SEBUAH padepokan seni beberapa saat lagi akan berdiri resmi di
Yogyakarta. Padepokan ini diprakarsai Bagong Kussudiardja.
Letaknya di pinggir kali, di tengah alam desa yang jauh dari
kesibukan Kota Yogya, di Desa Kembaran, Kecamatan Kasihan,
Kabupaten Bantul. Lewat sedikit dari pabrik gula Madukismo,
tetapi tidak begitu jauh dari Yogya.
Padepokan ini muncul di otak Bagong ketika pengambilan film Al
Kautsar di sebuah pesantren. Bagong bukan jebolan pesantren. Ia
penganut Yesus. Tapi mengaku terkesan dan tergugah oleh
pendidikan gaya pesantren. "Betapa baiknya pendidikan pesantren
ini ditiru," ujarnya.
Sehabis pamerannya di TIM tahun lalu, ia langsung mengambil
ancang-ancang mencari sebidang tanah yang cocok untuk suatu
kegiatan seni yang jauh dari nafas formil-formilan. Dengan
menjual mobil dan mempreteli perhiasan bininya, Bagong lalu
berhasil membeli tanah yang tidak produktif seluas 4.000 mÿFD
di Kec. Kasihan Bantul itu.
Seniman Kompromis
Pembangunan padepokan dimulai 14 Juli tahun lalu. Karena
100 prosen swasta, biayanya dari Bagong sendiri. Pembangunannya
tidak begitu lancar. Beberapa bulan malahan macet. "Lalu saya
susunlah rencana padepokan ini serta tujuan dan ruang lingkup
yang hendak dicapai," kata Bagong. Itu ditawarkan kepada
beberapa pejabat, terutama sekali Kowilhan II dan ~Direktur
Pengembangan Kesenian. Sambutan, dan bantuan, datang berupa
uang, barang, atau jan~ji-janji.
Kini, seluruh bangunan hampir rampung. Biaya yang dihabiskan
untuk segala isinya mencapai Rp 25 juta. "Ini murah. Kalau
pemerintah yang membuat, lebih besar biayanya," kata Bagong
kepada Putu Setia dari TEMPO. Lalu berapakah bantuan dari luar
kantongnya? "Tulis saja separohnya," kata Bagong.
Presiden sudah disurati. Ide, rencana kerja, dan masa depan
(yang diperkirakan) dilampirkan dalam surat pribadi kepada Pak
Harto dan Ibu Tien. "Ruang lingkup padepokan seni yang pertama
di Indonesia ini bukan cuma Yogya atau Jawa Tengah. Tetapi
nasional," tutur Bagong, menyimpulkan isi surat yang dikirim
kepada Pak Harto. Ternyata Pak Harto berminat besar. Ia
membantu. Berapa rupiah? "Banyak! Rp 10 juta," kata Bagong.
"Tapi belum saya terima. Nanti uangnya akan dibelikan mobil
pikap sebuah."
Gubernur-gubernur, terutama di lingkungan Kowilhan Il, juga
sudah secara pasti menyumbang untuk proyek ini. Supaya pejabat
tidak bingung apa yang musti disumbangkan maka Bagong dan anak
buahnya menyurati gubernur yang sedang diincar. Gubernur Jakarta
akan dimintai sebuah disel berkekuatan 3.000 KWH. Gubernur Jawa
Barat seperangkat gamelan ketuktilu. Gubernur Jateng dua buah
mesin tulis, satu besar, satu kecil. Gubernur Bali seperangkat
gamelan joged bumbung. Gubernur Jatim, belum dipikirkan apa,
tapi pasti dimintai. Kodam Diponegoro akan menyumbang atau
tepatnya dimintai -- pompa air. "Yah, tak apa, orang sekarang
menyebut saya seniman kompromis. Yang penting berbuat .... "
kata Bagong datar.
Padepokan seni ini dibuka resmi tanggal 3 Oktober. Tanggal itu
"keramat", karena "dua hari sebelumnya diperingati Kesaktian
Pancasila dan dua hari sesudahnya HUT ABRI." Jadi yang di tengah
menjadi keramat. Dari 80 orang yang akan diterima sesuai dengan
kapasitas asrama, pendaftarnya sudah 290 orang. Ini adalah wakil
dari 149 kabupaten se-Kowilhan II ditambah 4 orang pelamar
secara pribadi dari Ujungpandang dan seorang dari Padang.
Padepokan telah mengirim selebaran ke seluruh kabupaten se
Kowilhan II, agar "tiap kabupaten mengirim 2 wakilnya." Sambutan
ternyata pas seperti yang diminta. Tentu saja Bagong kaget
sendiri. Dan karena itu seleksi untuk angkatan pertama
dilakukan. "Pilihan pada kabupaten yang potensi seninya sangat
kurang atau mati," tutur Bagong. "Kalau Yogya, Bali, Solo, jelas
tak akan diterima.'
Para siswa ini umurnya 13 tahun ke atas, dan tidak buta
huruf--akan mendapat pendidikan selama 6 bulan. Uang
pendaftarannya Rp 5.000. Uang pelajaran, makan dan asrama Rp
25.000, setiap bulan. Ini dibayar sekaligus pada permulaan
belajar. "Mereka kan dikirim oleh kabupaten masing-masing. Apa
artinya uang Rp 155 ribu," kata Bagong.
Di padepokan, mereka dididik secara praktek 75 prosen, teori 25
prosen. Yang diajarkan 4 jurusan pokok: tari, ketoprak,
karawitan dan sinden. Tetapi dalam padepokan, juga ada fasilitas
membatik, keramik, menatah kulit, berkebun, beternak. "Atau
kalau ada yang tak berminat dengan itu, boleh memperdalam
pengetahuan lain di ruang perpustakaan. Atau menulis puisi dan
novel," kata Bagong. "Cuma mereka belajarnya di bawah pohon,
duduk di tikar atau di tepi kali. Boleh pakai sandal jepit dan
seragamnya kain batik. Inilah yang membedakannya dengan sekolah
negeri."
Yang ingin dicapai padepokan seni Bagong Kussudiardja adalah,
para siswa setelah 6 bulan pulang mengembangkan seni di sekolah
-- dari SD sampai SMA dan kegiatan luar sekolah mulai kelurahan,
kecamatan, kabupaten sampai tingkat propinsi. Bisa dibayangkan,
kalau hal ini berhasil, seluruh penghuni Jawa, Madura dan Nusa
Tenggara akan main ketoprak ....
Dari 56 guru yang ada di padepokan (14 tari, 9 guru ketoprak, 5
karawitan 3 panggung, 3 sinden, 12 guru tidak tetap dan 10 guru
tamu dari berbagai tari daerah) Bagong masih mengundang secara
berkala tokoh-tokoh kebudayaan yang bisa dijadikan guru.
Misalnya, suatu hari, mungkin Sutardji datang membaca puisi
sambil minum air kali.
Kalaupun proyek ini juga gagal, Bagong berjanji akan
mengembalikan semua sumbangan berbentuk benda. Kemudian
isterinya akan disuruh membuka balai bersalin, memanfaatkan
bangunan itu. "Kebetulan belum ada balai bersalin di kecamatan
ini," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini