Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Armelia d.l.l di tangan jepang

Sutradara: jopi burnama produksi: pt parkit film pemain: marisa haque dan mangara siahaan. (fl)

25 Februari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANTIJEPANG di Indonesia? Pertanyaan itu muncul setelah Kantor Berita Kyodo, 7 Februari, menurunkan laporan korespondennya di Jakarta dengan Judul: "Film Anti-Jepang di Indonesia - Orang Jepang Khawatir Berpengaruh Buruk". Buntut berita itu, menurut buletin Antara 10 Februari, sempat membuat orang Jepang bertanya-tanya: Benarkah di Indonesia ada perasaan anti-Jepang. Kini, di Indonesia memang sedang beredar tiga film dengan latar belakang zaman pendudukan Jepang. Tapi, "perasaan anti-Jepang" itu? Tak jelas siapa yang meniupkan. Koresponden Kyodo di Jakarta, Michitaka Yamada, yang mengirim berita tentang film Budak Nafsu, Kadarvati, dan Kamp Tawanan Wanita, mengaku bahwa ia cuma menulis, "dalam ketiga film itu dipertontonkan kebrutalan tentara Jepang terhadap wanita Indonesia." Tapi "dalam film itu tidak dirasa ada perasaan anti-Jepang." Isi berita Kyodo itu sendiri sebenarnya tak setajam judulnya. Menurut Seichi Okawa, koresponden TEMPO di Jepang, Kyodo menjelaskan, "film-film itu tidak terlalu berwarna anti-Jepang, tapi karena ada adegan pemerkosaan, timbul suara-suara khawatir orang-orang Jepang di Indonesia." Betulkah? Yasuo Nakamura, sekretaris I kedutaan besar Jepang di Jakarta, pun heran tentang munculnya kabar "perasaan anti-Jepang" itu. Ia, yang sudah melihat film Kadaruati, berterus terang kepada TEMPO bahwa ia tidak khawatir akan muncul perasaan anti-Jepang bila orang Indonesia melihat film itu. Nakamura menduga, ada orang-orang yang sengaja menyebarkan kabar itu agar hubungan Indonesia-Jepang jadi panas. Kekejaman tentara Jepang di masa Perang Dunia II tak hanya dilukiskan oleh film Indonesia. Banyak film Amerika tentang kekejaman itu beredar pula di Jepang. "Dan orang Jepang tak marah melihat film itu," kata sumber TEMPO di Deplu Jepang di Tokyo. Film Indonesia pertama berlatar belakang pendudukan Jepang berjudul Romusha, yang dibikin pada 1973. Tapi film ini sampai sekarang, dengan alasan yang kurang jelas, masih menyangkut di Badan Sensor Fllm. Setelah itu baru tiga film ini yang menggarap latar belakang pendudukan Jepang. Kebetulan, ketiganya lolos sensor, dan beredarnya pun hampir bersamaan. Tapi perkara kejamnya tentara pendudukan sebenarnya sudah sering digambarkan film Indonesia. Yakni, dalam film yang melukiskan perang kemerdekaan kita. Jadi, bukan cuma makian bagero dari mulut serdadu kate saja yang diangkat ke layar putih juga makian god verdomme dari serdadu bule. Malahan, bila Anda suka bergurau, setidaknya dua kali setahun kita mengenangkan god verdomme itu - pada 17 Agustus dan 10 November. Bagaimana sebenarnya kisah tiga film tentang Jepang itu? Wartawan TEMPO Bambang Bujono menurunkan laporan berikut ini: KAMP TAWANAN WANITA Pemeran Utama: Marisa Haque, Mangara Siahaan, Boy Tirayoh Produksi: PT Parkit Film Sutradara: Jopi Burnama. SYAHDAN, ada sebuah kamp tawanan wanita Indonesia di masa pendudukan Jepang. Lokasinya entah di mana. Para wanita itu, menurut cerita, dipekerjakan membuat gudang senjata. Tapi yang terlihat di layar perak lebih banyak adegan kaum Hawa itu dipaksa melayani nafsu serdadu Jepang. Maka, tontonan paha dan dada, raungan dan tangisan wanita-wanita yang diperkosa, plus tawa sadistis para serdadu hampir terus-terusan menjadi sajian film ini. Tak hanya itu. Resep film silat masuk juga. Armelia (Marisa Haque), tokoh utama cerita, ternyata tangannya yang lembut bisa menjotos serdadu Jepang hingga terkapar. Adakah sesuatu yang bisa menimbulkan semanga anti-Jepang? Nanti dulu. Dari awal hingga akhir filn yang dilukiskan adalah kekejaman laki-laki (kebetulan tentara Jepang) terhadap wanita (ya, orang-orang Indonesia itu). Maka, semangat pembalasa dendam dalam film ini lebih menyerupai pembalasan seorang wanita yang di perlakukan sadistis oleh leiaki. Bahkan, bila mau dicari-cari, justru Jepang di sini terhormat. Letnan Nakamura, komandan kamp ternyata jatuh cinta kepada Armelia. Karena itu, ia agak lalai, hingga para tawanan bisa melarikan diri. Itu, ditambah dengan berita kalahnya Jepang setelah pertengahan Agustu 1945, menyebabkan Nakamura mencabut pedang pendek dan harakiri. Sebenarnya dilihat dari akting Marisa Haque dan Manara Siahaan terutama, tidak buruk. Juga adegan perang, lumayan ramai. Tapi ini hanya membuktikan bahwa film tidak cuma akting - tapi juga cerita, skenario dan penyutradaraan. Jopi tak berhasil menjepangkan Boy Tirayoh yang memerankan Letnan Nakamura. Memang, Jopi berhasil membuat adegan-adegan komersial. Misalnya, ada adegan macam kisah Lady Godiva yang dihukum naik kuda bertelanjang bugil. Dalam film ini Armelia telanjang naik kuda, tentu saja, diambil dengan longshot, di malam hari lagi, hingga lolos sensor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus