Gelanggang Remaja Bulungan di Kebayoran Baru pada 1972. Untuk menampung beragam kegiatan dan membuatnya dilirik sebagai tempat gaul, gelanggang ini dibekali gedung olahraga dan ruang pertunjukan. Ada satu masa gelanggang ini menjadi magnet seniman muda, seperti Noorca M. Massardi, Renny Djajusman, Yudhistira A.N.M. Massardi, Radhar Panca Dahana, dan Anto Baret.
Menurut Toto, aturan dalam peraturan gubernur yang mengkomersialkan ruangan di gelanggang remaja itu mematikan ekosistem kesenian. “Sebaik apa pun konsep TIM, akan pincang bila gelanggang remaja diamputasi. Renovasi bangunan di TIM akan percuma bila sistem tata kelola ekosistem kesenian Jakarta secara keseluruhan masih amburadul,” tuturnya.
“Bisa disebut gelanggang itu dulu adalah kaki-kaki TIM atau satelit-satelit TIM. Seharusnya, bila TIM direvitalisasi, gelanggang-gelanggang juga direvitalisasi. Untuk membangun ekosistem kesenian di Jakarta jangan langsung dari kepalanya, tapi dari kaki-kakinya dulu,” kata Ketua Simpul Interaksi Teater Selatan (Sintesa) Toto Sokle. Seniman Giyanto Subagyo, yang dulu aktif di Gelanggang Remaja Senen, menyatakan program gelanggang remaja dan Taman Ismail Marzuki waktu itu berkaitan, seperti lomba teater, tari, dan membaca puisi. “Kegiatan di gelanggang-gelanggang itu seolah-olah corong TIM. Ada mutualisme,” ujar Giyanto.
Sementara aktivitas seni di Gelanggang Remaja Grogol masih terasa, tidak demikian dengan gelanggang remaja yang bersebelahan dengan Stasiun Senen, Jakarta Pusat, itu. Jikapun ada orang yang datang, kebanyakan untuk berlatih olahraga dan bela diri. Giyanto menyebutkan perubahan pengelolaan gelanggang remaja pada masa Gubernur DKI Sutiyoso, yang membuat gelanggang remaja dikelola dinas olahraga, menjadi penyebabnya. “Dulu kami di bawah wali kota langsung,” ucapnya. Pemerintah daerah, menurut dia, cenderung berfokus pada pengembangan olahraga dan kurang memperhatikan kebutuhan seniman. Gelora kesenian di Gelanggang Senen pun perlahan lenyap.
Kondisi itu, kata Toto Sokle, sempat dialami Gelanggang Remaja Bulungan, tapi dengan intensitas berbeda. Dia mengungkapkan perlu strategi khusus untuk menghidupkan kembali gelanggang-gelanggang remaja di DKI seperti masa jayanya. Toto mengaku sudah menyampaikan kepada Gubernur DKI Anies Baswedan soal gagasan kembali menjadikan gelanggang remaja sebagai kaki-kaki Taman Ismail Marzuki. “Harus ada revisi Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2017, yang selama ini menahan langkah seniman dalam berkreativitas,” ujarnya. Menurut Toto, aturan dalam peraturan gubernur yang mengkomersialkan ruangan di gelanggang remaja itu mematikan ekosistem kesenian. “Sebaik apa pun konsep TIM, akan pincang bila gelanggang remaja diamputasi. Renovasi bangunan di TIM akan percuma bila sistem tata kelola ekosistem kesenian Jakarta secara keseluruhan masih amburadul,” tuturnya.
Untuk menghidupkan lagi gelanggang sebagai satelit Taman Ismail Marzuki, Toto berencana membuat festival seni internasional bertajuk “Pesta Raya”, yang akan dihelat di Gelanggang Bulungan serta ruang publik sekitarnya, seperti Taman Ayodya dan Taman Hang Tuah. “Sebelum ini, ruang-ruang itu tertutup oleh kebijakan pemerintah sehingga mematikan ekosistem seni di satelit Jakarta,” ujarnya. Ia optimistis perhelatan seperti Pesta Raya bisa menjadi proyek percontohan yang menunjukkan konsep pengelolaan tempat kesenian berjenjang. “Semestinya gelanggang remaja menjadi pilar penopang TIM. Ide ini juga mesti didukung seniman, yang sayangnya masih banyak yang tidak sadar kakinya diperetelin,” kata Toto.
ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo