Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Antara TIM dan Esplanade

Esplanade, pusat kesenian di Singapura, menyajikan segala bentuk seni berkualitas kepada publik, dari anak-anak sampai orang berusia lanjut. Pembangunan Taman Ismail Marzuki selayaknya dikembangkan demikian, bukan semata fisik.

 

14 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAMPUKAH Taman Ismail Marzuki di masa depan menandingi Esplanade?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari atas, bangunan Esplanade di area Teluk Marina, Singapura, dengan dua blenduk kubah kembar terlihat seperti kerang tertelungkup. Namun warga lokal akrab menyebut gedung ini seperti durian karena ornamen bukaan-bukaan runcing yang menyelimuti seluruh atapnya. Pada 2017, saat Esplanade berulang tahun ke-15, digelar sebuah kampanye yang mengajak warga Singapura mengunggah momen mereka di pusat seni pertunjukan Singapura itu ke media sosial dengan tagar #mydurian. Lebih dari 10 ribu konten masuk. “Lewat kampanye ini, kami ingin warga Singapura merasa memiliki Esplanade sebagai pusat kesenian pertunjukan nasional mereka,” kata Direktur Pemasaran Esplanade Eunice Yap dalam wawancara dengan Marketing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belum sampai dua dekade berdiri, Esplanade memang telah mengukuhkan diri sebagai salah satu pusat kesenian tersibuk di dunia dengan lebih dari 3.000 agenda pertunjukan dan seni visual yang menarik jutaan pengunjung setiap tahun. Fasilitas Esplanade tak main-main. Hall konsernya yang berkapasitas 1.300 penonton merupakan satu dari lima hall konser di dunia dengan kualitas akustik super. Ada juga ruang teater berdesain tapal kuda, studio resital, dan studio teater dengan setting yang dapat diganti sesuai dengan keinginan untuk memenuhi kebutuhan teater eksperimental. Esplanade dilengkapi juga dengan teater terbuka, taman hijau, area pameran, dan area kuliner. Di bagian bawah, bertebaran restoran.

Namun bukan semata fasilitas fisik megah ini yang membuat Esplanade riuh. Seperti kutipan dari Rani Moorthy, penulis teater Curry Tales, yang terpampang di situs resmi Esplanade, “Cinta dan hasrat pada kesenian melampaui kemegahan bangunan. Adalah sentuhan manusia dan semangat menciptakan koneksi yang membuat seniman terus berkarya dan pengunjung terus datang.”

Garin Nugroho, yang tahun lalu menyutradarai pentas Fatih: The Prince and the Drum, program teater komisi skala besar pertama Esplanade, paling mengagumi komitmen Esplanade untuk menyediakan seni setiap hari yang menyasar segala lapisan publik. “Filosofi utamanya adalah mengelola ruang publik yang menghadirkan berbagai macam seni berkualitas. Di balik fisik Esplanade, ada pengelolaan industri budaya dengan keterampilan dan pengetahuan seni yang baik,” ujar Garin.

Keuntungan, kata Garin, bukanlah tujuan utama jika ingin menciptakan sebuah pusat kesenian berkualitas. Pengunjung akan datang dengan sendirinya jika ekosistem sudah tercipta. “Setiap ke Singapura, saya pasti ke Esplanade karena tempat ini sudah menjadi showcase kesenian Asia,” tutur Garin. Seniman pertunjukan Melati Suryodarmo mengiyakan keunggulan Esplanade untuk urusan menarik minat pengunjung dari berbagai kalangan. “Program-program di sana tidak hanya diperuntukkan bagi publik seni. Semua level masyarakat juga bisa mengakses,” kata Melati.

Keluarga yang berkunjung ke Esplanade dapat menemukan agenda yang cocok untuk tiap anggotanya. Esplanade terutama menyediakan banyak kegiatan seni untuk anak-anak. Menurut Garin, perhatian terhadap anak-anak adalah awal mula terciptanya akar ekosistem yang kuat. “Anak-anak ini datang ke Esplanade bukan berarti harus menjadi seniman, tapi agar saat tumbuh nanti dan, misalnya, menjadi pemimpin, mereka dapat mengambil kebijakan yang berbasis rasa kemanusiaan tinggi atau membangun dengan nilai estetik,” ujarnya.

Edukasi memang menjadi salah satu misi Esplanade di samping memberi hiburan dan inspirasi serta melibatkan komunitas. Akses belajar tersedia luas. Dalam setiap program pertunjukan yang dapat ditonton anak-anak, ada booklet yang disediakan khusus bagi murid sekolah. Misalnya, dalam pertunjukan Fatih arahan Garin, Esplanade menyediakan booklet sebelum dan sesudah acara bagi murid yang dapat diunduh di situsnya. Booklet itu berisi informasi tentang nama dan gambar instrumen apa saja yang digunakan selama pertunjukan, spesifikasi dan akar tradisi tiap instrumen, serta instruksi cara memainkannya. Ada pula informasi tentang kostum yang digunakan pemain teater beserta pertanyaan yang memantik diskusi, seperti mengapa warna atau material tertentu digunakan dalam membuat kostum tersebut.

Dalam situs resmi yang selalu diperbarui, Direktur Utama Esplanade Yvonne Tham menyebutkan, dari ribuan agenda seni yang digelar di Esplanade sepanjang tahun, 70 persen tak dipungut biaya. Sebagian besar pertunjukan berbayar juga menawarkan tiket bersubsidi sehingga sebanyak mungkin orang dapat mengakses pertunjukan di Esplanade. Salah satu program utama Esplanade juga membuka jalan agar kelompok seperti orang berusia lanjut, pekerja migran, dan orang dengan kebutuhan khusus yang kesulitan mengunjungi Esplanade tetap dapat bersentuhan dengan karya seni lewat program kesenian yang memanfaatkan partisipasi publik. “Kami ingin menjadi pusat kesenian untuk semua, berapa pun usianya dan apa pun latar belakangnya,” ucap Tham.

Pentas musik di halaman Esplanade Singapura, Singapura. Facebook Esplanade Singapura

Skema pertunjukan gratis dan bersubsidi yang diusung Esplanade dimungkinkan berkat dukungan dari Kementerian Kebudayaan, Komunitas, dan Pemuda Singapura; Singapore Totalisator Board; serta sponsor dan donor. Dalam situs mereka, sumber pembiayaan dan nama donor tercantum dengan rinci. Esplanade sendiri dikelola oleh The Esplanade Co Ltd, organisasi not-for-profit berisi pegiat seni profesional dan advokat seni.

Keterlibatan masyarakat juga didorong lewat berbagai skema pengumpulan dana yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Misalnya terdapat program Gift a Seat, ketika seseorang dapat berdonasi untuk memberikan tiket pertunjukan kepada warga lansia atau warga berkebutuhan khusus. Donasi dimulai dari angka Sin$ 2.800 dan donor bisa mendapatkan sejumlah manfaat, seperti tur eksklusif sebelum pembukaan acara atau undangan untuk acara tertentu. Kemudian ada skema Adopt a Space untuk korporat atau lembaga yang ingin menyumbang buat pengelolaan venue tertentu di Esplanade. Ada pula donasi untuk pembangunan gedung teater baru, yang rencananya selesai tahun depan. Donasi bisa dilakukan mulai dari angka Sin$ 10. Informasi tentang jumlah donasi yang sudah terkumpul dan yang masih dibutuhkan terus diperbarui secara berkala.

Melati Suryodarmo berpandangan, revitalisasi Taman Ismail Marzuki, yang sedang berlangsung, dapat meniru konsep yang dilakukan Esplanade. “Salah satunya pengelolaan harus dipegang oleh ahlinya, jangan birokrat,” katanya. Menurut pengamat teater Arie Batubara, yang sempat diangkat menjadi anggota tim revitalisasi Taman Ismail Marzuki, salah satu tugas timnya yang dikehendaki Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan adalah merancang konsep draf peraturan perundang-undangan terkait dengan penataan ulang ekosistem berkesenian di DKI. Peraturan daerah itu direncanakan berisi ketentuan tentang sistem dan mekanisme pengelolaan kegiatan berkesenian, lembaga pelaksananya, infrastruktur, pembiayaan, hingga pengembangan sumber daya manusia. “Tapi perda ini belum selesai karena masa kerja tim revitalisasi yang hanya satu tahun tak memungkinkan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut,” ujar Arie. Tidak jelas bagaimana kelanjutan perda itu.

MOYANG KASIH DEWI MERDEKA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus