Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Catatan kaki si tukang ejek rehal-bambang bujono

Pengarang: budi darma jakarta: balai pustaka, 1983 resensi oleh: sapardi joko damono. (bk)

25 Februari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OLENKA Oleh: Budi Darma Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta, 1983, 232 halaman SI saya, yang bernama Fanton Drummond, tokoh novel Olenka ini secara kebetulan bertemu Olenka pertama kali dalam sebuah lift. Segera saja wanita itu menarik perhatian saya, dan mulai saat itulah saya tak putus-putusnya berusaha mengungkapkan selubung demi selubung yang menutupi wanita itu - dengan demikian saya pun sedikit demi sedikit menelanjangi diri sendiri. Proses pengungkapan dan penelanjangan identitas itu berlangsung terus-menerus dan lama, dan tampaknya tidak pernah tuntas. Di tengah-tengah proses itu, saya mengungkapkan: Dengan pikiran-pikiran inilah saya berjalan ke perpustakaan. Saya ingin mencari ketenangan. Di perpustakaan saya akan duduk di lantai di antara sekian deret buku di rak, menikmati bau buku, memejamkan mata, merenung, dan berpikir, dan sekali tempo membuka-buka buku secara sembaranan. Siapa tahu saya akan mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai siapa saya. (halaman 89). Pada dasarnya, keinginan untuk mendapat gambaran lebih jelas mengenai dirinya sendiri itulah yang memburu dan menggerakkan Drummond, si Saya. Pertemuannya, dan hubungannya kemudian, dengan Olenka merupakan alasan terbaik untuk mengorek keterangan mengenai dirinya sendiri. Ketika Drummond memberi gambaran tentang Olenka, sebenarnya ia juga menyarankan apa yang diketahuinya tentang dirinya sendiri: Apakah dia mahasiswa, atau pegawai, atau istri seseorang, saya tidak dapat menduga .... Mungkin dia istri seseorang, tapi saya tidak pernah melihat dia bersama laki-laki. Dan saya tidak yakin cincin apa yang dipakainya. Mungkin yang dipakainya cincin kawin, mungkin juga tidak. (halaman 13). Ternyata, Drummond menaruh minat, atau katakan saja jatuh cinta, kepada Olenka. Ternyata, Olenka, istri Penulis Wayne Danton, mempunyai anak, Steven, yang selalu bersama-sama ayahnya ke mana pun. Namun, Olenka, yang tidak tinggal bersama Wayne lagi, pun tampaknya tidak tertarik mengurus anaknya. Fanton Drummond, si Saya, akhirnya berhasil mengadakan hubungan karib dengan Olenka dan Wayne. Hubungan "cinta" antara saya dan Olenka seolah-olah berlangsung dalam pikiran saja - demikian juga hubungan di antara tokoh-tokoh lain yang ada dalam novel ini. Mungkin yang utama dalam novel ini memang hubungan itu, bukan tokoh ataupun peristiwanya. Bahkan mungkin fokus Olenka adalah pikiran mengenai hubungan-hubungan itu. Dengan demikian, novel ini merupakan semacam renungan panjang mengenai hubungan antarmanusia, atau lebih jauh: renungan mengenai diri si perenung itu sendiri, yakin saya. Keadaan itu menyebabkan susunan peristiwa dan penokohan tidak begitu penting - setidak-tidaknya tidak menuruti konvensi. Kedua unsur utama fiksi itu sama sekali tergantung kepada perkembangan renungan si saya. Jelas, bahwa tokoh utama novel itu adalah saya, OleRka, yang menjadi judul novel ini, merupakan semacam rangsangan dari luar yang menyalakan keinginan si saya untuk mencari, dan selanjutnya mengungkapkan dirinya sendiri. Tidak bisa dihindari bahwa novel yang mendasarkan dirinya pada renungan ini senantiasa mengupas renungan-renungan. Bukan suatu kebetulan bahwa hamplr semua renungan yang ada di dalamnya berasal dari dunia sastra. Renungan penulis Barat, seperti T.S. Eliot, Robert Browning, D.H. Lawrence, Charlotte Bronte, dan John Donne, berbaur dengan nama Chairil Anwar, Takdir Alisjahbana, dan ayat Quran dalam diri saya. Bukan suatu kebetulan, karena itu semua merupakan dunia "nyata" Budi . Darma, seorang sarjana sastra. Selain itu, Olenka juga disertai catatan yang merupakan Bagian VII novel ini. Catatan memang bukan merupakan hal baru dalam sastra Indonesia, tapi maksud Budi Darma yang terkandung daIam catatan itu jelas unik. Misalnya, digambarkan pendeta yang suka memberikan khotbah di pinggir hutan dekat kampus. Pendengarnya kebanyakan mahasiswa, dan sering terjadi "pertengkaran" antara pendeta itu dan pendengarnya. "Sebagaimana sebagian pendengar," kata saya dalam novel ini, "saya menganggap khotbah ini sebagai lelucon." Kalimat itu bercatatan nomor 3. Untuk catatan itu, Budi Darma menyertakan guntingan koran Indiana Daily Student (4 Oktober 1979) tentang pendeta-pinggir jalan yang sedang diolok-olok pendengarnya. Ditulis dalam catatan itu bahwa "Fanton Drummond senng berjalan-jalan di pinggir jalan menyaksikan pemandangan seperti ini." Drummond adalah tokoh fiksi, sedang kanyang disampaikan koran itu merupakan fakta. Dengan membenturkan keduanya, Budi Darma berusaha memaksa kita mengakui bahwa fiksinya realistis. Atau, bahwa tidak ada perbedaan antara fiksi dan fakta. Usaha Budi Darma itu menjadi penting karena Olenka pada dasarnya merupakan renungan: konsep-konsep, hal-hal yang abstrak. Bahkan tokoh-tokohnya pun sering terasa merupakan konsep, bukan manusia. Untuk membuatnya "nyata", diperlukan kaitan dengan fakta. Itulah relevansi gambar dan catatan kaki yang disertakan dalam novel ini. Catatan semacam itu sebenarnya tidak diperlukan sama sekali, apabila kita mempercayai fiksi itu sebagai fiksi sepenuhnya. Tentu Budi Darma bukannya tidak menyadari hal itu. Namun, ia tidak membuang bagian catatan itu. Dengan demikian, catatan itu mengarahkan Olenka menjadi parodi. Ia merupakan parodi atas novel, atas penciptaan novel. Dari sudut itu, semua unsur novel terasa menjadi sasaran ejekan Budi Darma. Dalam Bagian VI, Asal-usul Olenka (yang ditulis tiga tahun setelah novel itu selesai), Budi Darma menyatakan keraguannya atas pandangan E.M. Forster bahwa untuk bisa menarik, kehidupan ini harus digambarkan secara berlebihan. Budi Darma berangapan bahwa tanpa tambahan apa-apa pun kehidupan ini sudah menarik, "selama klta dapat menemukan orang-orang yang jujur dan berterus terang." (halaman 223) Selanjutnya, "... untuk dapat melihat diri kita sendiri dengan benar kita tidak selayaknya menjadi narsisus . . . klta memerlukan . . . rasa mual terhadap diri kita sendiri." (halaman 224). Memang, Budi Darma berusaha menciptakan tokoh yang tanpa "tedeng aling-aling" dalam Olenka, dan - mungkin tidak sepenuhnya disadarinya - ia ternyata juga mengejek tokoh yang diciptakannya sendiri itu. Tapi memang mengejek itulah ciri khas Budi Darma sebagai sastrawan - ciri yang menjadikannya sastrawan yang bernilai. Sapardi Djoko Damono * Penyair dan dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus