Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ketakutan di Lembah Karmel

Pertemuan konferensi internasional Tritunggal Mahakudus di Cianjur, Jawa Barat, batal. Kebebasan beribadah di beberapa tempat juga terganggu.

30 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lembah Karmel, kawasan perbukitan hijau di Kampung Babakan Hilir, Desa Cikanyere, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Jumat pekan lalu kembali dibekap senyap. Hanya dengung doa dan puji-pujian kepada yang Mahakuasa datang dari segelintir jemaat di Aula St. Paulus. Nama itu diambil dari sebuah tempat di Kirmil, Arabia Barat—dalam kamus geografi Arab Yaqut disebut sebagai sebuah punggung bukit pesisir di ujung selatan Asir, berbatasan dengan Yaman.

Suasana ini berbeda dengan Jumat pekan sebelumnya. Saat itu, ribuan orang dipimpin Chep Hernawan dari Gerakan Aksi Reformis Islam (Garis) Cianjur menggeruduk pusat wisata ziarah keagamaan kaum kristiani itu. Sempat terjadi aksi saling dorong antara aparat kepolisian yang mengamankan lokasi dan pengunjuk rasa.

Bentrokan terjadi hanya sesaat, Kapolres Cianjur AKBP Saiful Zahri langsung turun tangan meminta para pemimpin organisasi massa bernegosiasi. Massa akhirnya membubarkan diri menjelang azan asar. Mereka menuntut agar pengelola Karmel membatalkan konferensi internasional dan reuni komunitas Tritunggal Mahakudus yang sedianya akan dihadiri 2.500 orang dan digelar pada 24–29 Juli itu.

Setelah diadakan pertemuan antara para tokoh MUI, DPRD, dan ormas setempat dengan pengelola Karmel di Markas Polres Cianjur, konferensi itu dibatalkan. Padahal, panitia sudah mengantongi izin dari Markas Besar Kepolisian dan Menteri Dalam Negeri. ”Semua perizinan sudah diurus jauh-jauh hari, termasuk persyaratan administrasi peserta,” kata Humas Karmel Suster Lisa Martosudjito. Mereka tak mau ribut-ribut itu berlanjut. ”Jika tak terjadi kesepakatan pembatalan kegiatan itu, kemungkinan terjadi aksi anarki sangat besar,” kata Chep.

Ancaman itu memang bukan main-main. Pertengahan September dua tahun silam, di Kabupaten Cianjur terjadi aksi anarki. Dengan modal pekik takbir, massa memorak-porandakan puluhan rumah dan tempat ibadah warga Ahmadiyah di Kecamatan Cijati, Campaka, dan Cibeber. Warga Ahmadiyah terpaksa menyingkir dari tempat tinggal mereka. Polisi mencokok 100 orang dari lokasi kerusuhan, 12 di antaranya ditahan dan diadili. Di pengadilan terbukti bahwa mereka kebanyakan hanya ikut-ikutan. Motor penggeraknya? Tetap dibiarkan berkeliaran hingga peristiwa Karmel hampir terjadi seperti pada Ahmadiyah.

Ahmadiyah juga sering menjadi korban anarki. Di Tasikmalaya, Parung, Leuwisadeng, Jawa Barat, dan di Ketapang, Lombok, Nusa Tenggara Barat, permukiman dan rumah ibadah warga Ahmadiyah menjadi sasaran kemarahan. Bahkan di Lombok kini 137 orang Ahmadiyah terpaksa menjadi pengungsi di kampung sendiri.

’’Kami diserang saat sedang tadarus di malam Ramadan,” kata Sahidin, pengikut Ahmadiyah. Ini juga dipicu oleh fatwa MUI yang menyatakan Ahmadiyah bukan Islam. ’’Kalau MUI meminta kami membuat agama baru, bukan Islam, saya tidak mau,’’ ujar Sahidin. Sejak satu setengah tahun lalu ia tinggal di Asrama Transito.

Pelarangan serupa terjadi di Jakarta dan sekitarnya. Pekan lalu beberapa pengurus gereja mengadu ke Aliansi untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Penganut Kristen di Bojong Menteng, Bekasi Timur, dan Tanjung Priok, Jakarta Utara, dilarang berkumpul dan beribadah di rumah mereka. Alasannya pun berbeda-beda, tapi petunjuknya jelas: harus ada izin ibadah. Jika itu tidak dipenuhi, massa akan menyerang.

Begitu juga dengan komunitas Eden. Pemimpinnya, Lia Aminuddin, yang akan bebas pekan ini, sudah diancam akan diserang lagi jika masih mengadakan kegiatan ibadah di Jalan Mahoni, Jakarta Pusat.

Menurut Koordinator Aliansi, Anick H.T, pelarangan ibadah dan kegiatan rohani itu akibat pemerintah kurang melindungi warga yang berbeda agama dengan pemeluk agama mayoritas. ”Polisi juga takut jika berhadapan dengan kelompok yang memakai jubah atau beratribut ormas Islam,” ujarnya. Anick berharap penegak hukum melindungi semua warga tanpa membeda-bedakan agama dan kepercayaan mereka.

Ahmad Taufik: Deden A. Azis (Cianjur) dan Supriyantho Khafid (Lombok)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus