PADA hari Senin 27 Maret 1989, ketika Menteri Ginandjar mengumumkan kenaikan tarif PLN sebesar 25%, maka Dr. Anwar Nasution, yang baru saja mengikuti Seminar Privatisasi di Singapura akhir Februari lalu, juga berbicara tentang PLN. Ekonom ini mempertanyakan -- dalam diskusi kecil nlengenai BUMN yang diadakan oleh Pusat Data Business Indonesia (PDBI) -- jika Singapura telah menurunkan tarif listrik beberapa kali, mengapa PLN justru selalu menaikkan tarif. Waktu itu tidak semua peserta diskusi menyadari bahwa PLN sedemikian intens dibicarakan pada saat yang sama, oleh dua tokoh di tempat yang berbeda. Yang seorang -- Menteri Pertambangan dan Energi -- mengumumkan kenaikan tarif PLN, yang seorang lagi mempertanyakan, mengapa tarif itu harus naik. Selaku pemrakarsa diskusi PDBI, saya pada garis besarnya menguraikan bahwa BUMN di Indonesia harus direstrukturisasi, ditinjau kembali eksistensinya, dan diarahkan agar memenuhi jiwa dan semangat pasal 33 UUD 1945. Artinya untuk BUMN yang harus memenuhi hajat hidup orang banyak, maka pemerintah hal-us mempertahankan eksistensinya, bila perlu dengan memberi suhsidi -- PJKA misalnya. Sebab, baik di Jerman maupun di Jepang, perusahaan kereta api milik pemerintah selalu rugi besar, dan mengalami defisit yang harus dibiayai dari APBN. Karena rugi pula, Jepang memecah Japan National Railways menjadi perusahaan regional dan di-go public-kan. Sebaliknya, BUMN yang lain harus diinventarisasi, apakah vital strategis dan memenuhi kriteria hajat hidup orang banyak, atau tidak. Biasanya yang secara universal disepakati memenuhi hajat hidup orang banyak ialah BUMN public utilities, seperti air minum, listrik, gas, telepon, angkutan kereta api, pos, dan bis kota. PLN jelas merupakan salah satu public utilities yang, walaupun rugi misalnya, harus dipertahankan, kalau perlu dengan subsidi oleh pemerintah . Kelompok public utilities ini, dalam jargon BUMN global, memang disebut sebagai sektor yang praktis akan mengalami atau perlu dikelola sebagai natural monopoly (monopoli alamiah). Artinya, jaringan air minum, listrik, gas dan telepon secara tekno-ekonomis akan paling efisien bila dikelola oleh satu unit untuk kawasan tertentu. Sebab, jika satu kawasan dipecah untuk dilayani oleh lebih dari satu perusahaan, maka akan terjadi pemborosan dan inefisiensi jaringan, di samping oerhead-capital yang mubazir, bagi pihak yang berkompetisi. Itulah sebabnya, bila public utilities dikelola oleh swasta, haruslah padanya diberlakukan pola monopoli, karena hanya dengan demikian bisa efisien. Masalahnya kemudian, secara tekno-ekonomis juga telah diberikan jalan keluar oleh para pakar, agar bisa dihindari kecenderungan sewenang-wenang dari monopoli. Di negara liberal Barat pun bilamana ada konsesi untuk swasta penyelenggara jaringan public utilities, maka berlaku ketentuan bahwa swasta itu harus mematuhi pembatasan tarif oleh Pemerintah. Dikenal rumusan Rate of Return (ROR) dan Return Price Index Minus X, yaitu suatu kalkulasi biaya produksi yang telah memperhitungkan faktor-faktor biaya sesuai dengan ilmu akuntansi yang sehat, termasuk di dalamnya alokasi reinvestasi, depresiasi, dan profit yang wajar bagi pemegang lisensi public utilities. ROR atau RPI-X ini mutlak harus diumumkan kepada masyarakat, secara terbuka. Sebab, bila ini tidak dibuat transparan, maka pemegang lisensi -- BUMN ataupun swasta -- pasti akan tergoda untuk memasang tarif seenaknya, dengan membebankan segalanya pada konsumen, termasuk keinginan mengeruk margin laba semaksimal mungkin. PLN telah mengumumkan bahwa tarif perlu dinaikkan prorata 25%. Menteri juga memberikan suatu bandingan empiris, tarif kita masih termurah di ASEAN, tanpa mengungkapkan bahwa pendapatan per kapita kita juga paling rendah di ASEAN. Sementara itu, kalangan perhotelan membantah perhitungan pemerintah dengan menyatakan bahwa porsi biaya energi Indonesia sebelum tarif naik justru sudah mencapai 11-19% dari total cost, sementara di Malaysia 9,3%, Muangthai 9%, dan Singapura 7,5 % . Pengkajian PDBI yang saya sajikan dalam diskusi di Mercantile Club telah menggarisbawahi perlunya kita melakukan studi empiris, sebab praktek monopoli public utilities seperti PLN tentu tidak bisa diukur dan dinilai efisiensinya, bila tidak diperbandingkan dengan usaha sejenis. PDBI telah memantau 2 perusahaan listrik Dunia Ketiga, dan PLN merupakan nomor dua terbesar dalam aset, sesudah Saudi Consolidated Electric Coy (masing-masing US$ 4.553 juta dan US$ 4.820 juta). Tapi dalam nilai sales, ternyata PLN hanya menduduki jenjang kelima, di bawah Electropaolo, CESP, dan Furnas -- yaitu tiga BUMN listrik Brasil -- serta China Light & Power dari Hong Kong. Kecuali Furnas yang sales-nya US$ 885 juta (sedikit di atas PLN yang salesnya US$ 837 juta), ketiga BUMN listrik Brasil dan Hong Kong itu melampaui omset US$ 1 milyar. Ditinjau dari besarnya profit yang dilaporkan, PLN berada di tempat ke-13, persis di bawah Arab Saudi -- sdang CESP berempat tersebut di atas kembali menduduki peringkat empat besar peraih laba. Kalau dipakai ukuran ROI atau efisiensi, yaitu rasio antara laba dibagi aset, maka PLN termasuk keempat paling bawah. ROI PLN 1,3%, cuma lebih baik dari Electronorte (Brasil 1,09%), Electrolima (Peru-2,4%, yang merugi US$ 12 juta dari sales US$ 203 dan aset US$ 500 juta), serta juru kunci Enci dari Pantai Gading, yang merugi hebat US$ 31 juta dari sales US$ 286 juta. Sebagai hiburan segar bagi kita, saya ingin mengutip dua profesor: IPL Png dari UCLA dan Lee Soo Ann dari National University of Singapore (NUS), yang mengusulkan dalam The Straits Times 1 Januari 1989, agar Public Utilities Board (yaitu BUMN Singapura yang mengelola air, listrik, dan gas sekaligus) mempertimbangkan impor tenaga listrik dari Malaysia dan Indonesia. Menurut kedua profesor ini, sumber energi listrik di dua negara tetangga itu berlimpah. Pasti akan lebih murah buat Singapura yang tidak punya sumber energi itu -- untuk mengimpor dari Kuala Lumpur atau Jakarta, ketimbang mengusahakan sumber energi sendiri di pulau tersebut. Prof. Png dan Lee menganggap, posisi Singapura mirip AS, yang memanfaatkan suplai energi Kanada. Saya percaca, jika PLN mengundang Png dan Lee, barangkali keduanya bisa memperoleh resep efisiensi. Atau sebaliknya, barangkali juga mereka akan tersipu-sipu, karena ternyata analisa tekno-ekonomisnya yang dikeluarkan Januari 1989 harus direvisi per 27 Maret 1989 (kurang dari tiga bulan saja). Tapi, ya apa masih ada manfaatnya mendiskusikan tarif PLN, yang diperkirakan murah tapi ternyata tidak murah itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini