KENAPA Benteng Vredesburg tidak dipergunakan? Kan sudah
diserahkan ABRI," kata Jenderal Widodo, membuka pameran lukisan
bertema Serangan Umum 1 Maret beberapa waktu yang lalu di Gedung
Agung Yogya. Ucapan itu menggelitik para seniman Yogya. Tapi
tidak segera nampak titik terang. Bekas Benteng Vredesburg sulit
juga untuk dijamah, walaupun ABRI yang menempatinya sudah
menyingkir. Pihak Dep. P dan K tak kunjung membenahi.
Bagong Kussudiardja berpikir. Tak baik menunggu sampai dipugar,
laksanakan dulu apa yang bisa dikerjakan. Maka suatu kerepotan
terjadi juga di bekas benteng yang pernah dijadikan tempat
penahanan PKI itu. Kerepotan ini tak kurang dari 2 juta rupiah
harganya.
Bagong semula mengusulkan nama pasar seni'. Tetapi tiba-tiba
saja ada yang mengingatkan, "kok sama dengan yang di Ancol."
Maka, agar tidak ada yang menyamai, disepakati nama 'Jambore
Seni 78 Yogyakarta'. Isi pokoknya tiga hal: pameran seni, pentas
seni dan pasar seni.
Nah, sejumlah seniman, dari yang punya nama sampai yang baru
muncul, sejumlah pengusaha terutama pengusaha kerajinan, ikut
nimbrung menjajakan barang mercka. Benteng luas di pusat kota
itu menjadi semarak selama 3 hari (26-28 Agustus).
Takut Bukan Seni
Untuk pameran seni, terpampang lukisan dari segala corak dan
bahan. Lukisan batik, lukisan cat minyak, sketsa, sampai lukisan
jorok yang konon termasuk pengikut aliran seni rupa baru. Bagong
memasang lukisan yang membuat orang sukar bernafas, apalagi buka
mulut Sebuah kanvas besar, ukuran 3 kali 2« meter, dengan bingkai
apik. Putih bersih. Di tengahnya, terpampang kecil salib
Kristen. Semula, baik para pengunjung biasa maupun undangan
banyak juga yang ketawa. Pokoknya berisiklah ketika melihat
"lukisan yang belum siap" itu. Ketika disudut kecil tertulis
nama Bagong K dan lukisan itu berjudul Ternyata kami ini kecil,
sunyi pun hadir. O.
Tak jauh dari sana sebuah kompor menyala. Di atasnya panci
berisi air. Ini bukan lukisan kompor, tetapi kompor betul-betul
yang sedang merebus air betul-betul. Judulnya: Makanan di tahun
2.000. Di dalam panci ternyata tengkorak dan sepatu. Karena
dalangnya ternyata bukan seniman yang besar, maka orang pun pada
ngoceh. Misalnya, "lukisan itu taik, perlu diamankan, supaya
benteng ini tidak kebakaran."
Pentas seni diramaikan oleh reog Ponorogo, yang membuka acara
setiap malam. Ada ketoprak, dagelan, dan malam terakhir wayang
kulit bocah. Rupanya ini yang paling berhasil. Ini yang paling
mudah dimengerti masyarakat awam. Selama 3 hari jambore
berjalan, pentas seni yang berhalaman luas penuh orang, jadinya.
Pasar seni, yang diisi perusahaan-perusahaan batik, lebih banyak
sepinya. Atau, kalau pun orang lewat, jarang terjadi transaksi.
Mungkin karena harganya yang melangit. Sedang pedagang kaki lima
yang disediai tempat berderet sebelum masuk benteng, tidak
mempergunakan lobang itu. Tempat berjualan yang sudah susah
payah dibikin panitia, jadinya melompong. Menurut seorang
seniman yang panitia, pedagang kaki lima yang berjualan di
Malioboro ragu-ragu berpartisipasi -- lantaran takut,
jangan-jangan dagangannya bukan tergolong "seni". "Padahal,
majalah, novel, gambar-gambar, leter-leter, yang mereka jual di
Malioboro, itu termasuk seni," kata panitia yang ahli seni tadi.
Alhasil, jambore seni cuma berhasil menyingkirkan kesan lain
dari bekas benteng peninggalan Belanda itu. Benteng ini dulu
sunyi. Banyak orang mati. Dihuni oleh ABRI. Sekarang menjadi
tempat berseni-seni dan menyanyi. Tapi rasanya, keramaian di
dalam benteng selama jambore, masih kalah dari Malioboro -- di
mana terdapat jejeran pedagang pakaian yang diobral. Menjelang
lebaran orang lebih suka menyerbu obral pakaian dari obral seni,
agaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini