Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dari Sawah Menyelusup ke Istana

Aneka permainan anak dari dalam sampai luar benteng keraton. Memanfaatkan bebijian.

13 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada dakon di antara tombak dan keris. Ada permainan di antara genderang perang. Dolanan ini menjadi tumpahan pengusir sepi keluarga saat Pangeran Diponegoro berjuang melawan penjajah. Kini, alat ini tersimpan di Museum Sasana Wiratama Tegalrejo, Yogyakarta, tempat menyimpan segala kenangan masa perang 182 tahun silam itu.

Dakon adalah salah satu mainan yang digemari kalangan priayi dan kerabat raja. Saat itu, dakon memang sedang ngetren. Hampir setiap keluarga memiliki alat permainan ini. Tak terkecuali Pangeran Diponegoro, putra Sultan Hamengku Buwono III dari selir Raden Ayu Mangkorowati.

Sebelum sampai ke kerajaan, dakon menjadi dolanan keluarga petani. Istilah yang digunakan pun istilah keseharian penggarap sawah: bera (sawah yang tidak ditanami), ngacang atau nandur kacang (sawah yang hasilnya sedikit), dan lumbung (tempat menyimpan padi). Permainan ini mengajarkan kepada anak menjadi ulet, hemat, dan teliti. Anak dilatih menabung di lumbung, mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya, dan tidak boleh ngacang apalagi bera.

Sukirman Dharmamulya, 80 tahun, peneliti mainan anak di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisi di Yogyakarta, mengatakan permainan anak-anak penggarap sawah itu cepat sekali diterima di kalangan istana. ”Apalagi di keraton banyak sawo kecik,” ujarnya.

Menurut Sukirman, sebenarnya cukup banyak permainan anak di lingkungan keraton. Di antaranya, bekelan, kartu, adu kemiri, adu jangkrik, adu mendo (kambing). ”Tapi memang yang paling sering dimainkan adalah permainan olah pikir seperti dakon,” ucapnya.

Suyami, peneliti naskah kuno di lembaga yang sama, mengatakan dari naskah yang dipelajari diketahui kebanyakan dolanan anak di dalam keraton sifatnya rekreatif. Mereka bermain sambil menembang, atau dolanan sambil menggunakan gerak tari. Dolanan bibi tumbas timun, misalnya.

Bibi tumbas timun biasa dimainkan pada malam hari saat bulan purnama. Dolanan ini mengajari anak tata krama Jawa. Bagaimana berbahasa kepada orang yang lebih tua, belajar sastra dan keindahan bahasa, menembang (menyanyi Jawa), juga menari. ”Dulu permainan ini diisi percakapan, tapi sekarang dilagukan,” Sukirman menjelaskan.

Bi bibi tumbas timun, Kèngkènané mbok Tondho Tandhurejo, Mur – mèk, mur – ma, Untuné kaya diprada, Lambéné kaya dirénda, Bibi bibi tumbas timun, sigar mawon.

Bagi anak laki-laki di kalangan keraton, adu biji kemiri adalah salah satu yang sering dimainkan. Dolanan ini menggunakan sepotong kayu yang diberi sedikit cekungan. Dua biji kemiri yang masih ada kulit kerasnya ditumpuk, lalu ditutup kayu. Tumpukan kemiri itu dipukul dengan kayu pemukul. Biji kemiri yang pecah, kalah. Permainan serupa sering dimainkan anak-anak daerah lain, tapi biji yang digunakan berbeda-beda, misalnya biji karet.

Meski lingkungan keraton sarat berbagai hal yang berbau magis, tidak ada permainan nini thowong. Dolanan mengundang arwah ini lebih sering dimainkan oleh anak-anak biasa di kampung-kampung. Permainan ini khusus dimainkan anak perempuan. Bila ada lelaki nyelonong ikut, permainan akan gagal.

Lirik mengundang arwah dalam permainan ini, antara lain:

NiThowong – Ni Thowong gayur-gayur ginotong ginotongé telu gandhèk iderana nyang dhondhongan ramèkno bocah dolan suraka-surak hiyé..... dilanjutkan lagu Ilir-ilir.

Nini thowong menggambarkan gadis bermuka thowong (putih). Konon, dia wanita biasa, yang berbuat jahat, lalu disihir tetangganya. Permainan ini mengandung unsur animisme. Pada masa lalu, nini thowong digunakan untuk upacara memanggil hujan, pengobatan, atau mencari barang hilang. ”Karena itu, dapat dipastikan permainan ini warisan nenek moyang. Bisa jadi ini ritual yang lambat-laun jadi permainan,” tutur Sukirman.

Dolanan rakyat ini membutuhkan banyak syarat. Di antaranya selamatan Rasulan, sesaji sesuai dengan adat setempat beserta ubo rampe-nya. Perlengkapannya pun cukup rumit: siwur curian (gayung air dari batok kelapa), icir (alat penangkap ikan dari bambu), gandhik (batu lonjong dan bulat).

Permainan serupa yang juga berbau mistis adalah jaelangkung. Permainan yang juga mengundang arwah ini beberapa waktu lalu telah diangkat ke dalam film.

Apa pun dolanan yang dimainkan anak-anak, penanaman unsur sosial masyarakat tak pernah ditinggalkan. Pelbagai permainan itu tidak sekadar menciptakan rasa senang, tapi juga melatih kecerdasan pikir.

L.N. Idayanie (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus