Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Bulan 80 Tahun Saini KM" melibatkan ratusan orang dan seniman. Bentuk penghargaan kepada Saini KM di usia ke-80.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lena Guslina menafsir puisi berjudul Si-syphus karya Saini KM lewat tarian. Seperti cerita pada puisi itu, ia menari di sela batu-batu karya perupa Sunaryo di Wot Batu, Bandung. Saini dan Sunaryo ikut menyaksikan tarian Lena itu pada 4 Oktober lalu. Karya terbarunya tersebut menjadi bagian acara penghormatan bagi Saini KM yang saat ini berusia 80 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI), Bandung, menghelat serangkaian acara "Bulan 80 Tahun Saini KM" tersebut de-ngan merangkul sejumlah seniman kenamaan sejak 24 September lalu. Kegiatan yang mengusung tema "Saini KM: Guru, Humanis, dan Inspirator" itu diadakan sejak 24 September lalu dengan berbagai acara. Ada pertunjukan teater berjudul Ben Go Tun (naskah karya Saini KM) produksi Teater Awal Bandung, pentas seni, seminar, peluncuran buku Saini KM: Guru, Humanis, dan Inspirator hingga lomba baca puisi.
Gong kegiatan yang melibatkan sekitar 250 orang dan seniman itu berlangsung Ahad, 7 Oktober 2018, di Gedung Sunan Ambu ISBI, Bandung. Di tempat itu para seniman mementaskan lakon, musik, puisi, dan tari berlandaskan kekaryaan dan kiprah Saini di ranah seni dan budaya. "Saini K.M. merupakan sosok yang tidak bisa dilupakan dalam sejarah kebudayaan Indonesia," kata Hermana, ketua panitia acara.
Acara serba Saini KM itu mengiringi Dies Natalies Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung pada Oktober ini. Di kampus itu, Saini pernah menjadi pucuk pimpinan tertinggi pada 1988–1995 ketika kampus itu bernama Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung. Ia juga pendiri jurusan teater di kampus itu. Di luar kampus, penerima penghargaan SEA Write Awards 2001 dari pemerintah Thailand itu dikenal sebagai sastrawan, pemikir, dan penulis produktif.
Namun, sejak terkena stroke empat tahun lalu, Saini tidak lagi berkarya. Tangan kanannya tidak lagi bisa menulis. Lafal bicara Saini pun terganggu hingga beberapa kata dan kalimatnya tidak jelas. Ia tak lagi kuat berbicara atau mengobrol lama. Menurut seorang putrinya, Asri Arumsari, kondisi ayahnya kini sangat sehat. Selepas stroke, masa pemulihannya tergolong berat.
Dalam posisi menepi dari rutinitas kerja dan kesibukannya berkarya, Saini masih suka menonton film dan bepergian menikmati sajian kuliner. Sejak dulu, kata Asri, ayahnya menerapkan pola makan yang sehat. Gemar masakan Jepang dan Sunda, ia pantang makan berlebihan. "Saya berharap kalau tua seperti Bapak, dikelilingi anak cucu, happy, akhir pekan jalan-jalan," kata dokter gigi spesialis bedah mulut itu.
Saini Karnamisastra ,yang juga dinamakan Kosim oleh orang tuanya, lahir di Kampung Gending, Desa Kota Kulon, Sumedang, Jawa Barat, pada 16 Juni 1938. Anak kedua dari sepuluh bersaudara itu menikah de-ngan Naneng Daningsih dan dikaruniai tiga anak. Di pemerintahan, ia pernah menjabat Direktur Kesenian Direktorat Jen-deral Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, periode 1995–1999.
Saini merintis karier kesenimanannya di jalur sastra. Mengutip dari laman ensiklopedia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, puisinya pertama kali dimuat di majalah Siasat pada 1960. Honor yang diterima menambah kaget dan senangnya. Ketertarikannya pada puisi terpengaruh oleh macapat atau puisi yang dibacakan ayahnya semasa kecil. Ketika menjadi mahasiswa, ia sering membacakan puisi karya Amir Hamzah, Sanusi Pane, Sitor Situmorang, dan W.S. Rendra.
Kumpulan puisi Saini KM antara lain berjudul Nyanyian Tanah Air (1968), Rumah Cermin (1979), Sepuluh Orang Utusan (1989), dan Mawar Merah (2001). Kumpulan cerita pendeknya seperti Anting Perak (1967), novel berjudul Purbaya (1976). Selain itu, ada karya terjemahan semisal Percakapan dengan Stalin (1963 karya Milovan Djilas), kemudian Bulan di Luar Penjara (1965 karya Ho Tji Minh).
Selain sastra, ia meminati teater dan menulis naskah drama. Beberapa di antaranya mendapat penghargaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), seperti Pangeran Sunten Jaya yang memenangi Sayembara DKJ 1973, Ben Go Tun (penghargaan DKJ 1977), Egon (penghargaan DKJ 1978), dan Serikat Kacamata Hitam dan Sang Prabu (Penghargaan DKJ 1981). Lakon Ken Arok (Balai Pustaka, 1985) mendapat penghargaan sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud pada 1990.
Dua naskah lakon yang ditulisnya untuk anak-anak memenangi sayembara yang diadakan Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan (Depdikbud), yaitu Kerajaan Burung (1980) dan Pohon Kalpataru (1981). Adapun lakon berjudul Sebuah Rumah di Argentina (1980) memenangi hadiah dalam sayembara penulisan yang diadakan Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom PKB) Jakarta Raya.
Ia juga menulis esai tentang teater yang terhimpun dalam buku Beberapa Gagasan Teater (1981), Dramawan dan Karyanya (1985), Teater Modern dan Beberapa Masalahnya (1987), dan Peristiwa Teater (1996). Sejumlah naskah dramanya, yakni Ben Go Tun, Dunia Orang Mati, Madegel, dan Orang Baru, dikumpulkan dalam buku berjudul Lima Orang Saksi (1999).
Menurut Saini, yang masih menggelisahkannya sampai sekarang adalah seni di Indonesia belum bisa jadi kebutuhan utama. Penggarapan karya sinema di televisi, misalnya, dinilai masih belum serius seperti sineas di luar negeri. "Padahal seni itu sebagai penyeimbang dalam kehidupan manusia," kata Saini di sela acara peringatan ulang tahunnya, Ahad malam lalu. ANWAR SISWADI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo