NEGERI Boja pun geger. Dewi Kunthi puteri kerajaan, mengandung
tanpa suami. Meski sang ayah Sri Baginda Kunthiboja, menyadari
'kelengahan' puterinya, toh pangeran Basudewa marah besar.
Kontan ia menggugat Bathara Surya yang dituduhnya ada main
dengan adiknya. Kunthi sendiri, sejak lama memang ingin
'berkenalan' dengan para Dewata. Maka pendeta Druwarsa pun
memberinya azimat sinung cipta wedaring rasa yang tak boleh
diucapkan di bawah sinar matahari. Tapi suatu siang, terlupa
atau memang disengaja, Kunthi terlanjur mengucapkan mantera itu
-- dan buntinglah ia. Karena kemudian sang bayi lahir lewat
telinga (dengan pertolongan Druwarsa) maka anak Dewa Matahari
ini pun disebut Karna alias Suryaputera....
Penonton kaget. Dalam lakon Kelahiran Karna ini ki dalang
dianggap telah melanggar aturan. Tidak mengawalinya dengan
adegan suasana kraton seperti layaknya, melainkan langsung
menampilkan konflik inti antara Basudewa dengan Bathara Surya.
Sejak lama dianggap sebagai sumber pro dan kontra di kalangan
peminat pedalangan -- kesenian tradisi Jawa yang konon tabu
terhadap pembaharuan -- dalang yang satu ini di satu pihak
dianggap seorang pembaharu, yang mampu menghidangkan momen-momen
dramatik asal mengisi perwatakan yang pas buat setiap tokoh.
Di lain pihak dituduh sebagai biang perusak pakem pedalangan
yang sudah mapan atau terlalu suka memasukkan unsur humor yang
-- selain diakui sebagai daya pemikat untuk sebagian dianggap
kurang pada tempatnya. Tapi satu hal jelas: Ki Nartosabdho
adalah satu-satunya dalang populer yang paling laris hingga saat
ini.
Terutama sejak 1965, banyak kritik dialamatkan kepadanya.
Misalnya dari salah seorang tokoh Ganasidi (Lembaga Pembina Seni
Pedalangan Indonesia) Jawa Tengah yang kini menjadi anggota DPR
Pusat. "Ia memang seorang inovator. Tapi pembaharuannya -- yang
menang belum pernah terjadi dalam sejalah pedalangan -- lebih
banyak negatif. Adegan banyolan antara punakawan dengan raja
misalnya, tentulah tidak sepantasnya. Ia memang tak pernah
melepaskan kesempatan buat membanyol. Dalam seni tradisi,
banyolan memang banyak. Tapi gaya Ki Narto lebih banyak lagi
banyolannya dari pada seriusnya. Lalu bagaimana kalau pedalangan
macam begini dijadikan kiblat?" katanya. Seorang pembela
kesenian di Sala malah beranggapan Ki Narto tak punya prinsip.
"Kalau mendalang di Istana Negara ia serius, di luar selalu
membanyol. Toh ia tak bisa disalahkan sebab memang itulah
pandangan hidupnya dan sumber periuk-nasinya. Tapi situasi
seperti ini tak bisa dibiarkan terus-menerus. Setelah
dalang-dalang tua seperti Ki Poedjosoemarto dan Ki Soeratno
tidak lagi tampil selera publik mulai merosot. Nah, di sinilah
Ki Narto laku. Dan memang begitulah selalu kecenderungan
masyarakat kita". ujarnya.
Ki Narto bukannya tak mendengar kritik. Dengan santai ia
menjawab. Suatu hari ketika mementaskan Pendawa Dadu ia
menampilkan dialog penuh humor antara Prabu Suyudana (raja
Kurupati) dengan penasihatnya Bagawan Durna. Tiba-tiba sang
Durna berkata: "SampuN Man, Mangke mindak bibrah" (SudahLah
Paman, jangan sampai nanti jadi rusak) -- satu sindiran buat
para pengritiknya. Tak sedikit pula yang menuduh ia terlalu
komersiil. "Saya ini kalau bicara soal seni dan komersiil ya
bagaimana. Lha nyatanya kalau tidak begitu kan tidak bisa
hidup", katanya. Bahwa ia menuruti selera publik penanggapnya --
memang diakuinya. "Selera orang kan macam-macam. Yang jelas,
dalam banyolan-banyolan saya itu selalu saya selipkan nasihat
dan pendidikan. Setiap dalang kan punya cara masing-Masing untuk
Memikat perhatian penonton", katanya.
Tapi kritik yang paling banyak terdengar adalah ini: ia terlalu
suka mementaskan cerita-cerita carangan -- kritik yang
sebenarnya tidaklah adil. (Carangan adalah guhahan dari naskah
asli atau Pakem). Sebab pakem Pustaka Raja karangan
Ranggawarsita misalnya adalah juga carangan dari Mahabharata.
Wayang Panji (tentang kerajaan Kediri), wayang Suluh (tentang
perang kemerdekaan), Wayang Wahyu (dari kitab Injil) pun adalah
carangan yang akhirnya menjadi semacam pakem. Mahabharata dan
Ramayana sendiri yang berasal dari India, sudah dirubah
menjadi carangan bergaya Indonesia di tangan para pujangga jaman
Erlangga. Sejak abad ke-11. Dan Ki Narto bukannya tak suka yang
serba pakem (dan mampu pula mementaskannya dengan baik). Tapi
pementasan cerita-cerita berat seperti misalnya Babad
Wanamarta, Bima Suci Wahyu Makutarama -- biasanya disesuaikan
dengan waktu dan kebutuhan. Misalnya untuk upacara selamatan
desa atau menyambut Tahun Baru 1 Syura. Dalam pada itu masuk
akal juga kalau suatu kali Ki Narto 'berani' merubah atau
menambah bait-bait suluk. Dalam sebuah suluk ada kata tambur
yang pada jaman dulu belum dikenal, baru dikenal pada jaman
Belanda. "Jadi apa salahnya kalau misalnya saya memasukkan
kata-kata saputangan, cempala kotak, topeng Bujangganom dan
sebagainya?" Suluk adalah puisi, untuk menggambarkan situasi
biasanya diucapkan pada awal sesuatu babak pedalangan.
Kesenian tradisi Jawa tampaknya memang mulai harus melepaskan
diri dari soal pakem dan bukan pakem. Dengan cara amat sederhana
(tapi cukup modern) berkatalah Ki Narto tentang kreativitas:
"Kreasi baru itu ibarat bakmi, yang bukan makanan harian itu
Suatu saat kita toh akan kembali makan nasi. Juga seperti
bistik. Tuhan menciptakan sapi, yang pengolahannya terserah
kepada kita. Tuhan sendiri kan tidak menciptakan sate? Saya
sendiri yakin gending-gending ciptaan saya misalnya, tentu tak
tahan lama dibanding dengan gending Gambir Sawit yang adiluhung
itu. Tapi betapa pun, setiap kreasi yang baik, termasuk kreasi
yang baru, selalu lahir dari pikiran yang wening".
Yang paling- proporsionil barangkali pendapat Sardono W. Kusumo.
"Kita tak bisa menilai Ki Narto dengan kacamata tradisi atau
pembaruan. Kesenian Ki Narto adalah kesenian rakyat yang khas Ki
Narto. Sebagai seniman kreatif ia tak bisa diukur dengan
patokan-patokan pakem yang kaku. Pedalangan gaya Ki Narto adalah
kesenian yang khas Ki Narto", kata penari dan koreograf muda
yang terkemuka itu. Bisa dimaklum kalau 21 Januari kemarin di
gedung Mitra Surabaya Ki Narto digelari Seniman Besar Senapati
Mandala Budaya (gelar yang agak berlebih, tentu) oleh YASBI
(Yayasan Seni Budaya Indonesia) Surakarta cabang Surabaya.
Upacara malam itu -- yang dirangkai dengan konser karawitan dari
yang klasik hingga perkembangannya kini oleh grup Condong Raos
serta pagelaran wayang kulit semalam suntuk dengan cerita
Palgunadi -- cukup megah dan khidmat meski di luar turun hujan.
Tentu bukan lantaran tubuhnya yang besar itu maka Ki Narto
disebut Seniman Besar. Melainkan seperti kata Moedhakir
Wirogoeno pendiri dan ketua YASBI, "karena kepemimpinannya yang
tangguh terutama keberanian dan ketekunannya mencipta yang
terus-menerus tanpa mempersoalkan apakah karyanya baik atau
buruk". Dengan alasan sama, Moedhakir punya rencana akan
menyampaikan gelar serupa kepada Ngaliman, salah. seorang
koreograf Sendratari Ramayana dan L. Martopangrawit, pencipta
gending-gending Jawa -- keduanya dari Sala.
Gitar dan Biola
Lahir di desa Wedi Klaten, 25 Agustus 1925, Ki Narto hanya
berpendidikan Standaard School Muhammadiyah (SD 5 tahun), anak
seorang ahli kerajinan pembuat sarung keris. Ketika ibunya
menjanda, Soenarto gagal melanjutkan pelajaran. Untung ia
tertolong oleh bakatnya. Selain senang karawitan, sejak kelas
III SD ia sudah mengenal gitar dan biola. Dan sampai sekarang
pun masih gemar memainkannya. Suat ketika ia main-main menabuh
kendang untuk rombongan ketoprak yang main di Klaten. Ki
Sastrosabdho mendengar kelihayan anak desa ini. Kontan pendiri
dan ketua grup wayang orang Ngesti Pandowo yang berdiri tahun
1937 ini bilang kepada pembantunya: "Terserah bagaimana
caranya, pokoknya saya ingin anak itu ikut kita".
"Setelah dibujuk-rayu dengan dibelikan pakaian dan makanan,
akhirnya saya ikut. Tanggal 10 Agustus 1945 saya main pertama
kali dalam Ngesti di pasar malam Asia Bersatoe di Purwokerto",
tutur Ki Narto mengenang masa lampaunya. Tapi lantaran
kegemarannya berjudi, banyak anggota Ngesti yang tak
menyukainya. Pimpinan karawitan Ngesti pun menugasinya sebagai
pengendang supaya gagal dan mendapat malu hingga tak krasan.
"Tapi berkat pengestu para orang tua, kendangan, saya mampu
bikin Ki Sastro menangis", kata Ki Narto. Maka Ki Sastro pun
memanggil pemuda Soenarto ke hotelnya, 'diinterogasi' sekitar
desas-desus sekitar dirinya. Ia mengakui, "tapi hal itu saya
jamin tak akan merusak tugas saya". Ki Sastro pun menegaskan:
"Kalau mau ikut Ngesti terus, kebiasaan ituharus dihentikan" --
sambil memberinya selembar surjan. Pakaian itu tak berumur 3
hari. Soenarto menjualnya untuk main domino -- dan itu berulang
berkali-kali.
Ki Sastro jengkel. Ia menghubungi orang tua Soenarto. Saat itu
Ngesti lagi main di Sala. Ketika ibunya menyusul, Narto sedang
berendam di kali Bengawan Sala, konon sudah berlangsung 33 hari.
Bukan sekedar mandi tapi juga bertapa, sekaligus mengeringkan
pakaian yang hanya satu-satunya. "Ketika ibu mengajak pulang,
saya menurut saja. Memang berasal dari desa, saya pun kembali ke
desa", katanya. (Di lain kesempatan ia pernah menyatakan sebagai
keturunan pada derajat ke-7 -- gantung siwur, istilahnya -- dari
Raden Mas Said, alias Sambar Nyawa, gelar KGPAA Mangkunagara I.
pendiri kerajaan Mangkunagaran, Surakarta). Di Wedi, selain
membantu ibunya berjualan buah mlinjo dan cabai di pasar, ia
iseng-iseng membuat seruling. Ini berlangsung sampai 4 bulan.
Sebentar menjudi loper pengantar susu, bahkan pernah jalan kaki
ke Yogya mencari pekerjaan. Ternyata Ki Sastro merasa
kehilangan. Tapi utusannya 2 kali gagal mengajak Soenarto ikut,
hingga terpaksa ia sendiri memerlukan datang. Satu setengah hari
di Wedi, sengaja. Narto tak diajaknya ngomong, "sebagai
pelajaran percobaan". Akhirnya Narto tak tahan, ia mengajukan
niat ikut Ngesti.
Sejak itulah ia boleh dikata menjadi semacam maskot. Ia
mengadakan beberapa perubahan pada gerak tari para pemain Ngesti
dan mencipta gending. Lebih dari itu ia selalu menjadi pusat
perhatian penonton manakala tampil menabuh 6 kendang, 1 tambur,
1 jazz, 1 bedug sekaligus. Tak kalah dengan pemain drum jazz
Amerika, Gene Krupa. "Itu dulu, tahun 1964 ketika saya masih
suka dikeploki penonton. Sekarang saya kan sudah tua", katanya.
Sebelumnya, selama 2 tahun, ia mendapat kesempatan belajar di
ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) yang baru saja dibuka di
Sala. "Pak Lurah Martopangrawit itu guru saya dalam karawitan
Jawa, sedang dalam karawitan Bali saya berguru pada Pak Made
Rembang". Karena jasa-jasanya, oleh Ki Sastro tahun 1948 ia
dianugerahi gelar "sabdho" hingga namanya menjadi Ki
Nartosabdho. Ada seorang lagi yang mendapat gelar serupa yaitu
almarhum Soedarso (Darsosabdho) yang terkenal sebagai tokoh
Gareng. Ki Sastrosabdho sendiri meninggal tahun 1965.
Hidup Sederhana
Komposisi Ki Narto yang pertama adalah Srawa Suling (1952) yang
sangat populer saat itu, di samping Modernisasi Desa. Dengan
tema Swara Sulin, ia menciptakan sebuah poutpurri 3 babak
sepanjang 5 menit berjudul Wandali (Jawa-Sunda-Bali) dan memang
penampilannya bergaya Jawa, Sunda dan Bali untuk setiap babak.
Ia sendiri sudah tak bisa menghitung jumlah ciptaannya. Tapi
semuanya tercatat rapih dalam 3 buku tulis tebal dengan tulisan
Latin atau Jawa yang bagus. Komposisinya yang terakhir antara
lain: Ketawang Suka-suka, Ketawang Cengkir Wungu, Wira-Wiri,
Panon Langking, Pujiku, Jakarta Indah. Untuk menyambut anjuran
hidup sederhana, ia membuat gending Dara MulUk. Ada beberapa
ciptaannya yang bisa dimainkan secara langgam kroncong seperti
Aja Lamis, Setyatuhu, Kadung trisna, Rasamadu. Kecuali
memimpin Condong Raos (berdiri 1 April 1969) yang selalu
mengikutinya ke mana saja ia main, 2 tahun lalu ia juga
membentuk grup orkes kroncong walaupun "hanya untuk hobi dan
latihan sendiri di rumah". Beberapa kalangan beranggapan, tak
ada gending ciptaan Ki Narto yang 'berat'. Gending Ibu Pertiwi
(sering diperdengarkan dalam upacara pernikahan masyarakat Jawa)
yang sebenarnya cukup mantap, dianggap "hanya gubahan gending
Subakastawa yang anonim yang dulunya hanya partitur lalu diberi
lirik oleh Ki Narto". Tapi memang ada ciptaannya yang kelas
'berat' misalnya Sekar Ngenguwung yang melankolik. "Gending ini
saya ciptakan cukup lama dan inspirasinya ada hubungannya dengan
suasana batin saya", katanya. Yang betul-betul ringan (dan
enak!) adalah sejumlah gending-gending dolanan (mainan
anak-anak).
Betapa pun niat Ki Narto membuktikan kemampuan gamelan Jawa
sangatlah terpuji. "Dulu tak ada gending Jawa berirama rumba,
samba, walz atau dangdut. Saya mau mencobanya. Misalnya Ladrang
Sang Kelana, bisa kita mainkan dengan irama ", katanya. Dalam
konser karawitan di gedung Mitra Surabaya yang menghidangkan 14
komposii ciptaan Ki Narto -- sempat pula ditampilkan lagu
Begadang punya Oma Irama dalam Pelog Patet Nem. Sekarang ia
lagi menyiapkan konser Jayawijaya yang menggambarkan situasi
sejak Majapahit hingga kini. "'Pernah saya coba lamanya sekitar
1 jam 20 menit", katanya. Iramanya disesuaikan dengan
masing-masing jaman: jaman kerajaan-kerajaan, jaman Belanda,
Jepang dan seterusnya. Untuk itu ia membaca buku-buku karangan
Ir. Moh. Yamin. "Lha ciptaan yang begini ini kok dikatakan
merusak", ia tertawa. "Saya justru ingin menunjukkan keampuhan
gamelan Jawa. Tapi pelaksanaannya memang agak repot. Diperlukan
4 perangkat gamelan sekaligus yang nadanya sama betul dan bisa
bermain serempak".
Lebih terkenal sebagai dalang, ia banyak belajar sendiri. Dulu,
seorang dalang biasanya keturunan dalang pula. Bahkan ada
kepercayaan bahwa dalang yang baik adalah yang kewahyon
--mendapat wahyu. "Tapi saya tidak. Saya hanya memilih
teknik-teknik yang baik dari beberapa dalang terkemuka", kata Ki
Narto. Dua tokoh dalang tua yang ia kagumi bertahun-tahun adalah
Ki Ngabei Wignyosoetarno (Sala) dan Ki PoedJosoemarto (Klaten).
Di samping itu ia juga menekuni beberapa buku: Bhagawat Gita,
Sejarah Wayang, Kapustakan Jawi, Mahabharata, Pustaka Raja. Satu
peristiwa yang mengangkatnya menjadi terkenal ialah tahun 1958.
Ketika itu Ngesti main di Jakarta. Sukiman, kepala studio RRI
Jakarta tertarik pada kendangan Ki Narto. Ia menemui Ki Narto
yang menginap di PHI Kwitang. Di sana saya tidur di atas tikar
lusuh dan banyak kepindingnya", katanya. "Pak Kiman mengajak
melihat latihan karawitan RRI dan saya diminta memberi
petunjuk-petunjuk. Mendengar saya suka membaca buku-buku
pedalangan, Pak Kiman menawari saya main di RRI. Tapi saya masih
minta waktu".
Saya Panik
Maka dengan janji, tanggal 28 April 1958 Ki Narto mendalang di
gedung PTIK Jakarta disiarkan RRI dengan cerita Kresna Dut:
"Saya panik. Maklum baru pertama kali. Lebih-lebih main di
Jakarta dan disiarkan RRI. Pada adegan pertama, mencari cempala
saja bingung, padahal sudah tergeletak di pangkuan saya",
tuturnya. Cempala adalah alat pemukul dari kayu yang biasa
digunakan ki dalang untuk memperkuat pelukisan suasana dramatik
dengan memukul-mukulkannya pada sisi kotak wayang. Sejak itulah
namanya menanjak, hingga mendapat kesempatan main pada Dies
Natalis UGM Yogya, kemudian di Balai Pemuda Surabaya dan Sala.
Sementara itu ia juga masih sempat mengarang cerita-cerita
wayang (yang puluhan tahun nanti mungkin bisa jadi pakem!)
seperti Dasa Griwa, Mustaka Weni, Ismaya Maneges, Gatutkaca
Sungging, Gatutkaca Wisuda, Arjuna Cinoba, Kresna Apus, Begawan
Sendang Garba -- tak kurang dari 10 lakon. Cerita ketoprak belum
pernah ia menulisnya tapi sudah berkali-kali main. Pada masa
revolusi fisik dulu, grup Ngesti sendiri sering mementaskan
cerita-cerita carangan. Antara lain Praja Binangun (Negara yang
sedang berdiri) yang sedang berperang melawan Bantala Rengkah
(tanah rengkah, Nederland) yang rajanya bernama Kala Pamuka (van
Mook) dengan senapatinya Raja Dahana (kereta api, Jenderal
Spoor)....
Ki Narto sendiri kalau mengarang cerita atau gending biasa
bergadang sampai jam 3 pagi -- satu hal yang lumrah bagi seorang
dalang yang biasanya main semalam suntuk sejak jam 8 malam
sampai subuh. Meskipun setiap hari cuma minum jamu ramuan
dedaunan yang biasa dikenal dalam masyarakat Jawa (daun pepaya
atau beras kencur) dan sering mendalang, toh badannya
sehat-sehat saja. Pergi ke dokter cuma sekali-sekali,
olah-raganya cuma jalan-jalan pagi hari. Waktunya hampir tak
pernah lowong. Bulan Januari kemarin saja 5 kali pergelaran dan
6 malam berturut-turut rekaman. Rata-rata sebulan main 10 kali
(tapi minimum 3 kali). Ada bulan-bulan laris baginya. Misalnya
Ruwah, Besar dan Rejeb (di mana banyak orang mengadakan pesta
menurut perhitungan tarikh Jawa) serta bulan Agustus (untuk
memperingati proklamasi kemerdekaan). Kadang-kadang setelah
mendalang semalam suntuk malah tidak tidur sama sekali, seperti
ketika main 2 malam berturut-turut di Jakarta dan Surabaya. Atau
juga ketika mendalang di Medan, Lombok, Bali, Singkawang.
Banjarmasin. Semuanya dengan iringan Condong Raos lengkap dengan
kesepuluh pesinden (waranggana, biduanita) antara lain Nyi
Igatirah, Nyi Sumaryati, Nyi Sumarni, Nyi Sudarni dan Nyi
Supadmi.
Berapa honorarium sekali mendalang'? Ki Narto enggan menyebut
jumlah. Dari beberapa orang yang pernah menanggapnya, tak kurang
dari sekitar Rp 150 ribu (di Semarang) dan minimal Rp 200 ribu
(di luar Semarang). Tapi ke Medan atau Singkawang misalnya, sama
dengan 10 kali mendalang di Semarang. Sebagai perbandingan,
seorang dalang dari Klaten hanya mendapat Rp 30 ribu semalam
sudah termasuk untuk gamelan dan transpor. Ny. Rahati Subeno
(wanita dalang yang juga anggota DPR Semarang) malah cuma Rp 25
ribu itu saja masih harus dibagi dengan para pesinden dan
niyaga (penabuh gamelan) sejumlah tak kurang dari 15 orang. Di
Semarang, saat ini terdaftar tak kurang dari 125 dalang, 2 di
antaranya (kecuali Ki Narto) yang cukup laris, yaitu Ki Hadi dan
Ki Prawirotjarito. Jelas, penghasilan Ki Narto memang luar
biasa. Belum lagi ditambah dengan produksi kaset-kaset-nya,
meskipun ia juga enggan pula menyebut jumlah penghasilannya dari
sektor ini.
Pertama kali merekam Goro-goro (banyolan Semar-Gareng-Petruk) di
Lokananta (Sala) dengan waranggana Nyi Ngatirah, kini Ki Narto
juga rekaman untuk perusahaan Irama. Dengan piringan hitam dan
kaset yang jumlahnya cukup banyak, beberapa orang menyatakan Ki
Narto juga mau merekam untuk studio-studio lain (di Semarang
saja ada 3 studio rekaman 'gelap'). Pokoknya Rp 100 ribu. Akibat
kaset ini, tentu saja banyak dalang-dalang terpojok, dan tentu
saja juga sejumlah niyaga dan waranggana yang boleh dikata
kehilangan penghasilan. Orang lebih suka memutar kaset yang
lebih murah dari pada nanggap wayang yang dianggap terlalu
mewah. Ki Narto kabarnya juga sering merekam permainannya yang
disiarkan RRI, sebab merekam langsung di RRI tidak
diperbolehkan. Dan tak sedikit para penggemarnya yang minta
kaset untuk tanda-mata. Bagi Ki Narto kecuali kaset semacarn itu
punya nilai dokumentasi, juga"untuk meningkatkan mutu seni
pedalangan kita....".
Perusahaan Natah Wayang
Meskipun cuma punya anak tunggal (Jarot Sabdono, baru kelas III
SMP). namun Ki Narto menanggung 25 jiwa -- terdiri dari anak
kemenakan, ipar dan 6 karyawan. Ki Narto memang punya semacam
perusahaan pembuatan wayang kulit (natah-sungging) meskipun
mengaku hanya untuk koleksi sendiri. Koleksinya sudah 4 kotak
besar 3 kotak di antaranya dipoles dengan prada "Wayang saya
selalu pakai prada, bukan bronz. Dengan prada, selain pindah
juga awet seperti ini", katanya sembari memamerkan wayang Janaka
dari jaman Demak yang sudah berumur 300 tahun. Konon sejak jaman
Majapahit, wayang Indonesia selalu dipoles dengan prada yang
diimpor dari Muangthai. Prada bikinan Hongkong (merek Real Gold
roil cap GaJah) sekarang mencapai harga sekitar Rp 5.000, 1
kotak kecil berisi 10 bungkus. Sedang bronz, hanya Rp. 250 untuk
setiap onze.
Kalau dulu selalu berkendaraan sepeda, kini Ki Narto selalu
tampak dengan mobil sedan Mercedes Benz 220 S warna kuning
gading tahun 1965. Rumahnya pun tidak lagi kompleks perumahan
karyawan Ngesti Pandawa yang sederhana dan berjejal di pojok
lapangan simpang lima' Pancasila. Sekitar tahun 50-an grup
Ngesti memang menetap di Semarang dan selalu bermain setiap
malam di gedung GRIS jalan Pemuda. Dan tahun 1952 membuka
kompleks perumahan untuk 99 kepala keluarga karyawannya. Kecuali
Ngesti, di Semarang ada 2 grup lain, yaitu Sri Wanito dan Wahyu
Budoyo. "Tapi seperti halnya rokok, masing-masing punya
keunggulan sendiri-sendiri", komentar Ki Narto. Ki Narto sendiri
kecuali sebagai Kepala seksi karawitan juga wakil ketua Ngesti
serta salah seorang penasihat Ganasidi meskipun lebih banyak
bermain diluar gedung GRIS. Sudah 3 tahun ini ia menempati rumah
sendiri di jalan Anggrek tak jauh dari kompleks perumahan
Ngesti, nomor 7 (untuk rumah tangga dan kantor) serta nomor II
(untuk latihan). Boleh dikata, setiap tukang becak tahu di mana
rumah Ki Nartosabdho: jalan Anggrek X/7 Semarang, belakang
Gedung Olah Raga alias GOR simpang lima Semarang....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini