Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Rehal-isma sawitri

Pengarang: s. husin ali kuala lumpur: persatuan sains sosial malaysia, 1984. (bk)

23 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAUM, KELAS DAN PEMBANGUNAN Oleh: S. Husin Ali (et-al) Penerbit: Persatuan Sains Sosial Malaysia Kuala Lumpur, 1984, 382 halaman DENGAN menepiskan sentimen kaum (etnis), sejumlah cendekiawan Malaysia, Iewat buku ini, berusaha mengupas perkara kemajemukan masyarakat mereka dan berbagai masalah yang ditimbulkannya. Merupakan sebuah bunga rampai. 19 artikel imilah yang ditampilkan menawarkan anekasegi perbedaan kaum, yang mewarnai struktur masyarakat dan di sana sini menyulut konflik dan kerusuhan. Bahkan menurut penuiis Ishak Sari dan Jomo K.S., masa depan bangsa dipertaruhkan pada kemajemukan itu. Meskipun tidak terlalu gado-gado seperti masyarakat multirasial di AS, jurang sosio-budaya yang memisahkan kaum Melayu, Cina, dan India ternyata tidaklah mudah dijembatani. S. Husin Ali, penyunting buku ini, melihat bahwa warga Cina dan Melayu yang berasal dari satu rumpun bangsa (Mongoloid) dari dulu sulit berbaur karena perbedaan sosio-budaya yang pada tingkat lanjut dipertajam oleh kesenjangan ekonomi. Kebetulan orang-orang Melayu mewakili kaum ekonomi Iemah, sedangkan Cina dan India berada pada tingkat hidup yang lebih tinggi. Dengan komposisi yang hampir seimbang dari 8,8 juta penduduk, Melayu 53,2%, Cina 35,4%, lndia 10,6% - perbedaan etnis, menurut Husin Ali, bisa saja merupakan pangkal kerawanan. Tapi dalam pandangannya justru kesenjangan ekonomilah yang lebih menecmaskan. Wan Hashim dalam pengkajiannya tentang watak bangsa menyorot adanya prasangka dari satu kaum terhadap kaum yang lain. Ini timbul aklbat persepsi yang salah. Khusus di kalangan nnasyarakat bawah penonjolan ciri- ciri negatif tiap bangsa dengan mudahnya menimbulkan prasangka. Orang Melayu, misalnva, identik dengan sikap suka menyerah pada nasib, takut pada perubahan, dan kurang berusaha. Padahal, mereka sebenarnya punya kemampuan untuk cepat belajar, pandai menyesuaikan diri, dan bisa menekuni satu bidang tertentu. Orang Cina, umumnya, dianggap penipu dan pengotor tanpa menghiraukan kenyataan bahwa mereka juga rajin dan ulet. Agar prasangka bisa menipis, Wan Hashim menganjurkan supaya interaksi antarkaum ditingkatkan, hingga pemahaman antara mereka menjadi lehih baik. Tapi yang sangat disesalkannya ialah dalam keadaan krisls, sikap permusuhan Melayu selalu saja ditujukan pada Cina dan India. Ini membuktikan bahwa prasangka itu masih sangat tebal, dan pendidikan dipandangnya bisa dijadikan sarana bagi satu kaum untuk memahami kaum lainnya. Dari pemahaman yang lebih baik seperti itulah, Wan Hashim mengharapkan rnasyarakat majemuk di Malaysia kelak akan berubah menjadi masyarakat beragam (heterogen) yang terpadu (integrated). Loh Kok Wah melihat jurang sosiobudaya dari sisi lain. Kata Wah, dalam tempo 25 tahun perkembangan politik di Malavsia justru semakin berciri etnis. Kalau bisa ditafsirkan secara bebas, perpolitikan di negeri itu lebih terkotak-kotak menurut garis-garis kaum. Menurut Wah, sebab utamanya ialah NEP - Neq Economir Poliy. Kebijaksanaan ini memungkinkan terbentuknya perusahaan negara yang pada gilirannya membentuk kelas kapitalis birokrat Melayu dan ini ditunjang oleh pemunculan berbagai orpol/ormas yang mengikatkan diri pada satu kaum saja, hingga tertutup untuk kaum lainnya. Mengemukakan kasus Universitas Merdeka yang pembentukannya gagal, karena dianggap bertentangan dengan kebijaksanaan pendidikan nasional, maka, menurut Wah, wajar sekali bila orang-orang Cina kian menutup diri. Secara lebih berani ditekankannya bagaimana pihak pemerintah mengatasnamakan kepentingan kaum sebagai kepentingan seluruh bangsa. Tentu saja dia tidak secara eksplisit menyebut kepentingan warga Melayu. Bagi pembaca di Indonesia buku ini bisa sangat bermanfaat, setidaknya untuk becermin diri. Di negeri kita juga ada perbedaan sosio-budaya yang timbul oleh keragaman suku bangsa, sedangkan masalah kesenjangan ekonomi antara pri dan nonpri kian runcing saja. Tapi buku ini menyajikan banyak artikel lain yang tidak kurang pentingnya, seperti Islam, Etnisiti dan Integrasi Nasional, Persenyambungan Struktur Sosio-Budaya sebagai Rangka Perpaduan Etnik, Akulturasi, Asimilasi dan Integrasi: Kasus Orang Cina. Isma Sawitri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus