PUSAT Kebudayaan Prancis, bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta, menyelenggarakan lagi pentas balet di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat dan Sabtu pekan lalu. Kali ini yang didatangkan adalah grup Ballet du Nord. Penampilannya pada malam pertama di Graha Bhakti Budaya dipadati penonton dan peminat balet. Tak mengherankan karena pergelaran ini berbeda dengan grup grup sebelumnya. Ini adalah sajian pentas unik dan menarik. Sebagai suatu grup, Ballet du Nord dikenal juga dengan nama Pusat Koreografi Nasional dan didirikan 1983 di Kota Roubaix wilayah utara Prancis, tepatnya Nord-Pas de Calais. Pendirinya adalah Alfonso Cata, seorang kelahiran Kuba yang telah memperoleh keProfesionalannya melalui Konservatorium Jenewa. Ia pernah magang dengan berbagai grup kenamaan seperti Ballet de Paris dari Roland Petit Ballet de Monte Carlo, Robert Joffrey Ballet dari Amerika Serikat, Ballet du Marquis de Cuevas. Stuttart Ballet, dan New York City Ballet. Dari kesemuanya itu, Alfonso Cata paling berkesan dengan George Balanchine dari The New York City Ballet. Karena itulah, dalam lawatannya ke Indonesia, Ballet du Nord menampilkan tiga koreografi George Balanchine, dan hanya satu dari orang Prancis sendiri. Sayang sekali, koreografi Alfonso Cata sendiri tidak ditampilkan. Nama George Balanchine tidak dapat dilepaskan dari The New York City Ballet. Namun, ia adalah kelahiran Leningrad pada l904, dan di dunia balet ia terkenal sebagai tokoh non-klasik. Sebagai koreografer, George Balanchine dianggap Russian-Parisien, dan gayanya cenderung ke-Eropa-an, meskipun ia dikenal memelopori warna ke-Amerikaan dalam balet Amerika. Itu sebabnya, tidak aneh kalau Ballet du Nord dari Prancis tidak ragu-ragu menampilkan karga George Balanchine dalam misi kebudayaannya. George Balanchine sebetulnya beruntung lahir pada masa yang begitu menggelora dalam sejarah tari balet khususnya, dan sejarah tari pada umumnya. Kota kelahirannya memiliki sejarah yang panjang dan kuat dalam tari balet klasik, dan pada abad ke-20 itu berbagai kebangkitan dan pembaruan tari bermunculan. Dengan bakat yang begitu menonjol dan dalam usia yang masih muda, ia dapat bergabung dengan grup balet Rusia kenamaan di bawah pimpinan Sergei Diaghilev, yang membawa angin segar ke Eropa Barat dan Amerika. Balanchine merupakan koreografer termuda yang dididik Diaghilev, dan yang terakhir sebelum Diaghilev wafat pada 1929. Sepeninggal Diaghilev, Balanchine mengembara di Eropa, terutama di Prancis sendiri, sebelum ditarik untuk menetap di Amerika Serikat pada 1933. Ia kemudian mendirikan The New York City Ballet. Balanchine, yang membawa harum The New York City Ballet, meninggal dunia beberapa tahun lalu dan memberi peluang yang menakjubkan bagi generasi muda, tidak saja di New York dan Amerika, tapi juga bagi seorang Alfonso Cata dengan Ballet du Nord-nya. Dalam catatan, koreografi Balanchine yang begitu kuat, kaya, dan panoramik, berjumlah seratus lebih. Tiga di antaranya itulah yang disajikan di TIM oleh Ballet du Nord, yaitu Scotch Symphony, Tarentelle, dan Who Cares. Adapun satu nomor lain hasil koreografi J.P. Comelin, Les Nuits d'Ete, yang serasi dengan gaya Balanchine. Scotch Smphony merupakan suatu koreografi yang ditata berdasarkan musik Felix Mendelssohn, Symphony No. 3 in A Minor Opus 56, dan memiliki kekuatan bersumber dari tari rakyat Skotlandia yang dilandasi gaya klasik Prancis. Tarian ini digarap dalam napas yang begitu menyatu dengan musiknya, dan menampilkan dengan jelas keunggulan Balanchine yang didengungkan kritikus tari. Koreografi Balanchine pada umumnya memiliki kemahiran teknik klasik yang tinggi, dan penari-penari Ballet du Nord ternyata cukup mampu membawakannya. Kemudian muncul koreografi Balanchine lainnya, Tarentelle, berdasarkan musik L.M. Gottschalk dan merupakan suatu koreografi pembaletan atas tari rakyat Italia yang temperamental, lucu, meriah, hangat, genit. Ini tari berpasangan yang digarap dalam teknik balet yang tinggi. Sementara itu, Les Nuits d'Ete hasil koreografi J.P. Comelin berdasarkan musik H. Berlioz. Kisah kasih musim panas digarap dan ditarikan dengan baik, terkesan liris, dramatis, serta puitis dalam nuansa manis dari musim panas menuju musim rontok di Prancis. Pentas Ballet du Nord diakhiri dengan koreografi Balanchine lagi, yang sudah mengalami Amerikanisasi dengan musik G. Gershwin, digarap dalam gaya Broadway Musical dan Cancanization ala Moulin Rouge dalam teknik balet klasik yang bukan main, khas Balanchine. Demikianlah keunikan Ballet du Nord yang hikmahnya dapat diambil dalam berhadapan dengan perkembangan tari di Indonesia pada umumnya, khususnya tari balet. Dalam melihat kemajuan perkembangan tari Indonesia, kita perlu menempatkannya juga dalam konteks perkembangan tari dunia. Koreografi balet dengan warna budaya lokal ke-Indonesia-an bukan suatu keanehan atau dekadensi, tapi dapat menjadi karya seni yang dibanggakan apabila dilakukan dengan keprofesionalan yang cukup berbobot. Tapi di lain pihak perlu disadari pula bahwa tari rakyat dalam kaidah lokalnya memiliki kreativitas yang tiada kalah tingginya, dan perlu dihayati dalam konteks kelokalannya tanpa perlu dibaletkan untuk mencapai status kelayakannya. Suatu pertumbuhan yang kedua-duanya memiliki makna yang perlu dimengerti dan dikembangkan dalam pembinaan seni pentas kita sendiri. Julianti Parani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini