PENGADILAN Negeri Tanjung Balai bersidang di Kota Asahan
propinsi Sumatera Utara, tanggal 29 Januari 1976 yang lalu --
dipimpin oleh Hakim Swardi Mahyudin SH telah menjatuhkan hukuman
masing-masing 4 bulan penjara terhadap 11 oang tertuduh. Mereka
adalah: Sumolaksono (50 tahun), Sonokerto alias Diko (50
tahun), Martono alias Wakidi (39-tahun), Kadiran (55 tahun),
Untung (39 tahun). Sukidi (50 tahun). Kasiran (52 tahun). Sarki
(43 tahun), Sadi (22 tahun), dua orang perempuan masing-masing
Saikem (36 tahun) dan Suni (15 tahun). Kesemuanya penduduk
kampung Tinggiraja Darat. Kecamatan Buntu Pane, Kabupaten
Asahan, yang diseret ke depan pengadilan karena menganut agama
yang mereka namakan Buddadjawi Wisnu. Ini adalah salah-satu
aliran kepercayaan yang terlarang sesuai dengan surat keputusan
Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara tertanggal 13 Septemher
1967, nomor B-8301/H.2.1/1967.
Dalam pertimbangannya, Hakim Swardi Mahyudin SH menyatakan bahwa
para tertuduh telah berulangkali dinasehati oleh Muspida. Bahkan
surat keputusan Jaksa Tinggi Sumatera Utara yang melarang ajaran
agama itu berulangkali diberikan kepada mereka, tetapi ternyata
mereka tidak peduli. Yang memberatkan tertuduh ialah menganut
suatu agama yang tidak diakui pemerintah serta menimbulkan
kegoncangan masyarakat, setidak-tidaknya ketidaktenteraman.
Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum, Parhimpunan Nasution, dengan
alasan yang tidak berbeda menmtut hukuman bulan penjara
terhadap Sumolaksono selaku pendeta atau pimpinan. Sedang yang
lain diminta dijatuhi hukuman masing-masing 4 bulan penjara.
Hukuman itu diminta jaksa karena para tertuduh telah melakukan
perbuatan terlarang sesuai dengan fasal 156 (a) KHP. Yakni
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau
mengeluarkan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan
atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Di
antara ajaran yang mereka praktekkan: Fasal 7 Kitab ,lgami
Buddadjawi WiSnu yang dikeluarkan oleh Resi R. Kusumodewo selaku
pimpinan agama itu (di Madiun), antara lain menyebutkan: Tiang
agami Buddodjawi Wisnu boten kenging nyebat cara Arab, kadosto:
Bismillahirrohmanirrohim, laila haillallah Mohammad rasulullah.
("Orang agama Buddadjawi Wishnu tidak boleh menyebut bahasa
(cara) Arab, seperti..." dan seterusnya).
Menyampaikan pledoi singkatnya setelah mendengar Jaksa,
Sumolaksono yang mengaku pendeta membantah keras semua isi
tuduhan: "Bapak hakim. Pasal 156 itu tidak sah, karena ada
Undang-undang dasar 1945 dan Pancasila. Semua orang bebas untuk
menganut agama sesuka hatinya yang dipercayainya", katanya
dengan lancar seperti telah dipersiapkan. "Kalau ada yang mau
menganut agama orang Arab kami 'kan tidak keberatan dan tidak
campuri. Kami tetap menganut Hong Wila Heng landasan kami UID
1945 dan Pancasila. Karenanya semua tuduhan itu batal".
Ucapan yang sama juga berasal dali tertuduh Sonokerto alias
Diko: "Saya rakyat pak. Selama negara kita masih merdeka berarti
UUD 1945 (yang mereka maksud Fasal 9 UUD 1945 tentang
kebebasan menganut agama) harus berlaku. Kalau UU tidak ada
lagi berarti kita dijajah. Namun saya tetap beragama Buddadjawi
Wisnu". Hakim dan Jaksa pada mengangguk. Sehabis mendengar
putusan hakim, para tertuduh menyatakan akan naik banding.
Pedukunan Mbah Suro
Jaksa Parhimpunan Nasution, selesai persidangm di kantor
Kejaksaan negeri Kisaran, menyatakan bahwa selain ajaran itu
dilarang dengan putusan Jaksa Tinggi Sumatera Utara, juga
terlarang oleh ketentuan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Di
dalam surat Kejaksaan Agung nomor B-3 1 1 0/B2. 1/7/1973
tanggal 25 Juli 1973, ditandatangani oleh Kepala Direktorat
Politik Susanto Karto Atmojo SH, ternyata Buddadjawi Wisma ini
disamakan kategorinya dengan pedukunan Mbah Suro. Menurut Jaksa
Nasution, gerakan mereka memang mencurigakan karena anggotanya
kebanyakan bekas PKI atau ormas-ormasnya.
Pihak Kejaksaan Negeri Kisaran mulai mencium adanya penganut
agama itu, ketika dalam rapat kordinasi Intel yang dilakukan
pertengahan tahun lalu diterima laporan setelah diselidiki.
diperoleh bukti-bukti bahwa lebih kurang 10 keluarga petani di
kampung Tinggi Raja Darat Kecamatan Buntu Pane telah
menganutnya. Mereka semua, dengan anak-anaknya berjumlah 54
orang. Pimpinannya bernama Sumolaksono. Beliau ini bersama dua
orang rekannya bernama Ki Bakri Notosiswo dan Kasmidi, tahun
1967 yang lalu pernah dipanggil dan diperingatkan oleh Jaksa
Tinggi Sumatera Utara.
Pisang Dua Sisir
"Mau masuk agama kami caranya murah saja", kata Sumolaksono
Kepada penulis, tanggal 29 Januari 1976 yang lalu ia mengaku
sebagai pendeta dan pucuk pimpinan untuk daerah propinsi
Sumatera Utara. Untuk jabatan itu dia dilantik pada tahun 1964
oleh pucuk. pimpinan agama Kuddadjawi Wisnu Indonesia, bernama
Resi R. Kusumodewo yang tinggal di Jalan Lawu no.37 Madiun, Jawa
Timur. "Kalau saudara memang sudah merasa ikhlas, tidak
dipaksa-paksa. datanglah kepada saya membawa gedang rojo
(pisang raja) dua sisir. kembang kenanga, kembang kantil,
kembang mawar, kembang cempaka putih. Saudara akan disumpah dan
resmi sebagai anggota penganut Buddadjawi Wisnu".
Setelah menjadi anggota, mereka tidak diperbolehkan lagi
menganut kepercayaan lain. Kalau diundang kenduri boleh datang,
tapi waktu mendoa tidak boleh ikut-ikutan bilang "amin". Selain
itu tak boleh mencuri, menipu, berdusta, mengganggu perempuan
orang, minum mabuk-mabukan, madat dan sejenisnya.
Upacara agama dilakukan pada malam Rabu dan malam Sabtu. Yaitu
bersemedi menyembah Sang Hiyang Wisnu yang memelihara alam
semesta. Upacara boleh dilakukan di bawah sinar lampu. Tapi
pada puncaknya, yaitu tepat tengah malam dilakukan dalam gelap
gulita.
Sumolaksono dilahirkan di Tulung Agung tahun 1920, di tengah
keluarga Islam. Tapi dia mengaji Al-Quran. Tahun 1951
berkenalan dengan pendeta Ki Donowarsito, penganut Buddadjawi
Wisnu. Terpengaruh agama yang dianut pendeta itu yang menurutnya
sangat mudah, karena ibadahnya berbahasa Jawa. Ini terjadi di
Surabaya tahun itu juga. "Daripada payah-payah bahasa Arab yang
kita tidak tahu artinya, lebih mudah agama ini. Bahasanya Jawa,
jadi kita terus ngerti".
Sumolaksono pindah dari Jawa ke Sumatera tahun 1954. Ketika itu
dia menetap di perkebunan Aek Tarum, Kecamatan Bandar Pulau,
Kabupaten Asahan. Bekerja selaku tukang deres di kebun, tahun
1967 dia pindah ke kampung Sukaramai Kabupaten Labuhan Batu. Dan
sejak 1972 dia menetap di kampung Tinggiraja Darat sampai
sekarang. Diakuinya bahwa dia selalu menyeru orang untuk
menganut agamanya. Apalagi setelah 1964 dia ditabalkan selaku
Pendeta dan menjadi pimpinan daerah Sumatea Utara, bersama
Pendeta Notosiswo yang tinggal di Jalan Pertiwi no.5 Medan
Memang waktu itu pengikut mereka lumayan jumlahnya. Tapi semua
berantakan ketika tahun 1967 keluar putusan Jaksa Tinggi yang
melarang ajaran itu. Pengikutnya pada kabur, tinggal yang
militan saja, dan itulah yang pada tanggal 29 Januari 1976
dijatuhi hukuman oleh Hakim, termasuk dia sendiri.
Dijelaskan Sumolaksono, bahwa agama itu didirikan oleh R.
Kusumodewo di Surabaya pada 25 Nopember 1925. Sampai sekarang
oleh pengikutnya R. Kusumodewo dianggap Nabi dan bertindak
selaku pucuk pimpinan pusat. Setelah itu baru pendeta seperti
dia sendiri, yang sebagai pucuk pimpinan daerah dibantu oleh
bawahan yang disebut Cecanggan, Manguyuyu, Purbacaraka,
Pengawat-awat, Pangrukti. Kemudian baru anggota biasa.
Selaku pendeta dia kepala upacara agama. Bila ada anggota yang
mau kawin dia berfungsi sebagai tuan Kadhi. "Bila kedua mempelai
sudah mendapat surat N.A. dari Kepala Kampung setempat, dan
kedua orang tuanya sudah setuju perkawinan itu, ya.... saya
kawinkanlah mereka", katanya sambil kelihatan bangga. Ia
menyebutkan sudah banyak pengantin yang dikawinkannya.
Yang penting, dia sama sekali tidak merasa membuat kerusuhan
atau keresahan di masyarakat walaupun Kepala Kampung Tinggi Raja
Harun Gurning di depan persidangan menyatakan, bahwa Sumolaksono
dan kawan-kawan selalu kasak-kusuk mempengaruhi orang-orang yang
sudah beragama Islam di daerah itu. Sehingga berkali-kali kantor
Kepala Kampung didatangi pengetua-pengetua di sana yang
mengadukan ihwal Buddadjawi Wisnu itu. Sumolaksono sendiri tak
memungkiri bahwa sebahagian besar anggotanya adalah orang-orang
berkartu penduduk warna merah karena terlibat PKI. "Tapi walau
bagaimanapun kami mmpunyai hak untuk menganut agama yang kami
sukai, bukan? ujarnya. Anehnya ia ketawa terkekeh.
Kepada penulis diserahkannya sebuah buku kecil yang kulitnya
bertuliskan huruf Kawi, sedang sebagian bertulis latin: Angger
angger soho wewaler AGAMI BUDDADJAWl WISNU -- hing Tanah Djowo
INDONESIA. "Baca-bacalah ini peraturan dasar kami. Nanti kalau
sudah ngerti datang pada saya", ujarnya. Kemudian meminta uang
Rp 100, katanya pembayar harga buku itu yang telah dibayarkannya
pada pimpinan pusatnya di Madiun.
Bagaimana tentang pimpinan agama itu yang di Madiun, juga yang
di Medan? "Itu bukan urusan kami. Terserah petugas hukum di
sana" kata Jaksa Parhimpunan Nasution.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini