Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menyulap benteng

Jambore seni 78 di yogyakarta yang dibuka oleh sri pakualam mengambil tempat di bekas benteng vredesburg yang belum dipugar. (sr)

16 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KENAPA Benteng Vredesburg tidak dipergunakan? Kan sudah diserahkan ABRI," kata Jenderal Widodo, membuka pameran lukisan bertema Serangan Umum 1 Maret beberapa waktu yang lalu di Gedung Agung Yogya. Ucapan itu menggelitik para seniman Yogya. Tapi tidak segera nampak titik terang. Bekas Benteng Vredesburg sulit juga untuk dijamah, walaupun ABRI yang menempatinya sudah menyingkir. Pihak Dep. P dan K tak kunjung membenahi. Bagong Kussudiardja berpikir. Tak baik menunggu sampai dipugar, laksanakan dulu apa yang bisa dikerjakan. Maka suatu kerepotan terjadi juga di bekas benteng yang pernah dijadikan tempat penahanan PKI itu. Kerepotan ini tak kurang dari 2 juta rupiah harganya. Bagong semula mengusulkan nama pasar seni'. Tetapi tiba-tiba saja ada yang mengingatkan, "kok sama dengan yang di Ancol." Maka, agar tidak ada yang menyamai, disepakati nama 'Jambore Seni 78 Yogyakarta'. Isi pokoknya tiga hal: pameran seni, pentas seni dan pasar seni. Nah, sejumlah seniman, dari yang punya nama sampai yang baru muncul, sejumlah pengusaha terutama pengusaha kerajinan, ikut nimbrung menjajakan barang mercka. Benteng luas di pusat kota itu menjadi semarak selama 3 hari (26-28 Agustus). Takut Bukan Seni Untuk pameran seni, terpampang lukisan dari segala corak dan bahan. Lukisan batik, lukisan cat minyak, sketsa, sampai lukisan jorok yang konon termasuk pengikut aliran seni rupa baru. Bagong memasang lukisan yang membuat orang sukar bernafas, apalagi buka mulut Sebuah kanvas besar, ukuran 3 kali 2« meter, dengan bingkai apik. Putih bersih. Di tengahnya, terpampang kecil salib Kristen. Semula, baik para pengunjung biasa maupun undangan banyak juga yang ketawa. Pokoknya berisiklah ketika melihat "lukisan yang belum siap" itu. Ketika disudut kecil tertulis nama Bagong K dan lukisan itu berjudul Ternyata kami ini kecil, sunyi pun hadir. O. Tak jauh dari sana sebuah kompor menyala. Di atasnya panci berisi air. Ini bukan lukisan kompor, tetapi kompor betul-betul yang sedang merebus air betul-betul. Judulnya: Makanan di tahun 2.000. Di dalam panci ternyata tengkorak dan sepatu. Karena dalangnya ternyata bukan seniman yang besar, maka orang pun pada ngoceh. Misalnya, "lukisan itu taik, perlu diamankan, supaya benteng ini tidak kebakaran." Pentas seni diramaikan oleh reog Ponorogo, yang membuka acara setiap malam. Ada ketoprak, dagelan, dan malam terakhir wayang kulit bocah. Rupanya ini yang paling berhasil. Ini yang paling mudah dimengerti masyarakat awam. Selama 3 hari jambore berjalan, pentas seni yang berhalaman luas penuh orang, jadinya. Pasar seni, yang diisi perusahaan-perusahaan batik, lebih banyak sepinya. Atau, kalau pun orang lewat, jarang terjadi transaksi. Mungkin karena harganya yang melangit. Sedang pedagang kaki lima yang disediai tempat berderet sebelum masuk benteng, tidak mempergunakan lobang itu. Tempat berjualan yang sudah susah payah dibikin panitia, jadinya melompong. Menurut seorang seniman yang panitia, pedagang kaki lima yang berjualan di Malioboro ragu-ragu berpartisipasi -- lantaran takut, jangan-jangan dagangannya bukan tergolong "seni". "Padahal, majalah, novel, gambar-gambar, leter-leter, yang mereka jual di Malioboro, itu termasuk seni," kata panitia yang ahli seni tadi. Alhasil, jambore seni cuma berhasil menyingkirkan kesan lain dari bekas benteng peninggalan Belanda itu. Benteng ini dulu sunyi. Banyak orang mati. Dihuni oleh ABRI. Sekarang menjadi tempat berseni-seni dan menyanyi. Tapi rasanya, keramaian di dalam benteng selama jambore, masih kalah dari Malioboro -- di mana terdapat jejeran pedagang pakaian yang diobral. Menjelang lebaran orang lebih suka menyerbu obral pakaian dari obral seni, agaknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus