WITCHES OF EASTWICK Pemain: Jack Nicholson, Cher, Susan Sarandon, Michelle Pfeiffer Cerita: John Updike Skenario: Michael Christofer Sutradara: George Miller JANDA-janda cantik, Jane (Susan Sarandon), Sukie (Michelle Pfeiffer), dan Alexandra (Cher), merindukan kedatangan seorang lelaki. "Dia harus seorang pangeran yang tidak perlu terlalu ganteng asal benar-benar jantan," khayalan ketiganya, di sebuah kota bernama Eastwick, di New England yang adem-ayem dan puritan. "Setan" mendengar bisikan hati ketiga wanita itu. Ia pun muncul sebagai pendatang baru dari New York, dengan nama Daryl van Horn. Daryl (Jack Nicholson) membeli rumah Lenox yang dikenal sebagai tempat pembakaran wanita-wanita tukang sihir di masa lalu. Ia mengubah tempat itu menjadi sebuah istana yang siap untuk mengumbar kebebasan -- baca: seks. Sebagai jawaban untuk memenuhi panggilan hati janda-janda itu. Daryl yang kasar, kotor, dan rakus, ngorok di saat konser Jane berlangsung, sampai jatuh dari kursi. Penampilannya yang luar biasa segera mencekam setiap orang. Tetapi anehnya, namanya sulit sekali diucapkan. Selain kaya-raya, ia juga pandai bicara. Dengan lihai satu per satu ia taklukkan ketiga wanita itu. Pertama Alex, lalu Jane, akhirnya Sukie. Semuanya berakhir di tempat tidur. Hubungan mesum Daryl dengan ketiga wanita itu sekaligus menyebabkan kota kecil itu onar. Pemilik koran setempat didesak istrinya agar mengungkapkan skandal itu. Akibatnya fatal. Daryl menyerangnya, sehingga wanita itu mendapat sakit aneh: ucapannya tak terkuasai. Penyakit itulah yang kemudian melapangkan jalannya ke liang kubur. Berkabung karena kematian itu, ketiganya menahan diri untuk tidak mengunjungi Daryl. Setan itu menjadi kesepian. Ia berang. Mereka kemudian kembali berkumpul menemani Daryl. Tetapi hanya sebagai tipu muslihat. Ketika Daryl pergi belanja, mereka membuka-buka buku, mencari resep untuk mengenyahkannya. Meskipun ketiga janda itu berhasil, Daryl sudah sempat meninggalkan benih pada ketiga wanita. Tiga Daryl kecil yang lucu-lucu tertawa di depan layar monitor, mendengarkan wejangan bapaknya. Di layar nampak wajah Daryl. Ketiga janda itu buru-buru datang dan mematikan monitor dengan remote control. "Banyolan" ini diangkat dari novel John Updike, 57 tahun, yang ditulis 1984, dengan nama yang sama. Penulis Amerika ini terkenal karena karyanya: Rabbit, Run (1960), dan The Centaur (1963). Ia dipuji sebagai orang yang rajin, perfeksionis, dan teliti. Gayanya konon sulit dicarikan bandingannya dalam sastra modern Amerika. Penulis skenario, Michael Christofer, banyak membiarkan kata-kata langsung dari Updike ke atas layar. Akibatnya, dialog sering terasa literer, filosofis, dan pintar, sesuatu yang mungkin akan dikecam kalau terjadi pada film Indonesia. Untung, sebagian besar dialog itu jatuh ke tangan Jack Nicholson, yang dalam film ini benar-benar dapat peluang untuk mengumbar keedanannya. Nicholson seperti melanjutkan kegilaannya dalam film The Shinning. Dengan senyum kalem yang binal, ia berupaya mengangkat tokoh Daryl menjadi brutal, jantan, dan menjijikkan. Diimbangi lumayan oleh ketiga wanita, khususnya Cher dan Susan Sarandon. Tetapi kita sudah terlalu kenal pada Jack. Segala upayanya itu tidak terlalu mengesankan. Kecuali kita memang terhibur lihat polahnya. Film ini bukan sebuah film yang berhasil, meskipun cukup menyenangkan untuk ditonton. Banyak special effect berusaha untuk membuat kisah setan ini jadi tontonan masa kini yang komersial -- khas Hollywood. Pada adegan main tenis, satu ketika bola yang melenting ke atas kehilangan gaya berat, tak mau jatuh. Ketiga wanita melayang-layang di atas kolam renang. Angin bertiup kencang, menyeret Daryl sampai terpental masuk ke dalam gereja. Tak heran, karena sutradaranya George Miller, yang sudah menyutradarai film futuristik: Mad Max. Sutradara lain mungkin akan melihat peluang lain, tidak hanya membuat gambar-gambar trik. Film yang didukung nama-nama besar ini menjebak. Karena kita mengharapkan akan mendapatkan sesuatu yang spesial. Nyatanya hanya hiburan ugal-ugalan yang ringan. Mungkin karena aspek penting dalam komedi Updike, seperti sinisme wanita terhadap lelaki yang memuja kejantanan, tak jadi menonjol. Film ini justru lebih terasa sebagai petualangan cinta Daryl yang sukses, bukannya kehidupan jiwa ketiga wanita yang hidup tanpa didampingi lelaki. Ketika mereka bebas melepaskan imajinasinya, dalam film ini, kita kembali menatap makhluk itu lemah. Mengherankan juga mengapa Nicholson menerima peran yang tak memerlukan aktor sekaliber dia. Karena Updike? Dalam film ini bertebaran definisi Updike tentang lelaki, wanita tentang janda, dan sebagainya, yang terasa cerdas. Di samping itu, juga banyak dialog yang amat langsung dan blak-blakan "Kamu mau di atas atau di bawah," tanya Daryl sambil berbaring memandangi Alex yang hendak ditaklukkannya. Sebelumnya, ketiga wanita itu asyik membicarakan "ukuran" pria idamannya. Ada yang ingin perkasa sedang, atau biasa saja. Dialog itu bisa terdengar agak cabul, khususnya bagi mereka yang menganggap wanita tak layak membicarakan seks secara bebas. Tapi itulah agaknya salah satu yang merupakan bagian yang hendak dibicarakan oleh Updike. Kebebasan mengungkapkan rasa para wanita. Witches of Eastwick terasa ingin bercanda sejak awal, ketika kepala sekolah yang baru saja menggoda Jane langsung mengucapkan khotbah moral di depan anak-anak sekolah, kita sempat tersenyum. Apalagi kemudian ia terus berbicara sampai banyak orang tertidur. Di situ humor menjadi getir. Tetapi makin ke tengah, komedi ini perlahan-lahan berubah menjadi film horor. Ketidakpaduan itu agaknya yang membuat film ini tidak berhasil menggigit. Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini