KAMI memiliki beberapa koleksi dari Sumatera, tapi tidak kami pasang di ruang pameran," kata Kanggouridi. Arkeolog cantik ini tampak tersipu-sipu ketika kami bertanya apakah museum ini memiliki koleksi dari Indonesia.
Museum of Asian Art di Corfu terletak berseberangan dengan gedung Corfu Reading Society. Mengkhususkan koleksinya pada barang-barang seni Asia: patung, manik-manik, keramik, arca, lukisan kuno, sutra. Ini satu-satunya museum Asia di seantero Yunani. "Di Eropa, hanya ada lima museum Asia, salah satunya di Corfu ini," kata Mikhail David, perupa asal Yunani yang mengurus rombongan Indonesia.
Di museum ini, pada Maret 2002 lalu, diadakan seminar Gandhara: Hellenism in the Crossroads of Asia. Seminar ini membahas pengaruh Yunani pada ekspresi patung-patung Buddha yang tersebar di Asia. Sebuah seminar yang sangat penting, karena banyak yang melihat sesungguhnya Borobudur sangat terpengaruh style Gandhara, sebuah kota di India era lampau yang terpengaruh kebudayaan Helenisme. Sayang, tak ada seorang arkeolog atau pakar pun dari Indonesia yang hadir.
Ruang memajang koleksi lumayan enak. Barang-barang ditempatkan di kamar-kamar besar dengan jendela-jendela lebar menghadap laut. Dari jendela-jendela yang melegakan itu dapat kita saksikan laut yang biru. Dan di kejauhan, samar-samar Kota Saranda, tanah Albania. Bila ruang-ruang museum ini terasa nyaman, itu lantaran museum ini bekas istana St. Michael dan St. George -yang dibangun pada zaman protektorat Inggris.
Pengaturan ruang pameran didasarkan pada peradaban: India, Cina, Korea, Jepang. Di samping ruang koleksi India, ada ruang khusus untuk barang dari negara-negara yang dipengaruhi peradaban India, yaitu Nepal, Tibet, Siam, Kamboja. Indonesia tak termasuk. "Saya kira tentu patung arca banyak di Indonesia, tapi kami tak punya," kata Kanggouri, si arkeolog staf museum, sambil menunjuk patung Shiva dan Ganesha dari India.
Boleh dibilang barang-barang seni Indonesia tak ada, itu karena seluruh koleksi merupakan hibah dari duta-duta besar Yunani yang memiliki minat mengumpulkan barang seni Asia di tempat dia bertugas. Mayoritas hibah dari G. Manos, bekas Duta Besar Yunani di Austria dan pernah hidup di Prancis. Ia memburu barang-barang Asia lewat lelang. Pada 1919, ia menyerahkan seluruh koleksinya kepada pemerintah Yunani. Koleksi itu mencakup lebih dari 10 ribu item dan dipamerkan pada sayap kiri museum-ruangan yang dulunya bangsal pesta.
Juga hibah dari N. Chatzivasileiou, bekas Duta Besar Yunani di India pada 1954-1962. Ia pernah tinggal di beberapa negara Asia lain, menjadi perwakilan Yunani di Nepal, Tibet, Siam, Korea, Formosa, Filipina. Ia akhirnya menjadi Duta Besar Yunani di Jepang. Koleksinya yang diserahkan ke museum ini mencapai 450 item.
Dapat dilihat, para dermawan ini tak sempat menjejakkan kakinya ke Indonesia. Sempat dipikirkan oleh rombongan, bagaimana bisa terjalin kerja sama antara Museum Asia di Corfu ini dan museum-museum di Tanah Air. Misalnya, ada hubungan tukar-menukar koleksi untuk sebuah pameran. "Katakanlah koleksi Museum Agung Rai di Bali bisa sebulan dipamerkan di sini, why not," kata Mikhail David. Bila pemerintah Indonesia ber-usaha, tentu bisa. Tapi, sudahkah terpikirkan?
Sebab, museum-museum di Tanah Air saja banyak yang tak berfungsi sebagai media apresiasi seutuhnya. Berbagai museum purbakala di daerah-daerah sering tak terawat, karena minimnya infrastruktur. Pernah terlontar keinginan membuat sebuah museum instrumen musik etnis Indonesia, tapi sampai kini masih di awang-awang. Arca Mahesasuramardhini Candi Singosari, yang seharusnya menjadi koleksi kita, sampai kini masih ngendon di Museum Leiden, Belanda.
Tapi, memang mengadakan pameran barang seni kita di Corfu bukan gagasan buruk. "Menarik, memang, bila kita bisa memiliki satu atau dua ruang pameran tetap di sini," kata Sri Hastanto, mewakili pemerintah Indonesia. Ini bukan ucapan resmi. Namun, Asia tanpa kita-mungkin ini berlebihan-seolah sayur tanpa garam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini