Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Api Seorang Penulis

Penulis Nh. Dini memilih hidup menyendiri di perkampungan lanjut usia. Dia masih terus berkarya dan berkarya.

24 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NH. Dini adalah cerita yang tak pernah berhenti. Telah puluhan novel dan ratusan cerpen yang dia tulis. Sebagian besar diilhami kisah hidupnya sendiri. Sebuah bukti bahwa hidup perempuan bernama Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin ini memang sungguh penuh warna.

Hingga kini cerita tentang Nh. Dini terus berlanjut. Pada usia 68 tahun, penulis perempuan yang amat produktif ini masih terus bergerak. Saat ini Dini tengah mengerjakan beberapa proyek penerjemahan buku, antara lain 20.000 Leagues Under The Sea karya Jules Verne. Tiga buku memoar lanjutan Dari Parangakik ke Kampuchea, terbit akhir 2003, juga sedang dalam persiapan. Perempuan kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 29 Februari 1936 ini memang terus menjaga nyala api dalam dirinya.

Pekan lalu, TEMPO bertamu di rumah Nh. Dini di Perumahan Graha Wredha Mulya, di Kampung Sendowo, Sleman, Yogyakarta. Permukiman yang didirikan oleh Ratu Hemas, istri Sri Sultan Hamengku Buwono X, ini dibuat khusus bagi mereka yang usianya minimal 60 tahun. Setiap penghuni menyewa rumah, tipe 36 dan 42, dengan ongkos Rp 5 juta setahun. "Saya sendiri diundang Kanjeng Ratu Hemas," katanya. Atas undangan itulah, pada Desember 2002, Dini boyongan ke Sendowo. Rumah besar miliknya di Jalan Angsana 9, Sekayu, Semarang, pun dijual.

Tapi mengapa memilih hidup seorang diri di permukiman lanjut usia? Bondan Winarno, penulis dan juga sahabat dekat Dini, menilai keputusan ini adalah cermin kemandirian dan keberanian Dini. "Jarang, lo, ada orang Indonesia seberani dia," kata Bondan, "Mbak Dini itu lebih suka hidup mandiri ketimbang jadi parasit orang lain."

Padahal Dini bukannya tak punya tempat bergantung di hari tua. Kedua anaknya, Marie Claire Lintang (43 tahun, tinggal di Kanada) dan Pierre Louis Padang (37 tahun, bermukim di Paris), sangat ingin sang ibu tinggal bersama mereka. Padang, seorang pelukis, malah sudah menyediakan rumah untuk ibunya. Namun Dini lebih suka hidup bebas. "Tinggal sama anak itu enaknya paling cuma dua minggu," katanya, "Sesudah itu, rasanya kok seperti terimpit."

Graha Wredha bagi Dini adalah pelabuhan yang tepat. "Di sini saya bisa nulis, nggambar, ngopeni tanaman, jalan-jalan kalau ada uang," kata putri bungsu pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah ini.

Dan, lihatlah istana kecil Dini. Aneka tanaman bunga, termasuk anggrek dan teratai, yang segar-subur-sentosa memenuhi halaman depan. Ada juga rumah burung yang diperuntukkan bagi burung liar yang berseliweran.

Rumah hijau ini pula tempat Dini memuaskan hobi melukis. Salah satu karyanya, lukisan cat air pohon bambu bergaya tradisional Cina, tampak terpampang di dinding ruang tamu. Di dekatnya ada sepenggal sajak tulisan tangan W.S. Rendra dibingkai rapi: "Nyamperin matahari dari satu sisi. Memandang insan dari segenap jurusan."

Dengan istana begitu nyaman, bagaimana mungkin Dini merana kesepian? Apalagi segunung kegiatan selalu menanti hari-harinya. "Saya malah ndak tahu orang kesepian itu bagaimana," kata perempuan yang kenyang melanglang dunia ini. Andai mungkin, Dini meminta dalam satu hari ada 30 jam, supaya semua hal yang ingin dia lakukan bisa kebagian waktu.

Kesibukan pengarang novel Pada Sebuah Kapal (pertama terbit 1972) ini memang luar biasa. Saban hari dia mendisiplinkan diri, barang dua setengah jam, duduk di hadapan komputer, merampungkan naskah-naskah tulisan. Agar bisa berkonsentrasi menulis, kunjungan orang luar dibatasi. Jendela kaca rumahnya dipasangi kertas karton bertuliskan: "Tidak terima tamu pukul 17.00 s/d 08.00". Bila tak dibatasi, niscaya tak akan berhenti aliran ibu-ibu tetangga yang datang sekadar melihat tanaman atau mengajak Dini ikut arisan.

Dini juga rajin mengurus "Pondok Baca Nh. Dini" di Aula Graha Wredha. Benar, ini adalah pindahan pondok baca yang didirikan Dini 18 tahun lalu, di rumah lamanya di Sekayu. Ada saja tetamu yang mampir ke perpustakaan dengan 350 buku ini. Seluruh koleksi buku tertata rapi di rak bebas debu. "Ibu Dini suka cerewet kalau melihat ada yang tidak rapi," kata Lastri, penjaga Pondok Baca. Tapi dia menambahkan, "Biarpun cerewet, Ibu orangnya perhatian dan baik hati."

Tidak sedikit pula mahasiswa datang meminta bimbingan Dini untuk penyusunan skripsi. "Mereka an-tre," katanya. Karena keterbatasan waktu, Dini membatasi hanya empat konsultasi mahasiswa dalam seminggu. Biasanya Dini memilih mahasiswa yang surat permohonannya nggenah (teratur) dan menunjukkan pola pikir yang runtut. Kalau tulisan si mahasiswa ti-dak keruan, Dini langsung menolak dengan alasan sedang ada banyak keperluan lain. "Saya minta maaf kepada Tuhan karena terpaksa ngapusi (berbohong)," katanya, "Saya harus begitu karena keterbatasan waktu dan keausan tubuh saya."

Fisik Dini memang sudah aus. Pada tahun 2001, Dini sempat menjalani rawat inap di rumah sakit karena mengidap hepatitis B. Ongkos rumah sakit mencapai Rp 11 juta, termasuk operasi pengangkatan batu empedu. Mengetahui kondisi keuangan Dini, para seniman di Semarang mengorganisasi aksi "Dompet untuk Dini", yang mendapat sambutan luas. Tidak sedikit guru SD menyumbangkan Rp 10 ribu, Rp 25 ribu, demi kesembuhan Dini. Setelah pulih, dia mengirimkan surat terima kasih satu per satu kepada para penyumbangnya.

Hepatitis sudah diusir. Tapi kini pembuluh darah di leher bagian belakangnya telah menyempit dan kehilangan keluwesan. Setiap kali leher berubah posisi, di telinga kanannya terdengar bunyi krek, krek.... Ini masih diperparah vertigo, pusing tujuh keliling, yang kerap datang. Perawatan kesehatan, dengan demikian, menjadi sangat penting bagi Dini.

Tentu saja perawatan kesehatan butuh biaya tak sedikit. Dini menyiasati dengan memilih pengobatan alternatif, yang relatif lebih murah. Tusuk jarum dan pijat rutin dilakukan. Ongkosnya cuma Rp 35 ribu sekali tusuk jarum. Biarpun sudah memilih terapi alternatif yang murah, Dini masih kesulitan dana. Maklumlah, "Honor penerbitan buku hanya cukup untuk kebutuhan makan," katanya. Setiap bulan, dalam setengah tahun terakhir, Dini menerima Rp 1,5 juta. Jumlah tak seberapa itulah royalti atas 32 bukunya—termasuk Pada Sebuah Kapal yang dicetak ulang lebih dari sepuluh kali.

Saat paling mengenaskan adalah ketika krisis ekonomi sedang parah-parahnya menggebrak (1996-2000). Pembeli buku merosot dahsyat hingga royalti yang diterima Dini tinggal Rp 300 ribu sebulan. "Saya pontang-panting hidup dengan menjual perhiasan ini dan itu," katanya. Sebuah fakta mengenaskan. Betapa di negeri ini seorang penulis kawakan tak bisa hidup nyaman dan menikmati hasil karyanya.

Sosok Dini selalu kuat dan ulet. Di tengah situasi keuangan yang pas-pasan, dia tegas menolak tawaran menjadi penulis tetap di berbagai penerbitan. Semata-mata karena dia tidak mau terpenjara dalam sistem kerja dan tekanan tenggat. Baginya, menjadi orang bebas adalah api utama yang menjaga kreativitas kepenulisan tetap menyala.

Memang, Dini jujur mengakui, kadang dia cemburu melihat nasib para penulis perempuan yang banyak muncul belakangan. Mereka dimanja gemerlap berbagai hadiah dan penghargaan. "Zaman saya ndak begitu," katanya. Tapi, "Yah..., biar saja. Itu kan hoki mereka."

Ingatan Dini lalu terlempar ke masa lalu. Tentang Yves Coffin, mantan suami, sebuah subyek kenangan yang sampai kini masih kerap dipertanyakan orang. "Saya cinta banget sama dia. Dulu," katanya. Coffin melamar Dini ketika dia masih menjadi pramugari Garuda.

Pernikahannya dengan Coffin segera kehilangan pesona dan akhirnya berujung pada perceraian. Konsul Prancis ini ternyata pemarah, pelit, penuh perhitungan, dan tidak setia. Coffin tak mau keluar uang ekstra untuk membelikan susu khusus untuk Lintang, bayi mereka, karena toh sudah ada susu kental manis. Suami ini juga tak mau membelikan baju hangat untuk si kecil. Padahal, kala itu Paris sedang di tengah musim dingin yang menusuk tulang.

Setelah bertahun-tahun tertekan dalam kerumpilan—istilah Dini untuk keruwetan—rumah tangga, akhirnya Dini menemukan penghiburan. Dia jatuh cinta pada seorang perwira di kapal Vietnam. Penggalan hidup yang tertuang dalam Pada Sebuah Kapal, tentu setelah diperkaya dengan bumbu-bumbu fiktif.

Kini, kerumpilan rumah tangga itulah yang dikisahkan Dini dengan blak-blakan dalam buku memoar terbaru Dari Parangakik ke Kampuchea. Cara bertuturnya memang konvensional, khas Nh. Dini. Namun, yang luar biasa dan patut disorot dari buku ini adalah keterus-terangannya. Dia tidak segan mengungkapkan sifat-sifat buruk Coffin, perselingkuhan sang suami, juga kemunafikan dirinya sendiri yang menyambut tawaran cinta laki-laki lain.

Parangakik memang membeberkan rahasia kehidupan Coffin-Dini. Sebuah keterus-terangan yang tak biasa di negeri ini. "Ndudah (membedah) kejelekan orang lain, dan mungkin saya sendiri," katanya. Tapi, bagi seorang Dini, bagaimanapun buruk atau pahitnya, kebenaran harus diungkap. "Lebih baik, aku sendirilah yang membuka serta menggelarnya," kata perempuan pemberani ini.

Mardiyah Chamim, R. Fadjri, Heru Nugroho (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus