Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Atmakusumah Astraatmadja memperjuangkan kemerdekaan pers bersama Mochtar Lubis lewat koran Indonesia Raya yang dibredel pemerintahan Sukarno dan Soeharto.
Setelah Orde Baru berakhir, Atmakusumah menjadi ketua pertama Dewan Pers.
Atmakusumah meninggal pada Kamis siang, 2 Januari 2025.
PETASAN, balon, dan aneka hidangan baru saja usai memeriahkan perayaan tahun baru. Namun, pada hari kedua Januari 2025, kita mendengar berita dukacita: Atmakusumah Astraatmadja meninggal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Atmakusumah adalah Ketua Dewan Pers periode 2000-2003. Itu pertama kalinya Dewan Pers berstatus independen, tidak lagi di bawah pemerintah. Dia juga meraih Penghargaan Ramon Magsaysay atas kontribusi dan konsistensinya bagi perjuangan kemerdekaan pers di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Atmakusumah Astraatmadja lahir di Labuan, Banten, pada 20 Oktober 1938. Dia berpulang pada usia 86 tahun setelah kondisi kesehatannya belakangan terus menurun. Atmakusumah meninggalkan istrinya, Sri Rumiati, dan tiga anak: Kresna Astraatmadja, Rama Ardana Astraatmadja, dan Tri Laksmana Astraatmadja.
Atmakusumah adalah anak kelima dari enam anak lelaki pasangan Junus Astraatmadja dan Ratu Kartina. Ayah Atmakusumah adalah bupati di wilayah Jawa Barat, yang sering juga dianggap sebagai raja kecil pada masa Hindia Belanda.
Sepanjang hidup, Atmakusumah berjuang untuk kemerdekaan pers, baik sebagai jurnalis, pengajar, pembicara, maupun penulis di berbagai media. Semua itu dilakukan sejak era pemerintahan otoriter Sukarno, Orde Baru Soeharto, hingga masa Reformasi. Koran milik Mochtar Lubis yang ia ikut kelola, Indonesia Raya (IR), kena bredel selepas peristiwa 15 Januari 1974 atau Malari di Jakarta. Sejak saat itu, Atmakusumah masuk daftar hitam orang yang tak boleh masuk dunia pers bersama Mochtar Lubis dan Enggak Bahau’ddin—semua pengelola koran yang terkenal berani tersebut.
Pada 1958, Atmakusumah mulai menapaki dunia jurnalistik dengan bekerja di koran IR. Usianya 19 tahun. Baru beberapa bulan bekerja, Atmakusumah yang masih polos menulis artikel IR Minggu tentang pengumuman penerima penghargaan Yayasan Ramon Magsaysay. Salah satunya Mochtar Lubis, yang sedang menjadi tahanan rumah karena kerap mengkritik pemerintahan Sukarno.
Atmakusumah menulis di halaman muka harian tersebut: “Mochtar Lubis adalah jurnalis sejati yang terkenal di seluruh dunia berkat kecerdasan dan keberaniannya membongkar praktik korupsi dan menentang kediktatoran dan pengekangan terhadap kebebasan oleh militer.” Keesokannya, tentara mendatangi kantor redaksi IR dan mencari penulis artikel tersebut. Mereka meminta penghentian pemberitaan soal Penghargaan Ramon Magsaysay itu. Dua bulan kemudian, IR ditutup.
Setelah kejatuhan Sukarno, Mochtar Lubis keluar dari penjara. Dia ingin menghidupkan kembali koran IR. Atmakusumah termasuk yang dipanggil kembali dan dijadikan redaktur pelaksana hingga koran itu ditutup kembali pada 1974. Tak dapat disangkal, watak keberanian dan pembelaan kemerdekaan pers yang dimiliki Atmakusumah adalah warisan dari Mochtar Lubis, si wartawan jihad berkepala granit.
Atmakusumah Astraatmadja pernah bekerja di United States Information Service atau USIS serta menjadi penyiar di stasiun radio ABC Australia dan Deutsche Welle di Koeln, Jerman. Ia juga senang berbicara dengan para aktivis pers mahasiswa di mana saja. Ia pun adalah seorang pencatat sejarah pers yang tekun dan tulisannya terkumpul dalam buku Kebebasan Pers dan Arus Informasi di Indonesia (Lembaga Studi Pembangunan, 1981).
Atmakusumah turut menjadi saksi yang meringankan terdakwa dalam dua persidangan aktivis Aliansi Jurnalis Independen pada 1995. Dalam biografinya, ia mengaku pesimistis kesaksiannya didengar para hakim. Namun paling tidak dia merasa dapat menyuarakan pandangan lain dalam pengadilan.
Setelah kejatuhan Soeharto pada Mei 1998, Atmakusumah bersama sejumlah aktivis menggagas pembentukan undang-undang untuk melindungi kemerdekaan pers. Akhirnya Indonesia pun memiliki peraturan yang secara resmi membela kemerdekaan pers dan menolak pembredelan ataupun sensor. Lewat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dibentuklah Dewan Pers yang independen. Berbeda dengan Dewan Pers era Orde Baru yang secara otomatis diketuai Menteri Penerangan.
Tahun 2000 menjadi tahun penting bagi Atmakusumah. Saat itu dia terpilih sebagai Ketua Dewan Pers, lalu menerima Penghargaan Ramon Magsaysay, seperti mentornya, Mochtar Lubis. Pada tahun yang sama, Kompas memilihnya menjadi ketua ombudsman pertama di harian tersebut untuk mengimbangi kemerdekaan pers dan berbagai keluhan mengenai profesionalitas kerjanya.
Pada era Reformasi, ketika banyak media diterbitkan kembali, Atmakusumah sama sekali tak terusik oleh ide menerbitkan kembali koran Indonesia Raya. Ia merasa riwayat IR sudah cukup panjang dan membiarkannya menjadi kenangan. “Yang sudah mati jangan dihidup-hidupkan lagi,” katanya dengan santai.
Penulis pertama kali “mengenal” Atmakusumah lewat tulisannya tentang koran IR dalam buku yang disunting oleh sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo dan P. Swantoro. Buku ini merupakan hasil proyek penelitian Lembaga Riset Ekonomi Nasional dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia serta Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Penerangan yang terbit pada 1980.
Ironisnya, petinggi Departemen Penerangan berkeberatan atas buku ini karena banyak membahas pembredelan pers di Indonesia dan dianggap mencoreng wajah pemerintah Orde Baru. Walhasil, buku ini dilarang disebarluaskan.
Penulis membuat skripsi soal penyebab penutupan koran IR pada 1974 di Jurusan Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, pada 1990-an. Seorang teman penulis merupakan keponakan Kustiniyati Mochtar, wakil Mochtar Lubis di IR. Dari beliau, lalu penulis mengenal Atmakusumah secara pribadi dan menjadikan keduanya sebagai narasumber.
Pada 2008-2011, penulis menggagas Mochtar Lubis Award, penghargaan kepada karya jurnalistik terbaik di negeri ini. Atmakusumah menjadi salah satu penasihat.
Pada periode tersebut, dia pernah menelepon penulis cukup lama dan ia gelisah akan suatu hal. Pada 2008, Prabowo Subianto, yang baru mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya, berupaya membujuk keluarga Mochtar Lubis untuk menjual nama dan hak koran Indonesia Raya. Mochtar Lubis meninggal empat tahun sebelumnya.
Atmakusumah berkeluh kesah kepada penulis dan berharap keluarga Mochtar Lubis tak mau menjual warisan berharga tersebut. Untunglah saran Atmakusumah lebih didengar oleh keluarga dan rencana pembelian tersebut batal. Kesamaan nama dua entitas tersebut memang pas, tapi watak pemimpin kedua entitas ini belum tentu sama.
Pada 17 Agustus 2024, penulis bersama sejumlah jurnalis mengunjungi kediaman Atmakusumah. Dia terlihat sehat, sedikit buncit, tapi daya ingat dan pendengarannya berkurang jauh. Suaranya masih lantang, tapi ia kesulitan mendengar suara kami. Kami hanya bisa berkomunikasi lewat buku tulis dan pulpen yang tersedia di ruang tamu.
Bagaimanapun, hidup Atmakusumah adalah perjalanan untuk terus membela kemerdekaan pers dari masa ke masa. Ia meninggalkan banyak warisan karya serta semangat untuk tidak lelah menegakkan independensi media. Selamat jalan, Pak Atmakusumah. Salam untuk Pak Mochtar Lubis. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Pejuang Kemerdekaan Pers