Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEL bergemerincing. Kambing-kambing mengembik. Ketenangan biara di puncak bukit Paleokastritsa-berdiri sejak 1228-di Pulau Corfu itu sedikit tercubit. Tapi sebentar sunyi kembali. Tempat ini seolah memang ditakdirkan untuk merenung diri. Biara memiliki kebun-kebun anggur, zaitun, sayuran, dan ternak. Untuk hidup sehari-hari, para rahib memetik anggur, membuat minyak zaitun sendiri. Mereka juga menggembala ternak. Suara bel tersebut didentingkan seorang rahib yang mengatur kambing-kambing pulang kandang.
Sudah sejak berabad-berabad lalu biara kecil Paleokastritsa ini menjadi tujuan para biarawan dari Gereja Orthodox seluruh Yunani. Bahkan dari Eropa Timur. Gereja-gereja itu mengirim biarawannya untuk beberapa waktu mukim di sini. Tiap 15 Agustus, masyarakat desa melakukan upacara tradisional mengganti minyak zaitun yang menerangi lilin-lilin patung dan ikon perawan Maria. Minyak yang telah hitam dibersihkan, diganti dengan minyak buah zaitun yang baru dipetik pada musim panas, yang disebut kalokerides. Pada saat itu keramaian terjadi, pelbagai jemaah akan datang, mengenakan pakaian fiesta tradisional setempat.
Berlantai batu yang rapi, biara sederhana ini memiliki beberapa tempat strategis untuk menikmati panorama karang, lembah, dan Laut Adriatik yang menakjubkan. "Itu karang tempat kapal Odysseus menabrak dan karam," kata pemandu kami. Dari tempat kami berdiri, sebuah selasar panjang beratapkan daun-daun anggur, ia menunjuk seonggok karang mungil di laut biru yang terpisah dari karang-karang lain.
Homer konon mengakhiri cerita Odyssey dengan mengambil lokasi pulau ini. Kapal Odyssey menabrak karang, turun ke darat. Dan di Pulau Corfu ini Odyssey bertemu dengan gadis cantik bernama Nausicaa, putri Raja Phaeacian: Alcinous dan Arete. Alcinous menyambutnya hangat. Lalu mengantar kembali sang hero ke Ithaca, yang telah selama 20 tahun ditinggal Odyssey mengembara.
Pulau Corfu-atau Kerkyra menurut sebutan warga asli-merupakan pulau kedua terbesar di Kepulauan Ionia setelah Pulau Cephalonia. Letaknya di ujung paling barat Yunani. Laut dan langit betul-betul biru di sini. Corfu disebut-sebut pulau paling subur di Yunani. Letaknya dekat Albania. Ketika Partai Komunis menang di Albania, banyak warga Albania berenang melarikan diri menuju pulau ini.
Romawi, Byzantium, Venesia, Prancis, Turki, dan Inggris pernah bergantian menjajah Pulau Corfu, sebelum akhirnya masyarakat mengintegrasikan diri ke Yunani pada 1864. Maka, sudut-sudut kota ini penuh campuran elemen arsitek Italia, Prancis, dan Inggris. Meskipun pada zaman Turki banyak gedung di- hancurkan dan kota pernah dibom oleh pesawat Italia dan Jerman waktu Perang Dunia II, bangunan-bangunan di mana pun tetap terpelihara. Di pusat kota, misalnya, warga membanggakan lapangan Liston yang luas dan nyaman. Di situ kedai-kedai kopi berjajar, dan warga rileks duduk di udara terbuka.
Di situlah satu-satunya permainan kriket di Yunani diadakan. Olahraga ini warisan Inggris saat Corfu menjadi protektorat Inggris, 1814-1864. Penduduk Corfu kurang-lebih 30 ribu jiwa. Pada musim panas, penduduk bisa mencapai 2,5 juta karena kebanjiran turis. Paling banyak wisatawan asal Inggris, bahkan dari sana ada penerbangan langsung ke pulau ini.
Seniman Indonesia di Corfu diterima oleh Corfu Reading Society. Didirikan pada 1836, komunitas pencinta sastra ini merupakan satu di antara organisasi tertua dalam sejarah Yunani modern. Rata-rata anggotanya penulis, peneliti bahasa, sejarawan, kalangan terpelajar, dan keluarga-keluarga terhormat di Corfu. Komunitas ini mengambil model dari Geneva Societe de Lecture. Anggotanya dipilih sangat selektif. Dari 1800 sampai kini hanya kurang-lebih 400 orang. "Setiap anggota baru direkomendasi sangat ketat," kata Katerina Kyriakis, angggota Corfu Reading Society.
Sositet ini menempati sebuah gedung tua di kawasan Esplanade. Lorong tengah menuju ruang utama dihiasi patung kepala Lorenzo Mavilis, penyair asal Corfu yang tewas tertembak di Lembah Driskos pada 1912 ketika ikut berjuang melawan pendudukan Turki. Mavilis terpilih menjadi anggota Corfu Reading Society pada usia sangat muda, 16 tahun. Pada 1892, ia terpilih menjadi Ketua Corfu Reading Society. Penyair ini tampak sangat cinta akan kotanya. Puisi-puisinya penuh dengan romantisme atas sudut-sudut Corfu dan Kepulauan Ionian.
Itulah sebabnya minat utama Corfu Reading Society adalah apresiasi atas folklore, sejarah, linguistik, dan kesenian Kepulauan Ionia. Komunitas ini memiliki buku-buku tua, poster, peta, litografi, manuskrip, koran lama, yang langka seputar Corfu dan Kepulauan Ionia. Itu membuatnya menarik para periset dari belahan Eropa. "Tahun 1995 kami menerbitkan kamus dialek Corfu. Ada lebih dari 5.000 kata-kata Corfu yang hampir punah yang kami selamatkan," kata Andreas Papadatos, kepala perpustakaan yang telah bekerja di sana selama 18 tahun.
Menurut dia, sekitar 50 ribu buku dimiliki komunitas ini dan 700 volume khusus mencakup serba-serbi Ionian. Sejak 1978, Corfu Reading Society menjadi anggota Europa Nostra, sebuah organisasi lintas Eropa yang tertarik pada masalah konservasi cagar budaya. Banyak filantropis menyumbang dana pemeliharaan dan kegiatan komunitas ini. Di antaranya untuk menerbitkan jurnal bulanan yang mengkaji seputar sastra.
Suatu kali, Lorenzo Mavilis menulis tentang Kerkyra:
Laut menggigil di kedalaman
Dan buih muncul ketika ia me-nerima
Dalam rahimnya yang dingin benih ilahi
Dari langit dikirim ke sini...
Maka, Venus pulau-pulau, bertatahkan kembang lili
Dan mawar, penuh madu,
Kerkyra, engkau memancar dari darah Uranus.
Ia juga amat menyayangi bukit tempat biara di atas tadi. Ia menulis dalam sebuah sajak berjudul Palaeocastritsa:
Jika aku mati aku 'kan ke sini bersama beribu
arwah yang senantiasa berjaga di awan berangin
atau dalam purnama ajaib bunda mutiara
untuk menikmati misteri kudus sang malam.
Dan malam itu, di depan lebih dari separuh anggota Corfu Reading Society yang hadir, setelah membagikan terjemahan Inggrisnya, berbaju hitam, Dorothea Rosa Herliany membacakan Surat Julia, tentang negerinya yang miskin:
Aku pernah merasakan kesendirian itu, Julia
di depan sebuah etalase kukagumi bayangan kemewahan
dua orang wanita tua mendekatiku, dan bertanya aku dari mana
kusebutkan sebuah negeri jauh dan miskin
tapi mereka beringsut karena tahu
aku menginap di sebuah hotel mewah
inikah ironi?
Rata-rata hadirin, keluarga-keluarga kalangan atas itu, duduk sopan dan rapi di kursi-kursi kuno. Tempat pertunjukan berdinding jambon seolah ruang makan keluarga yang besar. Bekas perdiangan tempo doeloe tampak masih terjaga. Di dinding, berderet almari dengan buku-buku tua bersampul merah lusuh terbitan 1800-an. Ruangan-layaknya museum-penuh lukisan tua, cermin antik, lampu kap, patung-patung penyair dan komponis lokal. Memasuki ruangan itu, kesan abad ke-19-an masih terasa.
Ternyata anggota Corfu Reading Society ini juga terbuka untuk sesuatu yang berbau kontemporer. Ketika film Gotot Prakosa yang menampilkan sepenuhnya permainan grafis ritme, lelehan, dan komposisi warna ditayangkan, dan pianis Ary Sutedja meresponsnya dengan nada-nada yang beraura kegalauan, sambutan hadirin semeriah pembacaan puisi Dorothea. "Pendekatan Ary Sutedja terhadap film yang abstrak sangat rasional," tutur seorang hadirin.
Masyarakat Kota Corfu sampai sekarang menganggap kotanya dilindungi oleh Santo Spyridon, biarawan kelahiran Siprus. Orang kudus ini dianggap bisa menghalau wabah kelaparan pada 1533 di Corfu. Di Gereja Santo Spyridon di kawasan Sarocco Quarter yang dibangun pada 1590, sampai sekarang disemayamkan relik-sisa tubuh-Santo Spyridon yang dibalsem. Relik ini mulanya disimpan di Konstantinopel. Tapi, setelah Konstantinopel jatuh diserang Turki, relik itu dibawa ke Pulau Corfu. Siang itu, di Gereja Santo Spyridon kami melihat pengunjung berdoa khidmat di depan peti mati perak tempat relik disimpan.
"Ada banyak prosesi besar untuk mengenang Santo Spyridon," tutur Katerina Kyriakis. Prosesi Minggu Palem setiap November, misalnya, untuk mengenang mukjizat terhalaunya wabah mematikan pada 1629 dan 1673. Lalu, pada setiap 11 Agustus ada arak-arakan atas selamatnya pulau ini dari kepungan Turki pada 1716. Penduduk menganggap semua itu terjadi berkat campur tangan Santo Spyridon. "Pada saat-saat itu relik Santo Spyridon diusung dan diarak keliling kota dengan khidmat," kata Katerina Kyriakis, yang memandu kami menelusuri lorong demi lorong.
Setelah beratus-ratus tahun pesta tradisional yang berbau spiritual, kini dengan segala keunikannya masyarakat terpelajar Corfu menggelar sebuah festival kesenian kontemporer. Tahun lalu untuk pertama kalinya festival menampilkan Egribianco Dance Company dari Italia, penari Emanuel Hat dari Tel Aviv, balet dari St. Petersburg, koreografer Aje Jung dari Belgrade Drama Theater, dan Aleksandar Sanja Ilic, komposer dari Yugoslavia. Menjelang Olimpiade, Juli tahun ini, sebuah festival seni internasional akan diadakan lagi di Corfu. "Saya sangat berharap seniman-seniman Indonesia bisa pentas di sini," kata Minas Damianos Raptis, ketua festival itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo