Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kicauan burung menandai dimulainya pertunjukan. Allyana Maghfira kemudian masuk ke panggung. Mengenakan daster putih bercorak batik dan selendang cokelat, perempuan 19 tahun itu berperan sebagai Prita Kartika, gadis seusianya yang berasal dari Cirebon, Jawa Barat. "Mana ada anak Kampung Eretan, Cirebon, diberi nama Prita selain saya. Tidak ada!" kata Allyana, membuka penampilannya. "Teman saya paling namanya Neneng, Yeyen, atau agak modern sedikit, ya, Cici."
Selama 17 menit Allyana berbicara sendiri. Sesekali sambil duduk di bangku kayu. Tapi lebih sering mondar-mandir ke kanan-kiri panggung. Mahasiswi semester IV Jurusan Performing Art London School of Public Relations Jakarta itu terlihat berupaya mendalami perannya dalam monolog berjudul Prita, Sebelum Jadi Istri. Ceritanya tentang perempuan yang dibayang-bayangi keharusan menikah dan kesederhanaan hidup di Kampung Eretan. "Ini kisah perempuan yang tegar," ujar Allyana.
Allyana menjadi salah satu pemonolog yang tampil dalam "Parade 25 Monolog karya Arswendo Atmowiloto" di auditorium Prof Dr Djajusman, London School of Public Relations Jakarta, pada Senin malam pekan lalu. Sesuai dengan nama acaranya, parade mementaskan naskah-naskah monolog buatan Arswendo, seniman sekaligus pengajar di kampus itu. Semua pemonolog adalah mahasiswa Jurusan Performing Art seangkatan Allyana. Satu pementasan berlangsung 5-20 menit. Total 25 monolog itu dimainkan selama lebih-kurang tiga jam.
Naskah-naskah yang dipentaskan itu merupakan karya monolog pertama Arswendo. Semuanya dibuat selama sekitar satu setengah bulan mulai Maret lalu. Menurut Arswendo, penulisan dilatarbelakangi minimnya naskah monolog di Indonesia. "Naskah monolog kan enggak banyak. Cuma itu-itu saja," ujar pria 68 tahun itu.
Dalam menulis naskah-naskah tersebut, salah satu yang menginspirasi Arswendo adalah sutradara teater dan film legendaris Arifin Chairin Noer. Ini misalnya tergambar dalam tiga naskah monolog tentang Prita, yakni Prita, Sebelum Jadi Istri; Prita, Istri Kita Selamanya; serta Prita dan Putri Cacing. Ketiganya merupakan pengembangan dari cerita monolog Prita Istri Kita yang ditulis Arifin C. Noer pada 1967. "Tokohnya tetap Prita, tapi adegan-adegannya saya kembangkan," kata Arswendo.
Menurut Arswendo, inspirasi itu bisa muncul lantaran kedekatannya selama berpuluh tahun dengan Arifin. "Dulu, dia bikin film, saya yang bikin novelnya. Seperti itu contoh kedekatannya," ujar Arswendo. Bahkan, ketika Arifin meninggal pada 1995, Arswendo-lah yang diminta Jajang C. Noer-istri Arifin-menyutradarai tiga episode tersisa dari miniseri televisi Bukan Perempuan Biasa bikinan Arifin. "Mereka kan memang satu pemikiran," ucap Jajang.
Selain dari Arifin, naskah monolog Arswendo diilhami sejumlah kejadian nyata. Salah satunya yang berjudul Apakah Saya Pembunuh?. Naskah itu bercerita tentang seorang narapidana kasus pembunuhan berencana. Dia divonis penjara karena dianggap telah memasukkan racun ke gelas kopi temannya. Cerita ini terinspirasi Jessica Kumala Wongso yang divonis 20 tahun penjara lantaran dianggap terbukti memasukkan racun sianida ke gelas kopi Wayan Mirna Salihin. "Di situ saya ambil angle lain. Apa benar dia pembunuh?" kata Arswendo.
Cerita lain yang diangkat Arswendo merupakan hasil eksploitasi ide-idenya atas kondisi sosial di masyarakat. Misalnya monolog berjudul Jika Aku Kecoak, Apakah Kau Masih Mencintaiku? dan Jangan Nistakan Nasi Goreng. Naskah Kecoak mengisahkan permusuhan suatu kaum, sedangkan naskah Nasi Goreng bercerita tentang nasionalisme. Menurut Arswendo, naskah-naskah karyanya itu diharapkan bisa mengembangkan pementasan monolog di Tanah Air. "Monolog itu kayak lagu, klip video, atau meme. Pendek tapi ada kritiknya," ujarnya.
Prihandoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo