SUDAH tiga empat kali dalam waktu akhir-akhir ini saya ditanya oleh berbagai orang di berbagai tempat tentang penggunaan istilah mangkus dan sangkil. "Tidakkah itu terlalu dicari-cari? Kenapa harus susah-susah, bukankah sudah ada efektif dan efisien, atau berdaya guna dan berhasil guna?" tanya mereka. Sebenarnya protes semacam ini sudah lama timbul dalam dunia bahasa kita. Ambillah contoh bagaimana kata anda pada tahun 1957 tidak langsung begitu saja disenangi orang sebagai pengganti you. Juga 30 tahun kemudian orang terkejut pula denan munculnya istilah pantau dan canggih. Kebetulan saja dua istilah terakhir cepat diserap oleh masyarakat dibandingkan dengan penyerapan anda. Anda masih agak tersendat-sendat penggunaannya. Kata itu lebih banyak dipakai dalam komunikasi searah seperti dalam pidato, iklan, siaran radio dan televisi atau bila lawan bicara tidak berada di hadapan kita. Ada pula sebagian yang masih merasa rikuh (merasa tidak hormat) bila umpamanya ber-anda kepada orang tua atau pejabat. Jangankan ber-anda, ber-bapak saja masih ketakutan kalau melaporkan sesuatu yang kurang berkenan di hati pejabat itu, atau kalau si pelapor ingin meminta restu sang bapak untuk suatu tugas. Pesawat telepon pun sering disembah pula dengan membungkuk-bungkuk ketika berbicara dengan seorang bapak seakan pesawat itu penjelmaan sang bapak. Pertanyaan kenapa ahli-ahli bahasa cari-cari "kerjaan" sebenarnya bertolak dari masih adanya kebelumikhlasan pemakai bahasa menerima kosa kata yang baru hasil pemikiran ahli bahasa. Sebenarnya "yang baru" itu dapat digolongkan paling kurang dalam dua kelompok. Pertama, "yang baru" untuk yang belum ada istilah Indonesianya guna mewadahi suatu konsep dalam suatu bidang ilmu (jadi mutlak perlunya). Yang kedua, ialah kelompok untuk menambah sinonim guna memperkaya ungkapan dan kosa kata dengan berbagai nuansa yang dapat memperjelas diferensiasi Terhadap yang pertama, reaksi masyarakat lebih banyak ditujukan kepada pilihan kata, bentukan kata atau istilah baruyang dianggap agak "aneh" terdengar karena belum biasa. Tetapi proses pembiasaan ini menurut pengalaman tidak lama. Seperti dikatakan pada awal tadi, pantau dan canggih sudah diterima walaupun mula-mula dianggap asing di telinga. Tetapi sekarang keduanya "laku keras". Begitu pula mantan sebagai pengganti bekas, akhirnya dapat berterima setelah diberi alasan bahwa bekas mempunyai konotasi buruk seperti bekas maling atau bekas perampk. Sedangkan mantan dianggap tidak berkonotasi buruk seperti mantan cawapres, mantan gubernur, atau mantan kepala sekolah. Mula-mula, memang ada reaksi yang timbul sambil bergurau, misalnya dari Rosihan Anwar, yang mempersendakan para mantan pejabat yang menderita gangguan kesehatan sebaai orang yang mengidap "peradangan mantan" atau gangguan "mantanitis", yaitu semacam penyakit "purnakuasa" atau post power syndrome. Entahlah. Tetapi reaksi ini lama-lama sepi juga. Lain halnya dengan golongan kedua, yaitu kata, istilah atau kelompok kata yang sebelumnya sudah dicarikan (diciptakan) padanannya dalam bahasa Indonesia, lalu tiba-tiba diganti. Tentu saja hal ini cepat menyulut protes. Misalnya istilah sangkil dan mangkus tadi, sebagai pengganti atau sekurang-kurangnya sebagai sinonim untuk efisien dan efektif yang sebelumnya sudah diindonesiakan, yaitu berhasil guna dan berdaya guna. Mungkin di sini timbul kekesalan orang, kenapa untuk istilah yang sudah ada padanannya harus ditambah lagi dengan padanan baru yang barangkali bisa membingungkan orang. Barangkali akan begitu pula halnya jika diperkenalkan istilah laku lajak untuk oceracting, terawangan untuk slide, dan pewayang pandang untuk overhead projector. Masyarakat akan merasa "aneh" pula tentu. Di sini, masalahnya adalah masalah pilihan padanannya. Tetapi akan berhentikah ahli bahasa bekerja untuk upaya pembinaan dan pengembangan bahasa? Tentu tidak. Ilmu dan teknologi berkembang terus, dan bahasa dengan segala aspeknya akan berkembang pula termasuk kosa katanya. Hanya tentu dengan pendekatan simpatik. Kenapa orang masih sulit diimbau agar berbahasa dengan baik dan benar? Seperti contoh umum ketika ada orang yang mengucapkan "sesuai peraturan" yang seharusnya "sesuai dengan peraturan" (menggunakan dengan), atau "kepada bapak kami persilakan" yang seharusnya "bapak kami persilakan" (tanpa menggunakan kepada)? Salah kaprah? Kenapa dahulu mulai dengan salah kaprah? Sulit mengubah kebiasaan? Atau karena soal selera? Atau juga karena perubahan dirasakan terlalu dibikin-bikin? Bagaimana mengatasi hal tersebut untuk selanjutnya? Sejumlah "kenapa" dan "bagaimana" harus dijawab lebih dahulu, baru sebuah perubahan bahasa dibaurkan ke dalam masyarakat, sampai masyarakat akrab dengan pembauran itu. Oleh karena itulah kita memang perlu berlaku bijaksana dan berhati-hati bila kita merasa terpanggil untuk "menawarkan" suatu kata atau istilah baru ke tengah masyarakat. Faktor kemungkinan berterima atau tidaknya dalam masyarakat perlu diperhitungkan, walaupun kita tidak perlu berkompromi dengan prinsip-prinsip ilmiah. Kecenderungan-kecenderungan dalam perilaku masyarakat sebagai akibat berbagai trauma sosial politik dan budaya masa lalu akan ikut mempengaruhi penerimaan kata itu, yang bila kita tak pandai-pandai bisa menimbulkan "keresahan baru" pula. Kita tentunya tidak akan membiarkan diri kita didorong oleh keinginan untuk memperkenalkan yang baru sekadar untuk berbaru-baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini