Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Bahaya oligarki di timur dan barat

Pengarang: robert michels jakarta: rajawali, 1984 resensi oleh: burhan magenda. (bk)

23 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARTAI POLITIK: KECENDERUNGAN OLIGARKIS DALAM BIROKRASI Oleh: Robert Michels Penerbit: CV Rajawali, Jakarta, 1984, 454 halaman KETIKA Marx dan Engels berbicara tentang kehidupan komunal dalam Manifesto Komunis, maka yang ada dalam pikiran mereka adalah masyarakat tanpa elite atau pemimpin. Setiap anggota masyarakat bisa berganti fungsi, sehingga tidak ada dominasi oleh yang satu terhadap lainnya. Konsep ini kemudian ditolak Sosiolog Max Weber dengan pikiran-pikiran tentang peranan birokrasi, organisasi, hierarki, dan status dalam pengelompokan masyarakat. Sejarah kemudian juga membuktikan bahwa seorang komunis tulen, seperti Lenin, membantah sendiri pikiran Marx. Dalam menciptakan negara komunis pertama di dunia, Lenin tidak saja menguburkan mitos egalitarian dari Marx, dengan mengemukakan tesis tentang mutlaknya partai pelopor, tapi juga meremehkan internasionalisme Marx dan mengutamakan nasionalisme Rusia. Hal itu bahkan dikembangkan lebih ketat oleh Joseph Stalin dengan konsep "sosialisme dalam satu negara". Sehingga Komintern bersifat subordinasi terhadap kepentingan nasional Rusia - soal yang kemudian menjadi bibit utama perselisihan Stalin dengan Trotsky. Perkembangan di Rusia itu sebenarnya sudah lebih dulu diuraikan Robert Michels ilmuwan sosial keturunan Italia-Jerman, dalam bukunya, yang diterbitkan pertama kali pada 1911. Setelah terbit terjemahan dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris, sekarang pembaca di Indonesia dapat menikmati bacaan politik klasik itu - yang diterbitkan dengan judul Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis dalam Birokrasi. Dengan adanya tambahan pengantar dari Drs. Arbi Sanit (untuk edisi Inggris dilakukan oleh Prof. Seymour Martin Lipset), maka jalan pikiran Michels makin menjadi jelas untuk pembaca. Sebab, tulisan aslinya, dalam bahasa Jerman, sering terlalu panjang bagi pembaca Indonesia. Kendati demikian pokok-pokok pandangan Michels selalu jelas, yang disimpulkannya pada postulat tentang "hukum besi oligarki dari suatu organisasl". Kesimpulan itu bukanlah sesuatu yang enak buat Michels. Ia bahkan sangat risi dengan penemuannya, yang merisaukan hati nuraninya tersebut. Sebab, pada dasarnya, Michels merupakan seorang Marxis nonkomunis yang percaya pada sosialisme dan berusaha memperjuangkannya dengan memasuki Partai Sosial Demokrasi di Jerman dan Italia, serta aktif dalam gerakan serikat buruh. Tapi kekecewaan Michels terhadap gejala oligarki dalam gerakan sosialis membuatnya seperti putus asa, dan mendamparkannya - pada saat-saat terakhir hidupnya - sebagai seorang apologis terhadap faslsme Mussolini di Italia pada 1930-an. Ia bahkan mengecam Lenin yang bersifat diktator terhadap teman-temannya di Politbiro, serta reduksionisme sikap internasional Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) menjadi sikap nasionalisme - hal yang sama juga dilihat Michels terjadi pada partai-partai sosialis di Eropa Barat. Michels melihat tiga penyebab terjadinya kecenderungan oligarki dalam suatu organisasi. Pertama, pemimpin organisasi, karena penguasaan masalah teknis administratif, menguasai lebih banyak informasi dan metode daripada anggota biasa. Kedua, pemimpm, blasanya, adalah orang-orang yang unggul dan karismatis. Lipset melihat bahwa di Amerika, misalnya, pimpinan buruh yang berasal dari golongan buruh, seperti Jimmy Hoffa dari Teamsters Union, bisa bertahan lama karcna karismanya. Padahal, ia dinila korup. Hoffa akhirnya hilang tak berbekas karena sengketanya dengan Mafia mengenai pemakaian dana pensiun Teamster Union. Dengan contoh Hoffa ini, Lipset ingin menunjukkan bahwa kaum buruh tidak hanya bisa dimanipulasikan oleh pemimpin yang berasal dari "golongan borjuis" - seperti dikemukakan Michels - tapi juga oleh mereka yang berasal dari kelompok sosial yang sama. Ketiga, superioritas intelektual para pemimpin menyebabkan mereka menjadi pemimpin. Karena itu, Michels menjadi ragu terhadap efektivitas demokrasi melalui pemilihan bebas oleh anggota. Sering kali demokrasi hanya menciptakan tirani baru karena tidak jarang pemimpin merobek-robek prinsip demokrasi setelah mereka berkuasa. "Organisasi yang bersifat oligarkis" ini dilihat Michels, baik pada organisasi buruh, kelompok-kelompok kepentingan, partai politik, maupun negara. Gejala oligarki ini menyebabkan masuknya kepentingan pribadi dan golongan dalam orgamsasi, sehingga partai sosialis, yang paling progresif sekalipun, sering kali menjadi konservatif. Idealisme dan konsistensi ideologi tidak penting lagi, tapi sudah digantikan oleh demagogi pimpinan partai yang dilihat Michels sebagai "pelacur kemauan masyarakat". Dan pemimpin tidak lagi menginginkan pembaruan sosial sesuai dengan ideologi partai, tapi yang dipentingkan adalah kerja sama antarpimpinan demi kelestarian kekuasaannya. Hal ini menimbulkan despotisme dan kediktatoran di bawah pemimpin yang karismatis, yang selalu menonjolkan jasa mereka terhadap tujuan bersama. Pemimpin oligarki melihat kritik terhadap dirinya sebagai kritik terhadap negara. Akibatnya, tercipta pemerintah yang otoriter dan diktator, serta kecenderungan universal akan dominasi satu partai dalam pemerintahan. Jalan ke luar untuk mencegah oligarki ini menurut Michels, adalah dengan diferensiasi pengelompokan buruh, adanya gerakan-gerakan sindikalisme, adanya referendum mengenai pemimpin seperti di Swiss - yang juga terbukti dapat menjatuhkan pemimpin karismatis seperti Charles de Gaulle di Prancis. Unsur lain, dipeliharanya idealisme oleh pemimpin, terutama melalui keteladanan dan gaya hidup seperti yang dilakukan pemimpin-pemimpin Ordo Yesuit Katolik di Paraguay. Sambil membenarkan kecenderungan oligarki ala Michels, maka sifat manusiawi ini pun bisa dibatasi oleh manusia. Salah satu caranya adalah memperkuat lembaga-lembaga pengimbang birokrasi, seperti pers, peradilan, dan universitas. Burhan Magenda * Pengajar mata kuliah Pemikiran Politik Dunia Ketiga pada FISIP UI, Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus