Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Budda jawi tanjung balai

Pengadilan negeri tanjung balai menjatuhkan hukuman terhadap 11 orang tertuduh penganut buddadjawi wisnu. kepercayaan terlarang, walaupun sudah diperingatkan. anggotanya bekas pki atau ormasnya. (ag)

14 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGADILAN Negeri Tanjung Balai bersidang di Kota Asahan propinsi Sumatera Utara, tanggal 29 Januari 1976 yang lalu -- dipimpin oleh Hakim Swardi Mahyudin SH telah menjatuhkan hukuman masing-masing 4 bulan penjara terhadap 11 oang tertuduh. Mereka adalah: Sumolaksono (50 tahun), Sonokerto alias Diko (50 tahun), Martono alias Wakidi (39-tahun), Kadiran (55 tahun), Untung (39 tahun). Sukidi (50 tahun). Kasiran (52 tahun). Sarki (43 tahun), Sadi (22 tahun), dua orang perempuan masing-masing Saikem (36 tahun) dan Suni (15 tahun). Kesemuanya penduduk kampung Tinggiraja Darat. Kecamatan Buntu Pane, Kabupaten Asahan, yang diseret ke depan pengadilan karena menganut agama yang mereka namakan Buddadjawi Wisnu. Ini adalah salah-satu aliran kepercayaan yang terlarang sesuai dengan surat keputusan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara tertanggal 13 Septemher 1967, nomor B-8301/H.2.1/1967. Dalam pertimbangannya, Hakim Swardi Mahyudin SH menyatakan bahwa para tertuduh telah berulangkali dinasehati oleh Muspida. Bahkan surat keputusan Jaksa Tinggi Sumatera Utara yang melarang ajaran agama itu berulangkali diberikan kepada mereka, tetapi ternyata mereka tidak peduli. Yang memberatkan tertuduh ialah menganut suatu agama yang tidak diakui pemerintah serta menimbulkan kegoncangan masyarakat, setidak-tidaknya ketidaktenteraman. Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum, Parhimpunan Nasution, dengan alasan yang tidak berbeda menmtut hukuman bulan penjara terhadap Sumolaksono selaku pendeta atau pimpinan. Sedang yang lain diminta dijatuhi hukuman masing-masing 4 bulan penjara. Hukuman itu diminta jaksa karena para tertuduh telah melakukan perbuatan terlarang sesuai dengan fasal 156 (a) KHP. Yakni dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau mengeluarkan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Di antara ajaran yang mereka praktekkan: Fasal 7 Kitab ,lgami Buddadjawi WiSnu yang dikeluarkan oleh Resi R. Kusumodewo selaku pimpinan agama itu (di Madiun), antara lain menyebutkan: Tiang agami Buddodjawi Wisnu boten kenging nyebat cara Arab, kadosto: Bismillahirrohmanirrohim, laila haillallah Mohammad rasulullah. ("Orang agama Buddadjawi Wishnu tidak boleh menyebut bahasa (cara) Arab, seperti..." dan seterusnya). Menyampaikan pledoi singkatnya setelah mendengar Jaksa, Sumolaksono yang mengaku pendeta membantah keras semua isi tuduhan: "Bapak hakim. Pasal 156 itu tidak sah, karena ada Undang-undang dasar 1945 dan Pancasila. Semua orang bebas untuk menganut agama sesuka hatinya yang dipercayainya", katanya dengan lancar seperti telah dipersiapkan. "Kalau ada yang mau menganut agama orang Arab kami 'kan tidak keberatan dan tidak campuri. Kami tetap menganut Hong Wila Heng landasan kami UID 1945 dan Pancasila. Karenanya semua tuduhan itu batal". Ucapan yang sama juga berasal dali tertuduh Sonokerto alias Diko: "Saya rakyat pak. Selama negara kita masih merdeka berarti UUD 1945 (yang mereka maksud Fasal 9 UUD 1945 tentang kebebasan menganut agama) harus berlaku. Kalau UU tidak ada lagi berarti kita dijajah. Namun saya tetap beragama Buddadjawi Wisnu". Hakim dan Jaksa pada mengangguk. Sehabis mendengar putusan hakim, para tertuduh menyatakan akan naik banding. Pedukunan Mbah Suro Jaksa Parhimpunan Nasution, selesai persidangm di kantor Kejaksaan negeri Kisaran, menyatakan bahwa selain ajaran itu dilarang dengan putusan Jaksa Tinggi Sumatera Utara, juga terlarang oleh ketentuan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Di dalam surat Kejaksaan Agung nomor B-3 1 1 0/B2. 1/7/1973 tanggal 25 Juli 1973, ditandatangani oleh Kepala Direktorat Politik Susanto Karto Atmojo SH, ternyata Buddadjawi Wisma ini disamakan kategorinya dengan pedukunan Mbah Suro. Menurut Jaksa Nasution, gerakan mereka memang mencurigakan karena anggotanya kebanyakan bekas PKI atau ormas-ormasnya. Pihak Kejaksaan Negeri Kisaran mulai mencium adanya penganut agama itu, ketika dalam rapat kordinasi Intel yang dilakukan pertengahan tahun lalu diterima laporan setelah diselidiki. diperoleh bukti-bukti bahwa lebih kurang 10 keluarga petani di kampung Tinggi Raja Darat Kecamatan Buntu Pane telah menganutnya. Mereka semua, dengan anak-anaknya berjumlah 54 orang. Pimpinannya bernama Sumolaksono. Beliau ini bersama dua orang rekannya bernama Ki Bakri Notosiswo dan Kasmidi, tahun 1967 yang lalu pernah dipanggil dan diperingatkan oleh Jaksa Tinggi Sumatera Utara. Pisang Dua Sisir "Mau masuk agama kami caranya murah saja", kata Sumolaksono Kepada penulis, tanggal 29 Januari 1976 yang lalu ia mengaku sebagai pendeta dan pucuk pimpinan untuk daerah propinsi Sumatera Utara. Untuk jabatan itu dia dilantik pada tahun 1964 oleh pucuk. pimpinan agama Kuddadjawi Wisnu Indonesia, bernama Resi R. Kusumodewo yang tinggal di Jalan Lawu no.37 Madiun, Jawa Timur. "Kalau saudara memang sudah merasa ikhlas, tidak dipaksa-paksa. datanglah kepada saya membawa gedang rojo (pisang raja) dua sisir. kembang kenanga, kembang kantil, kembang mawar, kembang cempaka putih. Saudara akan disumpah dan resmi sebagai anggota penganut Buddadjawi Wisnu". Setelah menjadi anggota, mereka tidak diperbolehkan lagi menganut kepercayaan lain. Kalau diundang kenduri boleh datang, tapi waktu mendoa tidak boleh ikut-ikutan bilang "amin". Selain itu tak boleh mencuri, menipu, berdusta, mengganggu perempuan orang, minum mabuk-mabukan, madat dan sejenisnya. Upacara agama dilakukan pada malam Rabu dan malam Sabtu. Yaitu bersemedi menyembah Sang Hiyang Wisnu yang memelihara alam semesta. Upacara boleh dilakukan di bawah sinar lampu. Tapi pada puncaknya, yaitu tepat tengah malam dilakukan dalam gelap gulita. Sumolaksono dilahirkan di Tulung Agung tahun 1920, di tengah keluarga Islam. Tapi dia mengaji Al-Quran. Tahun 1951 berkenalan dengan pendeta Ki Donowarsito, penganut Buddadjawi Wisnu. Terpengaruh agama yang dianut pendeta itu yang menurutnya sangat mudah, karena ibadahnya berbahasa Jawa. Ini terjadi di Surabaya tahun itu juga. "Daripada payah-payah bahasa Arab yang kita tidak tahu artinya, lebih mudah agama ini. Bahasanya Jawa, jadi kita terus ngerti". Sumolaksono pindah dari Jawa ke Sumatera tahun 1954. Ketika itu dia menetap di perkebunan Aek Tarum, Kecamatan Bandar Pulau, Kabupaten Asahan. Bekerja selaku tukang deres di kebun, tahun 1967 dia pindah ke kampung Sukaramai Kabupaten Labuhan Batu. Dan sejak 1972 dia menetap di kampung Tinggiraja Darat sampai sekarang. Diakuinya bahwa dia selalu menyeru orang untuk menganut agamanya. Apalagi setelah 1964 dia ditabalkan selaku Pendeta dan menjadi pimpinan daerah Sumatea Utara, bersama Pendeta Notosiswo yang tinggal di Jalan Pertiwi no.5 Medan Memang waktu itu pengikut mereka lumayan jumlahnya. Tapi semua berantakan ketika tahun 1967 keluar putusan Jaksa Tinggi yang melarang ajaran itu. Pengikutnya pada kabur, tinggal yang militan saja, dan itulah yang pada tanggal 29 Januari 1976 dijatuhi hukuman oleh Hakim, termasuk dia sendiri. Dijelaskan Sumolaksono, bahwa agama itu didirikan oleh R. Kusumodewo di Surabaya pada 25 Nopember 1925. Sampai sekarang oleh pengikutnya R. Kusumodewo dianggap Nabi dan bertindak selaku pucuk pimpinan pusat. Setelah itu baru pendeta seperti dia sendiri, yang sebagai pucuk pimpinan daerah dibantu oleh bawahan yang disebut Cecanggan, Manguyuyu, Purbacaraka, Pengawat-awat, Pangrukti. Kemudian baru anggota biasa. Selaku pendeta dia kepala upacara agama. Bila ada anggota yang mau kawin dia berfungsi sebagai tuan Kadhi. "Bila kedua mempelai sudah mendapat surat N.A. dari Kepala Kampung setempat, dan kedua orang tuanya sudah setuju perkawinan itu, ya.... saya kawinkanlah mereka", katanya sambil kelihatan bangga. Ia menyebutkan sudah banyak pengantin yang dikawinkannya. Yang penting, dia sama sekali tidak merasa membuat kerusuhan atau keresahan di masyarakat walaupun Kepala Kampung Tinggi Raja Harun Gurning di depan persidangan menyatakan, bahwa Sumolaksono dan kawan-kawan selalu kasak-kusuk mempengaruhi orang-orang yang sudah beragama Islam di daerah itu. Sehingga berkali-kali kantor Kepala Kampung didatangi pengetua-pengetua di sana yang mengadukan ihwal Buddadjawi Wisnu itu. Sumolaksono sendiri tak memungkiri bahwa sebahagian besar anggotanya adalah orang-orang berkartu penduduk warna merah karena terlibat PKI. "Tapi walau bagaimanapun kami mmpunyai hak untuk menganut agama yang kami sukai, bukan? ujarnya. Anehnya ia ketawa terkekeh. Kepada penulis diserahkannya sebuah buku kecil yang kulitnya bertuliskan huruf Kawi, sedang sebagian bertulis latin: Angger angger soho wewaler AGAMI BUDDADJAWl WISNU -- hing Tanah Djowo INDONESIA. "Baca-bacalah ini peraturan dasar kami. Nanti kalau sudah ngerti datang pada saya", ujarnya. Kemudian meminta uang Rp 100, katanya pembayar harga buku itu yang telah dibayarkannya pada pimpinan pusatnya di Madiun. Bagaimana tentang pimpinan agama itu yang di Madiun, juga yang di Medan? "Itu bukan urusan kami. Terserah petugas hukum di sana" kata Jaksa Parhimpunan Nasution.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus