TURBULENT TIMES PAST IN TERNATE AND TIDORE Penulis: Willard A. Hanna & Des Alwi Penerbit: Yayasan Warisan dan Budaya Bandaneira, Maluku, 1990, 290 halaman SALAH satu cara penulisan sejarah yang banyak digemari orang adalah naratio atau cerita (kisah), seperti yang tampak pada buku ini. Dengan menggunakan berbagai dokumen sejarah dari Portugis dan Belanda yang sudah diterbitkan, kedua penulisnya berhasil menyusun suatu kisah yang menarik mengenai Maluku Utara. Kisah ini mengajak pembaca melihat perkembangan yang khas di wilayah itu, sejak masa kemakmuran yang berintikan perdagangan cengkeh sampai kemundurannya sejak abad ke-18, yang di sanasini masih berdampak sampai kini. Memang ada kesan bahwa masalah "pembangunan IBT" mendasari kisah ini. Namun, ini bukan buku tentang sejarah ekonomi. Kisah sejarah ini menonjolkan para raja dan penguasa asing sebagai plotnya. Yang paling menonjol adalah kesan mewah pada kalangan istana. Busana para raja dan pangeran yang bersulam benang emas, dengan hiasan kepala yang bertaburan intan-berlian, cincin-cincin yang masing-masing berharga sampai 6.000 ringgit (sekarang puluhan juta rupiah), bukan keadaan yang luar biasa ketika itu. Keadaan serba kaya tersebut memang bisa dimaklumi bila diingat bahwa ketika itu Maluku Utara adalah satu-satunya produsen cengkeh di dunia, dan para pedagang dari segenap penjuru bertarung untuk menguasainya, dengan akibat keuntungan material bagi penduduk wilayah itu. Sekalipun soal perdagangan memang tidak dibahas dalam buku ini, cukup banyak kutipan dari para pengunjung pertama dari Barat, seperti Pigafetta, yang bisa memukau. Bentuk pala dan cengkeh, serta kegunaannya untuk mengatasi berbagai penyakit -- seperti masuk angin dan sakit perut -- mendapat perhatian khusus. Kedatangan para pedagang asing membawa perubahan budaya yang mencolok di Maluku Utara. Munculnya unit-unit politik yang dinamakan "kerajaan" di sana sedikit-banyaknya berkaitan dengan agama Islam yang dibawa sementara pedagang Asia. Munculnya para pedagang Portugis, selain membawa agama Katolik, juga menyebarkan berbagai kebiasaan kasar para pelaut dan pedagang itu. Kebiasaan minum minuman keras, umpamanya, yang memang tidak asing di kalangan penduduk, adalah salah satu contoh. Ini semua memang terekam dalam berbagai tulisan orang Portugis yang digunakan untuk menyusun sebagian awal dari buku ini. Kemudian muncul zaman VOC pada awal abad ke-17, yang membawa pergeseran-pergeseran drastis. Para pejabat VOC adalah tipe yang sangat berlainan dengan para pejabat Portugis, tetapi perbedaan ini tidak mendapat perhatian sepenuhnya dalam buku ini. Cukup banyak penelitian mengenai VOC di abad ke-17 yang bisa membantu. Di antaranya penelitian menunjukkan bahwa VOC adalah suatu organisasi dagang yang berciri bureaucratic trade (seperti juga badan dagang Inggris yang sezaman-EIC). Dapat disimpulkan dari dokumen-dokumen VOC bahwa para pejabat VOC tidak menampilkan gaya karismatik seperti para kapitan Portugis, tetapi bekerja secara rasional menurut petunjuk dan aturan yang ditentukan oleh direksi badan dagang itu. Menurut sejarawan C.R. Boxer, kualitas para pejabatnya memang prima, tidak seperti di akhir masa VOC. Lukisan yang ditampilkan buku ini mengenai raja-raja di Ternate dan Tidore sejak pertengahan abad ke-17 juga berbeda dengan gambaran pada masa Portugis. Semangat intrik-intrik untuk lebih berkuasa dari para sekutu asingnya, seperti tampak sebelumnya, lenyap. Mereka diperlihatkan sebagai orang-orang alim yang tenang dan malah tidak jarang masa bodoh terhadap soal-soal pemerintahan. Sampai di mana ketepatan gambaran terakhir tersebut di atas memang bisa dipersoalkan. Penelitian sejarah Maluku mengenai masa sejak abad ke-18 memang belum seberapa. Malah hubungan antara para penguasa di sana dan para penguasa asing sejak abad ke-16 (yang bisa dikategorikan sebagai hubungan "barter politik") memang masih perlu dipelajari lebih lanjut. Keterangan dalam buku ini mengenai pemberontakan Nuku dari Tidore di akhir abad ke-18 terlalu sumir. Buku J. Katoppo ataupun tesis G. Miller tidak digunakan. Bahwa sejak abad ke-18 pergolakan lebih banyak di wilayah Ternate dan Tidore, di Pulau Halmahera, tidak terekam dengan baik dalam buku. Juga proses pemiskinan, yang dikatakan muncul sejak akhir abad ke-17, belum mendapat perhatian sepatutnya dari para peneliti. Terlepas dari manfaatnya yang besar, ada catatan yang bisa berguna untuk cetakan ulang buku ini. Naskah Hikayat Tanah Hitu, yang ditulis Imam Rijali pada abad ke-17, belum hilang (hlm. 3) karena ada naskah-naskah yang masih tersimpan di Leiden dan sudah diteliti (disertasi). Berkali-kali disebut bahwa Tidore jug berkuasa di Sulawesi, padahal daerah ekspansinya hanya ke arah timur. Lalu, ditulis dalam halaman 182 bahwa Toluko adalah sultan Tidore, padahal di halaman-halaman lain disebut ia dari Ternate. Pulau "Matjan" -- yang berkali-kali muncul -- maksudnya Pulau Makian. Lebih mengganggu lagi adalah kesalahankesalahan tipografi serta halaman-halaman yang letaknya terbalik. Juga keterangan pada foto di halaman 225 masih perlu diterjemahkan. R.Z. Leirissa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini