DARI Puro Mangkunagaran di Solo tak cuma lahir salinan tujuh edisi Quran tulisan tangan Pangeran Sambernyowo alias Mangkoenagoro I, dan Serat Wedhotomo serta Serat Wulangreh karya Mangkoenagoro IV. Tapi juga 37 jilid Serat Padalangan Ringgit Purwo karya Mangkoenagoro VII (1885-1944). Rabu dua pekan lalu, Almarhum -- bersama sejumlah pengarang yang lain, antara lain Abdoel Muis, Marah Roesli, Sanoesi Pane, Sutan Takdir Sariamin Ismail atau Selasih, sampai pengarang Jawa R. Tanojo dan Hardjowirogo serta pengarang Sunda Moh. Ambri dan Memed Sastrahadiprawira -- menerima piagam penghargaan dari Menteri P dan K Fuad Hassan sebagai "pengarang perintis" Balai Pustaka. Mangkoenagoro VII diwakili cucunya, K.G.P.A. Mangkoenagoro. Buku pedalangan itu, seperti anggapan banyak orang, memang jadi sumber utama untuk buku-buku pedalangan yang terbit kemudian. Mangkoenagoro VII, yang nama kecilnya B.R.M. Haryo Suryo Suparto, menyusun buku pakem (lakon baku) wayang purwo itu bersama para sastrawan istana. Kemudian karya itu diterbitkan jilid per jilid selama empat tahun oleh Balai Pustaka, Jakarta, dari 1929 hingga 1933. Menurut Fuad Hassan, Jerat Padalangan Ringgit Purwo lengkap dan utuh, berurutan sesuai dengan berlangsungnya cerita. "Buku ini juga merupakan terbitan pakem wayang purwo yang pertama, bahkan kemudian menjadi sumber buku wayang purwo yang ada sekarang," katanya. Hal itu dibenarkan oleh Budya Pradipta. Menurut dosen Jurusan Sastra Jawa FS UI itu, karya Mangkoenagoro VII menjadi babon alias sumber dan patokan pakeliran atau pementasan wayang purwo. "Karya itu merupakan pakem jangkep," katanya. Dalam khazanah sastra pewayangan Jawa dikenal dua macam pakem. Pertama, pakem balungan, yaitu garis-garis besar jalannya cerita yang belum siap dipentaskan, karena itu masih bisa dikembangkan. Misalnya Pustoko Rojo Purwo karya sastrawan Jawa yang terkenal, Ronggowarsito, yang terbit jauh sebelum Serat Padalangan. Kedua, pakem jangkep, yang lengkap sebagai lakon, mulai dari suluk yaitu pengantar ki dalang yang menggambarkan suasana, sampai jejer alias adegan pertama setiap babak. Dilihat dari urutan cerita, karya Mangkoenagoro VII paling sistematis. "Sebelumnya tidak ada buku pewayangan yang disusun secara sistematis. Artinya, lakon-lakonnya diolah sesuai dengan konvensi dan struktur lakon wayang yang siap dipentaskan, ujar Budya Pradipta lagi. Tak heran bila kemudian buku itu menjadi pegangan para dalang wayang purwo gaya Surakarta. Perhatian Puro Mangkunagaran terhadap pedalangan memang besar. Apa yang telah dilakukan di sana ternyata, selain bersejarah, manfaatnya juga masih dirasakan sampai sekarang. Hal itu, misalnya, terbukti dengan dibukanya kursus pedalangan sejak zaman kolonial Belanda, yang masih berdiri dan berfungsi hingga sekarang -- seperti Pasinaon Dalang Mangkunagaran, yang lebih terkenal dengan singkatannya, PDMN. Adapun isi buku itu, menurut Pradipta, meliputi cerita Ramayana dan Mahabarata. Kedua siklus ini dipecah-pecah menjadi beberapa episode. Mahabarata, misalnya, secara garis besar dibagi menjadi tiga periode: periode sebelum Pandawa (tentang Shakuntala, Raja Sentanu, sampai kelahiran Pandawa) periode Pandawa (ketika Pandawa mulai berperan, sampai selesainya perang Baratayudha) dan periode ketiga sejak Raja Parikesit bertakhta. "Setiap periode itu pun masih dipecah-pecah lagi menjadi beberapa episode kecil. Misalnya episode Gantutkaca Gugur. Setiap episode siap dipergelarkan sebagai pengembangan yang kreatif dari siklus Ramayana dan Mahabarata," ucap Pradipta. "Bahasanya adalah bahasa Jawa baru yang mulai dikenal orang sejak berdirinya Kerajaan Demak pada ubad ke-16," tambahnya. Pada zaman Republik awal, pihak Mangkunagaran sendiri sudah tidak menyimpan karya besar itu. Untunglah, setelah R.T. Husodo Pringgokusumo menjadi kepala perpustakaa Puro Mangkunagaran, Rekso Pustoko, buku itu muncul kembali. "Serat Padalangan Ringgit Purwo yang sekarang dipajang di Rekso Pustoko itu semula milik saya, lalu saya persembahkan kepada Puro Mangkunagaran," katanya. Buku yang pada saat terbitnya dulu dijual seharga F 0,24 (dua puluh empat sen gulden) itu sejak 1978 ditransliterasi dengan huruf Latin oleh R. Sastronaryatmo dari Solo. Sampai tahun ini, usaha alih aksara yang juga diterbitkan Balai Pustaka itu baru selesai 27 jilid. Upaya melestarikan dan memasyarakatkan lagi Serat Padalangan Ringgit Purwo menjadi penting, mengingat sumber kebudayaan Jawa tak cuma di Solo, tapi juga di Yogyakarta. Hingga warna budaya ini bisa diketahui ragam kekayaannya. Menurut Dr. Kuntara, dosen Sastra Jawa Fakultas Sastra UGM, Yogya punya gaya pedalangan sendiri, dan cukup fanitik. "Para dalang Yogyakarta biasanya berpedoman pada Serat Purwokondo, yaitu pakem pedalangan yang masih menggunakan sastra Jawa kuno yang utuh," katanya. Karya Mangkoenagoro VII, menurut Kuntara, sebenarnya hanya saduran dari sastra Jawa kuno. Seperti Serat Wiwoho karya Yosodipuro I, pujangga Surakarta di masa Paku Buwono V. Tapi, sebagaima saduran yang dilakukan oleh para raja, gagasan dan kreasi mereka sendiri menjadikan saduran itu punya nilai tambah. Dalam hal karya Mangkoenagoro VII ini, seberapa jauh perbedaan itu dan apa pula itu artinya, memang belum dibahas. Siapa tahu, sejumlah hal dari masa lampau tersirat dalam karya ini. Bukankah orang kuno sering menyembunyikan sesuatu dalam tulisan mereka? Budiman S. Hartoyo, Priyono B. Sumbogo, Aries Margono, Kastoyo Ramelan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini