OLD JAVANESE GOLD Penulis: John N. Miksic Penerbit: Ideation, Singapura, 1989, 126 halaman BUKU yang membahas perhiasan Indonesia masih amat langka. Pada 1927, J.E. Jasper dan Mas Pirngadie menulis De Goud-en Zilversmeedkunst, yang merupakan bagian keempat dari sebuah seri yang berjudul De Inlandsche Kunstinjverheid in Nederlandsch Indie. Buku ini antara lain berisi tinjauan tentang teknik dan bentuk yang digunakan dalam kerajinan emas dan perak Indonesia awal abad ke-20. Hampir setengah abad kemudian, 1985, terbit Power and Gold yang memuat bahasan Susan Rodgers mengenai perhiasan Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Buku ini sebetulnya katalogus koleksi Museum Barbier-Mueller di Jenewa, yang sebagian besar berisi perhiasan Indonesia. Old Javanese Gold menceritakan seluk-beluk emas di Jawa, peran dan pemanfaatannya, sejak zaman prasejarah hingga awal abad ke-15, sebelum Islam masuk. Seperti Power and Gold, buku ini juga katalogus koleksi Hunter Thompson, di Singapura, yang sebagian besar berupa perhiasan emas Jawa. Pengarangnya, John Miksic, adalah seorang arkeolog yang mengkhususkan diri dalam penelitian peradaban klasik Asia Tenggara. Perhiasan memang bisa merupakan suatu obyek penelitian tersendiri. Susan Rodgers, seorang antropolog dari Amerika, dalam Power and Gold mengungkapkan, misalnya, bahwa, berbeda dengan di Barat, di Asia Tenggara perhiasan tradisional tidak sekadar berperan sebagai penghias tubuh, investasi, atau simbol status, tapi juga sarana wajib dalam upacara-upacara tertentu yang menandai peralihan dalam hidup, antara lain waktu menikah atau meninggal. Berbeda dengan Susan, John Miksic membahas perhiasan (emas) di Jawa dari sudut sejarah. Dalam kebudayaan Jawa kuno, emas tidak cuma dipakai untuk perhiasan. Ia juga dipakai sebagai mata uang, dan sarana ritual keagamaan. Banyak yang menarik dari kajian Miksic. Antara lain, kita dapat menyimak peralihan keterampilan dan teknik masyarakat Jawa dalam mengolah emas. Emas telah diolah di Indonesia sejak zaman prasejarah. Sebelum digunakan sebagai perhiasan, dalam bentuk yang sederhana (tanpa dipanaskan, hanya lewat proses penempaan), ia telah digunakan sebagai penutup mata, hidung, dan mulut jenazah. Lalu berkembang menjadi penutup wajah jenazah (death mask). Setelah teknik pemanasan diketahui, antara tahun 200 dan 650, para perajin emas Jawa mulai bisa membuat manik-manik, kawat, dan rantai. Hiasan telinga mulai muncul saat itu, masih polos dan sederhana. Miksic bercerita juga tentang peran emas dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa. Mengutip sebuah prasasti, ia menceritakan bagaimana hampir satu kilogram emas dibagikan oleh seorang ningrat, Rakai Panggumulan, dalam sebuah upacara memulai pembangunan sebuah candi di dekat Yogyakarta pada 27 Desember 902. Memberikan hadiah, termasuk emas, rupanya merupakan kebiasaan dalam pembangunan sebuah candi. Mengingat bahwa ratusan candi mungkln dibangun dalam masa sekitar itu, bisa diduga bahwa mestinya banyak sekali emas yang diperlukan dalam upacara pembangunannya. Apalagi biasanya emas -- berupa lembaran yang dipotong dalam bentuk manusia, hewan, geometris, atau ditulisi rajah -- juga ditanam di bawah fondasi candi. Belum lagi benda-benda upacara, misalnya jambangan dan patung, sering pula dibuat dari emas. Jadi, benarkah Jawa dulu kaya akan emas, seperti tersebut dalam prasastiprasasti itu? Dalam kisah Ramayana, Yavadvipa digambarkan sebagai pulau yang kaya akan beras dan emas. Laporan-laporan dari Cina antara abad ke-7 dan ke-12 juga menggambarkan bahwa Jawa menghasilkan emas dan perak. Malah seorang perantau dari Barat, Odoric dari Pordenone, melaporkan bahwa ada tangga di istana Majapahit yang berlapis emas dan perak. Miksic tak percaya bahwa semua emas itu berasal dari Jawa. Menurut pengajar sejarah di Universitas Nasional Singapura ini, sejauh ini belum pernah ada temuan arkeologis yang menyatakan penggalian emas di Jawa. Penelitian geologis juga membuktikan sedikitnya kandungan emas di Jawa. Maka, besar sekali kemungkinan emas yang ada di Jawa waktu itu didatangkan dari luar, mungkin sekali dari Sumatera, yang dalam cerita Hindu kuno disebut sebagai Suvarnadvipa, atau "Pulau Emas". Uraian Miksic tentang koleksi perhiasan Hunter Thompson, yang dilengkapi foto, juga sangat menarik. Kita bisa mengetahui bermacam model dan motif perhiasan emas Jawa kuno. Di tengah perhatian kita pada penemuan "harta karun" berupa benda-benda emas abad ke-8 dan ke-9 di Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah, oleh Witolakon dkk., Oktober dan Desember 1990, buku ini terasa lebih menarik untuk dibaca. Erlien Yudianti Susanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini