Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vonis mati buat Gunawan Santosa sudah berkekuatan hukum tetap. Mahkamah Agung sudah mengukuhkan hukuman itu. Tetapi eksekusi untuk terpidana mati di Indonesia tidaklah mudah. Terpidana harus diberi kesempatan mengajukan peninjauan kembali (PK) dan grasi kepada presiden. Jika PK dan grasi ditolak, barulah eksekusi dijalankan.
Yang jadi soal, tidak ada batas waktu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pengajuan PK dan grasi. Ini yang menyebabkan ada terpidana mati yang sudah puluhan tahun di penjara tetap saja segar-bugar. Terpidana mati seolah bisa menentukan ”jadwal”, kapan dia mau dieksekusi dengan mengajukan PK. Mungkin ini yang tidak dipahami Gunawan Santosa, sehingga ia—karena merasa diperlakukan seperti binatang—lebih memilih kabur dari penjara.
Dalam hal kabur, Gunawan termasuk ahli. Pengalaman kaburnya meyakinkan kita betapa ia sangat lihai mempengaruhi petugas penjara. Gunawan tahu para sipir bergaji kecil, dan bekas pengusaha yang masih muda ini maklum, orang yang bergaji kecil di Indonesia sangat mudah disuap. Begitulah, ia kabur dari penjara Kuningan, Jawa Barat, tanpa perlu menggangsir tembok atau menggergaji terali layaknya terpidana ”kelas kere”. Padahal Gunawan saat itu hanya tertimpa ”kasus kecil”, yakni penggelapan uang milik mertuanya, dan hukumannya pun tidak berat.
Di alam bebas, Gunawan lalu membuat kartu penduduk dengan nama lain, sesuatu yang juga sangat mudah dilakukan di negeri ini. Ia rupanya punya dendam kesumat kepada sang mertua, yang membuat ia masuk penjara Kuningan. Enam bulan berselang, ia menjadi otak pembunuhan mertuanya, Boedyharto Angsono, yang dikenal sebagai bos PT Asaba. Gunawan terus diburu polisi. Namun, lagi-lagi ia dengan gampang memesan kartu penduduk dengan nama Kevin Martin. Si Kevin ditangkap polisi dua bulan setelah pembunuhan itu, dan langsung dijebloskan ke rumah tahanan Salemba, Jakarta.
Di rumah tahanan, rupanya Gunawan lebih suka mereka-reka cara kabur yang aman ketimbang membuat pembelaan dalam sidang. Bagi Gunawan ini mudah, karena sipir penjara mudah disogok. Gunawan pun sampai memiliki pistol di rumah tahanan. Namun skenarionya untuk meloloskan diri dalam perjalanan dari Salemba ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak berlangsung mulus. Ia kurang terampil meloncat dari mobil tahanan, padahal sudah berhasil melepaskan borgolnya. Ia terjatuh dan pingsan.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis mati Gunawan Santosa. Ia lalu dipindahkan ke penjara Cipinang. Sekitar setahun menghuni penjara, ia sudah akrab dengan para sipir. Tinggal soal waktu kapan para sipir itu silau dengan uang. Betul, hanya dengan Rp 2,5 juta plus janji lainnya, seorang sipir bersedia membuatkan kunci duplikat sel Gunawan. Terpidana mati ini langsung lenggang-kangkung, kabur tanpa perlu repot-repot.
Ketika polisi berhasil menangkapnya di Plaza Senayan, Jakarta, terungkap bahwa Gunawan sudah berubah nama menjadi Calvin Satya. Ia mengaku berpindah-pindah tempat selama menjadi buron, bukan saja di dalam negeri, tetapi juga di Singapura, Malaysia, dan Cina. Artinya, ia memang memiliki banyak uang. Dengan kuasa duit itu, sekian banyak orang yang ”mengetahui” Gunawan berada di alam bebas ternyata bisa dibungkam.
Betapa menyedihkan kesadaran hukum penduduk Indonesia, seorang buron enak-enak saja berkeliaran tanpa ada yang merasa perlu melaporkannya ke polisi. Barangkali orang berpikir, menjadi pelapor malah merepotkan. Betapa rendah moral para sipir penjara. Mereka rela merendahkan martabat demi uang, dan melanggar hukum dengan cara sengaja memberikan kelonggaran untuk terpidana. Siapa tahu para sipir berdalih, atasannya menerima lebih banyak lagi dari kantong terpidana. Betapa amburadul sistem administrasi kependudukan, membuat kartu penduduk semudah membeli kuaci. Bagai melengkapi semua kelemahan itu, pintu gerbang keluar-masuk negeri ini tak terawasi dengan baik. Bahwa Nusantara terdiri dari banyak pulau yang menyebabkan banyak ”jalan tikus” memang benar, tapi itu lebih banyak dijadikan dalih meloloskan buron ke negeri seberang.
Kini Gunawan Santosa dimasukkan ke sel isolasi yang dijaga superketat di lembaga khusus narkotik di Cipinang. Untuk menuju sel khusus ini harus melewati 12 pintu yang dijaga sipir yang konon tak doyan makan suap. Sel itu juga dilengkapi ”kamera televisi pengintip” yang dipantau 15 petugas selama 24 jam. Apa boleh buat, terpaksa repot mengurusi terpidana mati ini. Pertanyaannya, apakah semua kerepotan itu menjamin Gunawan tak bisa lolos lagi, jika para petugas penjara masih bermental korup.
Kasus Gunawan menunjukkan betapa banyaknya kelemahan aparat kita. Hanya satu ”kekuatannya”—supaya ada yang dipuji—yakni polisi, yang berhasil menangkap buron selicin belut ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo