ERA BARU EKONOMI PERBERASAN INDONESIA
(judul asli: The New Rice Economy of Indonesia)
Oleh: Leon A. Mears
Penerjemah: Surono Natakusuma, Sakrani, Yogana Prasta, Anas
Rachman
Penerbit: Gajah Mada University Press, 1982, Yogyakarta, 647
halaman
TIGA kali Repelita menyaksikan mengalirnya sebagian besar uang
pemerintah ke sektor pertanian. Indonsia sudah bicara tentang
industrialisasi, dan statusnya di Bank Dunia bukan lagi sebagai
negara berpenghasilan rendah. Tapi fakta yang harus dihadapi
makanan untuk 147 juta mulut harus diamankan. Beras masih tetap
merupakan fenomena yang unik.
Profesor Leon A. Mears telah mempelajari ekonomi beras lebih
dari seperempat abad. Dan sebagian besar waktunya dicurahkan
untuk soal beras di Indonesia. Pertama datang di Indonesia
sebagai staf pengajar Universitas Berkeley yang diperbantukan
pada Fakultas Ekonomi UI pada 1956. Bukunya, Rice Marketing in
the Republic of Indonesia, merupakan karya klasik. Beberapa
tahun kemudian Mears kembali lagi ke sini, bersama "team
Harvard" yang membantu Bappenas.
Dan sesudah dia pensiun dari Universitas Wisconsin tahun 1978,
Bulog ikut memanfaatkan keahliannya. Mears dengan demikian orang
yang paling punya otoritas untuk bicara soal ekonomi beras
Indonesia. Bukunya Era Baru Ekonomi Perberasan Indonesia,
dengan sendirinya merupakan kulminasi dari pendalaman Mears
selama ini tentang ekonomi beras Indonesia.
Dalam Bab I Mears merekam dengan baik perubahan drastis yang
terjadi di sektor pertanian, sejak 1965. Perbaikan jaringan
irigasi, yang memungkinkan panen lebih satu kali. Tersingkirnya
ijon oleh Bimas. Meluasnya varitas dan jenis pupuk yang dipakai.
Mesin giling yang mengganti tumbukan dengan tangan.
Penggiling-penggiling kecil dan menengah yang menggeser
penggiling besar. Dan munculnya KUD. Perubahan yang membuka era
baru, tapi yang sekaligus menelurkan serangkaian problem
sosial-ekonomis. Dan ini semua dibahas secara terperinci dalam
bab-bab berikutnya.
Siapa pun yang membahas beras di Indonesia, akan sulit
menghindari pembahasan hubungan pangan dan energi. Mears melihat
hubungan ini melalui tiga hal. (1) Peranan gas alam yang bisa
diekspor dan bisa merupakan input untuk pupuk nitrogen, yang
harganya menentukan ongkos produksi pangan. (2) Harga minyak di
pasaran internasional dan harga beras impor. Dan (3) bahan bakar
ethanol yang bisa dibikin dari palawija, seperti jagung dan ubi.
Belum banyak nampaknya yang bisa disajikan Mears di sini, dan
lewat bab ini Mears berperan sebagai pembuka jalan -- sementara
Indonesia tak bisa mengabaikan masalah yang akan menonjol selama
dekade ini.
Sejauh mana jumlah beras yang diimpor Bulog didasarkan atas
jumlah stok yang benar? Petani-tidak menjual semua gabahnya.
Tapi menyimpannya sebagian untuk persediaan antara dua musim
panen. Mears tak tahu pasti, tapi perkiraannya adalah tiap rumah
tangga petani sedikitnya punya 100 kg persediaan gabah. Dan di
sini ada 10 juta rumah tangga petani. Stok ini tak pernah
tercatat resmi dan karena itu pengetahuan yang lebih baik lewat
survei haNs dilakukan. Ini untuk mempermudah perencanaan impor
beras oleh Bulog. Mears tak lupa mencatat, bahwa Filipina sudah
berhasil mengetahui jumlah stok yang tak tercatat ini. Lain
aspek tentan penyimpanan dan penggilingan beras dibahas
tersendiri di Bab V, yang merupakan bab paling menarik.
Dalam Bab VIII, tentang 'Margin dan Biaya Tataniaga', Mears
mencoba menjawab pertanyaan: sejauh mana pembagian hasil yang
dipetik pedagang perantara dan petani, dari harga beras itu,
wajar dan tidak wajar. Pada Bab IX, tentang 'Pembiayaan dan
Kredit', dibahas timbulnya kebutuhan pembiayaan dan bagaimana
kebutuhan kredit dipenuhi. Dalam sistem ekonomi beras beberapa
pihak terlibat dan masing-masing perlu kredit: petani,
penggiling, pedagang, pengangkut. Mears menilai beberapa
kelemahan dalam sistem kredit, dan memberi beberapa saran
perbaikan.
Dalam Bab VII, tentang harga beras, ia menunjukkan betapa
rumitnya bai pemerintah mengatur hal yang paling sensitif untuk
ekonomi Indonesia ini. Sejak zaman Belanda sampai sekarang harga
beras diperlakukan dengan hatihati, dan berbagai pertimbangan
mesti dilewati: fluktuasi harga di antara masa panen, beda harga
dasar dan harga maksimum, tingkat harga yang di satu pihak
larus menahan Indeks Biaya Hidup rapi di lain pihak cukup
merangsang petani untuk-terus berproduksi, dan juga kenyataan
bahwa ekonomi Indonesia sudah lebih terbuka, dan harga beras
dalam negeri lebih sensitif terhadap harga beras di luar.
Lebih rumit lagi karena sekaran terjadi eskalasi dalam varitas
beras untuk memenuhi selera konsumen di situ harga satu varitas
tak terisolir dari varitas lain. Begitu sentralnya peranan harga
beras ini, hingga beberapa kali muncul dalam beberapa bab yang
berlainan. Bahkan dalam bab terakhir yang membahas masalah beras
selama pemerintahan Soeharto, masalah harga nampak dominan
sekali.
Dalam keseluruhan bukunya, terasa sekali kejelian Profesor Mears
sebagai profesional perberasan--dan dalamnya analisa seorang
akademikus. Sayang sekali terjemahannya, oleh empat ekonom
Pertanian Bulog, sering kurang sreg dan kurang kena.
Harus diakui itu merupakan masalah umum dalam penerjemahan:
bahasa Indonesia sering belum bisa menemukan ekspresi yang tepat
untuk penerjemahan ilmiah. Tapi mengingat keempat penerjemah
tersebut ikut mendampingi Mears selama penelitian untuk bukunya
itu, masalah terjemahan itu seharusnya bisa lebih diperkecil.
Dan agaknya justru terjemahan inilah yang nantinya perlu
diperbaiki--kalau buku Mears yang monumental ini diharap bisa
berkomunikasi secara lebih berarti dengan pembaca.
Winarno Zain
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini