Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP menyebut Jombang, dulu, Emha Ainun Nadjib tak pernah lupa mengutip nama tiga ”orang gila” asal daerah santri di Jawa Timur itu. Mereka adalah Nurcholish Madjid alias Cak Nur, Abdurrahman Wahid atawa Gus Dur, dan Asmuni. Sementara Cak Nur dan Gus Dur terkenal karena ide-idenya yang menggugah, Asmuni beken lantaran banyolannya yang tak sekadar konyol.
Cak Nur telah berpulang, dua tahun lalu. Gus Dur menjadi Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), pernah menjadi presiden, dan alhamdulillah segar bugar belaka. Asmuni lama tak terdengar lawakannya, sampai Sabtu dua pekan lalu terbetik kabar, ia wafat karena sakit di Kampung Jatipasar, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Stop pada usia 76 tahun, ia meninggalkan seorang istri, tiga anak, dan sembilan cucu.
Pada Rabu pekan lalu, di antara karangan bunga yang menutupi makamnya yang masih basah di Desa Diwek, Jombang, terpacak selembar bendera PKB. ”Itu keinginan Kakak sebelum meninggal,” kata Asrofah, 65 tahun, adik bungsu pentolan kelompok Srimulat itu. Ia sendiri bukan aktivis, apalagi pengurus, partai itu. Tapi, menurut keluarganya, belakangan ia dekat dengan Gus Dur. Jika bekas presiden itu datang ke Jawa Timur, Asmuni kerap diajak menghibur warga PKB.
Lahir di Surabaya 31 Juni 1931, Asmuni berasal dari keluarga ”anak wayang”. Kedua orang tuanya, Asfandi dan Maijah, anggota kelompok sandiwara Dardanella. Semasa kecil, ia ikut manggung keliling bersama kedua orang tuanya. Kehidupan panggungnya tersendat ketika Belanda melancarkan agresi militer. Asmuni ikut angkat senjata.
Setelah keadaan aman, ia balik naik pentas. Mula-mula bergabung dengan kelompok sandiwara Kintamani di Solo, Jawa Tengah, kemudian dengan kelompok Terang Bulan pimpinan Rita Sahara—kolega orang tuanya di Dardanella. Setelah itu ia sempat menjadi penabuh drum dan penyanyi di Grup Jakad (Jawatan Kesenian Angkatan Darat) di Jember, Jawa Timur. Asmuni bahkan pernah masuk dapur rekaman dan mencetak piringan hitam dengan lagu andalan berjudul Sungai Barito.
Sebentar di dunia tarik suara, ia kembali ke dunia peran. Kali ini bergabung dengan ludruk Gaya Baru di Jombang, sebelum pindah ke ludruk Lokaria pimpinan Amang Rahman. Pergaulan dengan Amang, yang juga pelukis, membuat dia ikut belajar menggambar. Salah satu karyanya adalah lukisan potret Teguh, pendiri Srimulat. ”Lumayan mirip dengan aslinya,” kata Tarzan, sejawatnya di Srimulat, tanpa maksud melawak.
Nama Asmuni mulai melejit setelah masuk Srimulat di Surabaya pada 1975. Kawan seangkatannya adalah Gepeng, Paimo, dan Bambang Gentolet. Di sana ia sempat tampil di film Suci Sang Primadona, yang mendapat Piala Citra 1977. Ketika Srimulat boyongan ke Taman Ria Senayan, Jakarta, Asmuni ikut terbawa.
Bersama almarhum Gepeng, dan Tarzan serta Timbul yang datang belakangan, Asmuni menjadi bintang panggung Srimulat. Ia bisa bermain dalam peran apa saja, mulai dari jongos, drakula, bahkan sebagai perempuan. ”Cak Asmuni punya seribu wajah,” ujar Tarzan. Karena jumlah penonton yang terus susut, Srimulat kemudian mundur dari Taman Ria Senayan.
Asmuni dan Srimulat berkibar kembali setelah tampil di Televisi Republik Indonesia (TVRI). Kemudian ia ikut membintangi beberapa film, antara lain Untung Ada Saya, Mayat Cemburu, dan Cintaku di Rumah Susun. Celetukannya di atas panggung, seperti hil yang mustahal dan wassalam segera memasyarakat dan ditiru orang. Di luar panggung, Asmuni menata hidupnya dengan membuka rumah makan, termasuk di kampung halamannya di Trowulan, Mojokerto.
Kini salah seorang ikon dunia lawak Indonesia itu telah berpulang dalam damai. Wassalam.…
Nugroho Dewanto, Zed Abidien (Mojokerto)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo