PNI DAN KEPOLITIKANNYA Oleh: Nazaruddin Sjamsuddin Penerbit: CV Rajawali, Jakarta, 1984, 221 halaman ANEH, bila buku ini menegaskan bahwa PNI 1946 merupakan "kebangkitan kembali" PNI 1927 (halaman 3). Setelah PNI membubarkan diri (1931) karena Sukarno ditahan pemerintah Hindia Belanda, Sartono dan kawan-hawan mendiri kan Partindo dan Hatta membentuk PNI (pendidikan), yang juga disebut PNl-Baru. Belakangan Sukarno masuk Partindo karena partai imi dinilainya cukup radikal. Kalaupun disebut PNI mengalami kebangkitan kembali, tentulah tidak hanya dilihat dari segi fisik dan namanya belaka, melainkan watak radikalnya. Karena itu, kebangkitan PNI yang pertama adalah pada saat Partindo lahir. Beberapa hari setelah Proklamasi 1945 memang ada niat mendirikan PNI sebagai partai pelopor, tapi urung. Belakangan (1946), PNI muncul lagi setelah diumumkan Maklumat No. X, tanggal 3 Novcmber 1945. Tapi jelas partai baru ini bukan merupakan kebangkitan kembali PNI 1927. Sebab, meskipun PNI kemudian berhasil sebagai partai massa dan unggul dalam pemilu pertama (1955), Sukarno kecewa. Ia menilai, PNI tidak lagi radikal seperti dulu. Kekecewaan itu ditegaskannya dalam kongres PNI ke-10 di Purwokerto (1963). Ia menghendaki penyegaran dan masuknya orang-orang muda. Tapi hal itu juga berarti menyusupnya kader PKI seperti Ir. Surachman dan kawan-kawan (halaman 15). Dan sejak itu Sukarno menilai bahwa PNI mulai radikal. Dan radikal, dalam pengertian Sukarno, adalah kiri. Hal lain yang kurang disorot secara tajam dalam buku ini ialah sebab musabab PNI sampai jatuh ke dalam perangkap strategi PKI. Sebenarnya, bukan hanya karena Sukarno berkali-kali menegaskan bahwa Marhaenismc - ideologi PNI itu - adalah "Marxisme Yang diterapkan dalam kondisi dan situasi di Indonesia", melainkan lantaran strategi PKI yang dilancarkan secara sistematls. Partai komunis. di mana saja, selalu merangkul semua kekuatan sosial politik. Tujuannya: untuk memperkuat posisi sendiri, sekaligus menjadikan kekuatan sospol yang lain sebagai satelitnya minimal membancikannya. Ada Front Demokrasi Rakyat (1947) yang mengantarkan pemberontakan PKI di Madiun (1948) ada Front Nasional yang membuka kesempatan bagi G-30-S/ PKI (1965). Tentu ada tokoh-tokoh PNI yang mencium strategi PKI imi, misalnya Hardi dan kawan-kawan. Tapi mereka ternyata tak berdaya, dan akhirnya ditendang dengan tuduhan "Marhaenis gadungan". Perpecahan di kalangan PNI ini jelas gara-gara infiltrasi PKI. Tapi buku ini melihat salah satu sebabnya adalah perbedaan atau pertentangan kelas (halaman 42). Perubahan sikap orang-orang PNI terhadap penguasa, sejak zaman penjajahan, di zaman Orde Lama, dan di zaman Orde Baru, mestinya menarik ditilik. Begitu seharusnya melihat keberadaan PNI dan "kepolitikannya". Terutama karena buku ini membicarakan PNI 1963-1969 - antara kejayaan Orde Lama dan awal kebangkitan Orde Baru ketika peranan PKI memuncak, kemudian hancur. Dan PNI terseret dalam gejolak itu. Budiman S. Hartoyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini