Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Titik-Titik Embun Dini

24 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia seperti terlahir sebagai penulis. Nh. Dini pertama kali menulis cerpen, Pendurhaka, ketika masih kelas 2 SMP. Cerpen yang dimuat di majalah Kisah ini mendapat sorotan khusus dari H.B. Jassin, paus sastra Indonesia. Dua Dunia, kumpulan cerpen, diterbitkan Dini selagi di bangku SMA.

Selanjutnya, karya Dini bagai tak terbendung. Pada 1961, novelet pertamanya berjudul Hati yang Damai diterbitkan NV Nusantara, Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Lalu, pada 1972, novel yang dianggap legendaris Pada Sebuah Kapal diterbitkan oleh Pustaka Jaya dan kemudian dicetak ulang berulang kali oleh PT Gramedia. Sampai kini karya Nh. Dini mencapai 32 buku, termasuk novel, kumpulan cerpen, dan novelet. Tahun lalu, Dini mendapat penghargaan South East Asia (SEA) Write Award dari pemerintah Thailand dengan hadiah US$ 2.000.

Dini dikenal sebagai penulis dengan gaya bercerita yang lancar, cermat, dan segar, dengan warna kosakata yang tidak lazim digunakan. Dini juga lihai mengungkapkan adegan percintaan dengan gaya yang halus dan sugestif. Gaya yang jauh berbeda dengan gaya blak-blakan ala penulis zaman sekarang.

Goenawan Mohamad menyebut prosa Dini seperti titik-titik embun di daun: ringan, bersih, segar, transparan. Pada Sebuah Kapal yang agak luar biasa tebal menurut ukuran Indonesia ini menyenangkan dan terus membujuk.

Namun Goenawan juga punya kritik untuk Dini. Seperti titik-titik embun di daun, prosa Dini mudah menguap. Tak ada pesan dan nilai yang ditawarkan. Setelah itu, apa yang tersisa? Pada Sebuah Kapal bukanlah pengakuan, tetapi pembelaan dan pembenaran 100 persen. Tokoh Charles Vincent, sang antagonis, tak pernah diberi kesempatan membela diri (TEMPO, 11 Agustus 1973).

Sementara itu, menurut Sapardi Djoko Damono, Pada Sebuah Kapal memang tidak berniat menghukum siapa pun. Sri, sang penari, berselingkuh dengan Michael, perwira kapal yang tampan dan halus budi. "Dia hanya mengajak kita menyadari sepenuhnya bahwa kenyataan itu ada," tulis Sapardi dalam sebuah esai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus