WASHI Dipa, dari Dipa Jaya Film Jakarta, pernah datang pada LJN
Hoffman direktur pelaksana PT Perfin. Ia melaporkan bahwa di
salah sebuah rumah telah berkumpul 4 orang produser film.
Mereka bermaksud membuat pernyataan, bahkan kalau mungkin mosi
tidak percaya -- terhadap PT Perfin. Begitulah dinyatakan oleh
Chaidir Rachman selaku Humas Perfin.
Tapi laporan Washi Dipa tidak ditanggapi Hoffman secara serius.
Lantaran menurut Chaidir, "pimpinan PPFI dan Perfin menganggap
hal itu tidak lebih dari sebuah proof baloon, dari suatu rencana
yang diprakarsai oleh satu-dua produser yang menjadi kalap
lantaran mengalami colapse". Untuk menutupinya mereka berusaha
menuding pihak lain, dalam hal ini PT Perfin. Padahal ambruknya
usaha mereka selaku produser film disebabkan buruknya
tatalaksana yang mereka lakukan sendiri, dalam membina dan
menyelenggarakan usaha di bidang produksi dan pemasaran film.
Begitu kira-kira uraian Chaidir yang disiarkan ke berbagai
kantor surat kabar.
Bikin Pabrik Tempe
Ketidak-puasan para produser tidak lain karena jangka waktu
peredaran Film yang sangat lama. Apalagi setelah diputarnya film
nasional melalui Perfin, hanya Taran Kota yang mencatat jumlah
penonton paling banyak". Kalau tidak ada yang menonton, itu
bukan kesalahan Perfin. Bikin film bagus tentu banyak yang
menonton", kata Hofman. Para produser menjawab: "Ya bikin film
bagus sih boleh. Tapi kalau untuk beredar masih harus menunggu 6
atau 7 bulan, bagaimana bisa produksi lagi?
Lalu beberapa produser seperti Rofii Prabancana dari Sri Agung
Utama, Sandi Suwardi Hasan dari Serayu Agung Film dan H. Ping
Wiryawan yang memproduksi Mipi Sedib, kemudian Panorama Film
dan Chan Patimura, sudah berniat menghentikan produksinya.
"Berproduksi hanya akan menghamburkan uang saja", kata Ping
Wiryawari yang juga menjadi importir film. Sandi dengan nada
yang lebih keras mengatakan: "Selama masih ada PT Perfin saya
tidak mau produksi lagi". Lain lagi dengan Benyamin yang juga
produser.. "Kalau keadaan perfilman kita masih begini saya lebih
baik bikin pabrik tempe", katanya. Sedang Tuti Mutia dari Tuti
Mutia Film mengaku tidak anti pada Perfin. Tapi "cara
peredarannya sangat menghambat lajunya produksi".
Melihat keresahan para produser atas kerja Pelfin, Hoffman
sebagai direktur badan pengedar tersebut kelihatan tenang saja.
"Saya rasa secara idiil Perfin sudah mencapai tujuan. Secara
komersiil memang belum mencapai sasaran", katanya. Nah, sekarang
kalau para produser memang merasa tidak senang dengan cara kerja
Perfin atu personilnya silakan mengajukan usul sembari
mengajukan calon pengganti personil. Itu saran suami Citra Dewi
yang sekarang tidak lagi sibuk memproduksi film. "Tapi yang
jelas Perfin tidak mungkin bubar, karena ini keputusan 3
Menteri" kata Hoffman dengan yakin. "Yang tidak percaya pada
Perfin itu 'kan golongan produser importir yang kalau tidak
berproduksi masih bisa hidup sebagai importir film".
Semangat Hoffman mempertahankan Perfin konon dimengerti juga
oleh Yudi Astono dari Bayu Adi Film. Tapi orang ini juga ada
memberi nasehat. Katanya: "Kalau Perfin mau berjuang harus
berani berkorban". Maksudnya harus berani mengorbankan film
yang jelek. "Kalau film jelek masih harus beredar juga,
akibatnya penonton merasa dikibuli. Ini akan memukul film
Indonesia yang lain". Nah dengan adanya situasi yang begitu,
Yudi Astono yang memproduksi film Malam Pengantin mengajukan
usul pada Perfin untuk bisa mengedarkan sendiri filmnya tanpa
mengganggu jadwal Perfin. Mula-mula Perfin tentu menolak. "Ini
ikan tidak melanggar SK 3 Menteri", kata Yudi. "Bioskop
diwajibkan memutar film sekurang-kurangnya 2 judul dalam satu
bulan. Kalau lebih kan tidak apa-apa", tambahnya pula.
Dan itu dibenarkan oleh Direktur Pembinaan Film Deppen H.
Djohardin. "Sebab prinsipnya Perfin membantu produksi Nasional
yang tidak mampu mengedarkan filmnya. Bagi yang mampu
mengedarkan sendiri, yah, silakan". Begitu Djohardin berkata.
Pihak bioskop juga ternyata tidak keberatan. "Bagi kami
tergantung filmnya. Kalau film itu memang bisa ditonton kenapa
kami mesti menolak?" kata Rudi Lukito yang memimpin Garden Hall
Group. Djohardin menambahkan: "Jadi free booking ini untuk yang
merasa mampu. Yang tidak mampu tidak usah takut, Perfin masih
tetap membantu". Dengan adanya sistim baru ini (istilah Perfin
(extra booking) maka film-film yang sudah menjalani
pendaftaran bebas tidak lagi mendapat jatah dari Perfin.
Berhasilnya Yudi Astono dengan pendaftaran bebas menyebabkan
banyak produser akan mengikuti jejaknya. Untuk bulan Pebruari
ini tercatat 2 film yang akan dibegitukan: Benyamin Ngibul
tanggal 10 Pebruari dan Malam Pengantin tanggal 17 Pebruari
1976. Pada bulan-bulan menndatang, sejumlah film yang dianggap
baik oleh pemiliknya konon akan pula beredar secara bebas.
"Sebenarnya kalau Perfin sudah beroperasi di seluruh Indonesia,
tidak perlu ada ekstra bookir", kata Hoffman. Orang ini
menjelaskan bahwa tidak selalu bermula dengan pemutaran di
Jakarta. "Ini berarti akan ada film yang diedarkan di daerah
lebih dahulu". Dan usaha ke arah itu memang sedang dirintis.
"Bulan Pebruari ini Jawa Timur sudah menggunakan Perfin untuk
peredaran film nasional", tambahnya. "Berarti jatah Jakarta
sudah mulai dikurangi. Nah kalau sudah seluruh Indonesia, 'kan
jatah Jakarta jadi sedikit. Berarti untuk menunggu masa edar
tidak lagi sampai 6 atau 7 bulan. Bahkan mungkin malah
kekurangan film untuk diedarkan", ujar Hoffman.
Tentu saja akan lebih berkurang lagi jumlah itu kalau memang
beberapa produser betul-betul berhenti berproduksi. Tapi sebelum
niat itu menjadi kenyataan, peredaran bebas sudah halal.
"Artinya Perfin hanya akan menampung film-film rombengan", ujar
seorang manajer bioskop ying enggan disebut namanya. Dan kalau
film-film itu gagal di peredaran, Perfin juga yang kena
getahnya, bukan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini