Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Membaca Absurditas Akhudiat

Dewan Kesenian Jawa Timur mementaskan naskah-naskah drama karya Akhudiat, pelopor teater Surabaya pada 1970.

24 Juli 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bayangan muram itu perlahan menampakkan wujud sesosok "mayat" beralas tikar. Lalu lima orang bersarung lusuh, bersongkok, dan bertelanjang dada datang dengan mantra berbahasa Madura. Mantra itu mereka ucapkan bersahut-sahutan sembari ada yang bergulung-gulung laksana pemain sirkus dengan tampilan roda menggelinding. Sejenak suasana sunyi. Seorang perempuan datang, meratapi tubuh membujur itu. Ia menjerit histeris, lalu pingsan. "Mayat" tersebut kemudian dibawa ke liang lahad dengan panduan puji-pujian seorang modin desa. Bunga-bunga ditaburkan.

Teater Language, Sumenep, membawakan lakon RE karya Akhudiat itu dengan totalitas tinggi dalam Festival Teater Jawa Timur 2017 bertajuk "Membaca Akhudiat" di Gedung Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, Kamis dua pekan lalu. Mereka mengandalkan adegan-adegan fisik. Jumpalitan, genjotan kaki di dada, serta bunyi debum tubuh terjerembap terdengar jelas.

Di akhir cerita, mereka turun dari panggung, berarak menuju tempat duduk penonton, mengajak audiens ikut berselawat. Tak mudah mencerna cerita yang terkandung dalam RE, juga sosok tinggi-besar berwajah seram (digambarkan mirip ondel-ondel Betawi) yang datang setelah mayat dikubur dan turut dalam arak-arakan ke kursi penonton.

Akhudiat tak secara tegas mengatakan sosok seram itu merupakan personifikasi malaikat, seperti yang diutarakan dalam penjelasannya bahwa semasa kecil dia takjub kepada seorang modin yang membimbing jenazah menjawab pertanyaan malaikat. Modin itu bergumam kepada mayat, membimbingnya dengan jawaban saat sebentar lagi malaikat datang bertanya. "Modinnya bilang, sebentar lagi malaikat datang, nanti kamu harus menjawab begini, begini. Saya takjub menyaksikan itu," ujarnya.

Akhudiat bercerita, di masa kecil, perhatiannya tertuju pada kitab yang dipegang modin. Dari kitab pegon (berhuruf Arab gundul dan berbahasa Jawa) itulah ternyata modin membimbing mayat. "Namanya talkin, di tradisi Nahdlatul Ulama masih ada," ujarnya. Pementasan sekitar 60 menit arahan sutradara Mahendra itu boleh dikata nyaris tanpa dialog. Yang ada hanya lantunan doa kematian, mantra-mantra berbahasa Madura, dan gerakan tanpa bunyi. Menurut Akhudiat, naskah RE yang dia tulis pada 1977 itu merupakan karya eksperimental.

Selain menampilkan RE, festival yang berlangsung pada 12-13 Juli lalu itu mementaskan dua naskah Akhudiat berjudul Bui dan Grafito. Bui, yang dimainkan teater Bengkel Muda Surabaya, merupakan naskah satire tentang kehidupan dalam penjara. Narapidana belum tentu orang yang benar-benar bersalah. Orang Bui II (OBI II) dalam lakon itu ditangkap aparat ketika sedang menonton film di lapangan. Dia diinterogasi, digebuki, disidangkan di pengadilan, dan dijebloskan ke penjara. Di dalam penjara, OBI II bertemu dengan OBI I, yang lebih dulu dikerangkeng. Mereka hidup dalam mimpi menanti hari kebebasan.

Akhudiat tak memungkiri bahwa ide lakon Bui yang menjadi juara pertama dalam lomba yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta pada 1975 itu diambil dari suasana yang penuh tekanan pada awal 1970-an, baik ekonomi maupun politik. Laki-laki kelahiran Rogojampi, Banyuwangi, Jawa Timur, pada 1946 itu menyaksikan banyak orang tak bersalah digelandang ke bui akibat tekanan keadaan. "Entah mereka dipenjara karena kasus politik atau kriminal," tuturnya.

Adapun "semangat main-main" tampak pada Grafito, yang dimainkan oleh The Nine Theatre Surabaya. Naskah yang memenangi lomba Dewan Kesenian Jakarta pada 1972 itu sejatinya sensitif karena menyentuh masalah keyakinan. Celetukan "kafir" berseliweran saat Ayesha, yang muslimah, ngotot ingin dinikahi Limbo, seorang Nasrani. Penghulu dan pastor angkat tangan, ogah menikahkan keduanya lantaran tidak ingin melanggar norma agama masing-masing. Akhudiat mengakhiri pertentangan keyakinan itu dengan santai, yakni menurunkan dewa asmara, Kamajaya dan Ratih, untuk menikahkan dua insan yang sedang dimabuk asmara tersebut.

Menyabet lima kali gelar juara sayembara penulisan naskah drama Dewan Kesenian Jakarta (dua lainnya Jaka Tarub dan Rumah Tak Beratap pada 1974), Akhudiat mengaku karya-karyanya sangat dipengaruhi oleh pertunjukan berjudul Malam Jahanam besutan Motinggo Busye pada 1970 di Yogyakarta. Menurut dia, Motinggo membawa suasana panggung penuh artistik, dinamis, dan tidak monoton. Panggung Malam Jahanam dibuat Motinggo berlatar perahu-perahu nelayan. "Di panggung tidak ada meja-kursi," katanya.

Panggung model Motinggo itulah, tutur Akhudiat, yang banyak menginspirasi karya-karyanya setelah itu. Dia menghindari orang berdialog sambil duduk berhadapan di kursi ala Srimulat era 1980-an atau ala Komedi Stambul yang moncer di Kampung Kapasan, Surabaya, pada 1900-an. Properti, menurut dia, bisa apa saja, asalkan bukan meja dan kursi. "Motinggo lain sama sekali, tidak seperti tonil zaman dulu," ujarnya.

Kritikus teater Rusdi Zaki mengatakan karya-karya Akhudiat cenderung absurd. Batasan absurd adalah penyajian lakon yang seolah-olah tidak memiliki kaitan nalar antara peristiwa satu dan lainnya, antara percakapan satu dan lainnya. Dalam Grafito, misalnya, absurditas muncul ketika penghulu dan pastor menolak menikahkan Limbo dengan Ayesha. Lalu datanglah pawang yang memanggil Kamajaya dan Ratih yang hidup dalam dongeng.

Sedangkan dalam Jaka Tarub, tokoh-tokoh dongeng tampil sebagai orang kebanyakan. Lewat dalang, Jaka Tarub dan Nawangwulan hidup di dunia nyata. Para bidadari menjelma menjadi pasien rumah sakit jiwa yang memerkosa Jaka Tarub. Menurut Rusdi, Grafito dan Jaka Tarub didedikasikan sebagai lakon parodi yang memelesetkan karya asli. "Ada kemuskilan-kemuskilan pada karya Akhudiat," ucapnya.

Pemerhati seni, Amang Mawardi, punya tafsir berbeda tentang Jaka Tarub, yang pernah dipentaskan dengan sukses di Balai Budaya Mitra Surabaya pada 1974. Dalam cerita asli, Nawangwulan berwatak lemah lembut dan tunduk kepada hegemoni Jaka Tarub. Sedangkan dalam Jaka Tarub karya Akhudiat, Nawangwulan mengalur dalam dinamisme kontemporer penuh nuansa feminisme. "Nawangwulan versi Akhudiat ceplas-ceplos dan modis," ujar Amang. Nawangwulan yang dipinggirkan dalam kungkungan adat, menurut Amang, oleh Akhudiat dijadikan wanita mandiri. Ia tak mau di bawah subordinasi laki-laki, minggat ke Jakarta menjadi artis film. "Pada versi Akhudiat, Nawangwulan menemukan kebebasan dan kesetaraan dirinya dengan laki-laki," ujarnya.

Solikin Jabar, seniman Bengkel Muda Surabaya yang beberapa kali terlibat dalam pentas Akhudiat pada 1970-an, menuturkan, beberapa karya Akhudiat punya gagasan jauh ke depan. Dia mencontohkan isu gender pada Jaka Tarub dan celetukan-celetukan "kafir" pada Grafito, yang kini seolah-olah menjadi kosakata sehari-hari. "Dulu kami sebagai pemain teater yang mementaskan karya Akhudiat tidak sampai berpikir bahwa isu kesetaraan gender dan isu toleransi akan ramai pada hari-hari ini," katanya.

Kukuh S. Wibowo (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus