Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Bagaimana mengendalikan beras

Pengarang: leon a. mears penerjemah: surono natakusuma, sakrani, yogana p. yogyakarta: gajah mada university, 1982 resensi oleh: winarno zain. (bk)

23 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ERA BARU EKONOMI PERBERASAN INDONESIA (judul asli: The New Rice Economy of Indonesia) Oleh: Leon A. Mears Penerjemah: Surono Natakusuma, Sakrani, Yogana Prasta, Anas Rachman Penerbit: Gajah Mada University Press, 1982, Yogyakarta, 647 halaman TIGA kali Repelita menyaksikan mengalirnya sebagian besar uang pemerintah ke sektor pertanian. Indonsia sudah bicara tentang industrialisasi, dan statusnya di Bank Dunia bukan lagi sebagai negara berpenghasilan rendah. Tapi fakta yang harus dihadapi makanan untuk 147 juta mulut harus diamankan. Beras masih tetap merupakan fenomena yang unik. Profesor Leon A. Mears telah mempelajari ekonomi beras lebih dari seperempat abad. Dan sebagian besar waktunya dicurahkan untuk soal beras di Indonesia. Pertama datang di Indonesia sebagai staf pengajar Universitas Berkeley yang diperbantukan pada Fakultas Ekonomi UI pada 1956. Bukunya, Rice Marketing in the Republic of Indonesia, merupakan karya klasik. Beberapa tahun kemudian Mears kembali lagi ke sini, bersama "team Harvard" yang membantu Bappenas. Dan sesudah dia pensiun dari Universitas Wisconsin tahun 1978, Bulog ikut memanfaatkan keahliannya. Mears dengan demikian orang yang paling punya otoritas untuk bicara soal ekonomi beras Indonesia. Bukunya Era Baru Ekonomi Perberasan Indonesia, dengan sendirinya merupakan kulminasi dari pendalaman Mears selama ini tentang ekonomi beras Indonesia. Dalam Bab I Mears merekam dengan baik perubahan drastis yang terjadi di sektor pertanian, sejak 1965. Perbaikan jaringan irigasi, yang memungkinkan panen lebih satu kali. Tersingkirnya ijon oleh Bimas. Meluasnya varitas dan jenis pupuk yang dipakai. Mesin giling yang mengganti tumbukan dengan tangan. Penggiling-penggiling kecil dan menengah yang menggeser penggiling besar. Dan munculnya KUD. Perubahan yang membuka era baru, tapi yang sekaligus menelurkan serangkaian problem sosial-ekonomis. Dan ini semua dibahas secara terperinci dalam bab-bab berikutnya. Siapa pun yang membahas beras di Indonesia, akan sulit menghindari pembahasan hubungan pangan dan energi. Mears melihat hubungan ini melalui tiga hal. (1) Peranan gas alam yang bisa diekspor dan bisa merupakan input untuk pupuk nitrogen, yang harganya menentukan ongkos produksi pangan. (2) Harga minyak di pasaran internasional dan harga beras impor. Dan (3) bahan bakar ethanol yang bisa dibikin dari palawija, seperti jagung dan ubi. Belum banyak nampaknya yang bisa disajikan Mears di sini, dan lewat bab ini Mears berperan sebagai pembuka jalan -- sementara Indonesia tak bisa mengabaikan masalah yang akan menonjol selama dekade ini. Sejauh mana jumlah beras yang diimpor Bulog didasarkan atas jumlah stok yang benar? Petani-tidak menjual semua gabahnya. Tapi menyimpannya sebagian untuk persediaan antara dua musim panen. Mears tak tahu pasti, tapi perkiraannya adalah tiap rumah tangga petani sedikitnya punya 100 kg persediaan gabah. Dan di sini ada 10 juta rumah tangga petani. Stok ini tak pernah tercatat resmi dan karena itu pengetahuan yang lebih baik lewat survei haNs dilakukan. Ini untuk mempermudah perencanaan impor beras oleh Bulog. Mears tak lupa mencatat, bahwa Filipina sudah berhasil mengetahui jumlah stok yang tak tercatat ini. Lain aspek tentan penyimpanan dan penggilingan beras dibahas tersendiri di Bab V, yang merupakan bab paling menarik. Dalam Bab VIII, tentang 'Margin dan Biaya Tataniaga', Mears mencoba menjawab pertanyaan: sejauh mana pembagian hasil yang dipetik pedagang perantara dan petani, dari harga beras itu, wajar dan tidak wajar. Pada Bab IX, tentang 'Pembiayaan dan Kredit', dibahas timbulnya kebutuhan pembiayaan dan bagaimana kebutuhan kredit dipenuhi. Dalam sistem ekonomi beras beberapa pihak terlibat dan masing-masing perlu kredit: petani, penggiling, pedagang, pengangkut. Mears menilai beberapa kelemahan dalam sistem kredit, dan memberi beberapa saran perbaikan. Dalam Bab VII, tentang harga beras, ia menunjukkan betapa rumitnya bai pemerintah mengatur hal yang paling sensitif untuk ekonomi Indonesia ini. Sejak zaman Belanda sampai sekarang harga beras diperlakukan dengan hatihati, dan berbagai pertimbangan mesti dilewati: fluktuasi harga di antara masa panen, beda harga dasar dan harga maksimum, tingkat harga yang di satu pihak larus menahan Indeks Biaya Hidup rapi di lain pihak cukup merangsang petani untuk-terus berproduksi, dan juga kenyataan bahwa ekonomi Indonesia sudah lebih terbuka, dan harga beras dalam negeri lebih sensitif terhadap harga beras di luar. Lebih rumit lagi karena sekaran terjadi eskalasi dalam varitas beras untuk memenuhi selera konsumen di situ harga satu varitas tak terisolir dari varitas lain. Begitu sentralnya peranan harga beras ini, hingga beberapa kali muncul dalam beberapa bab yang berlainan. Bahkan dalam bab terakhir yang membahas masalah beras selama pemerintahan Soeharto, masalah harga nampak dominan sekali. Dalam keseluruhan bukunya, terasa sekali kejelian Profesor Mears sebagai profesional perberasan--dan dalamnya analisa seorang akademikus. Sayang sekali terjemahannya, oleh empat ekonom Pertanian Bulog, sering kurang sreg dan kurang kena. Harus diakui itu merupakan masalah umum dalam penerjemahan: bahasa Indonesia sering belum bisa menemukan ekspresi yang tepat untuk penerjemahan ilmiah. Tapi mengingat keempat penerjemah tersebut ikut mendampingi Mears selama penelitian untuk bukunya itu, masalah terjemahan itu seharusnya bisa lebih diperkecil. Dan agaknya justru terjemahan inilah yang nantinya perlu diperbaiki--kalau buku Mears yang monumental ini diharap bisa berkomunikasi secara lebih berarti dengan pembaca. Winarno Zain

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus