KETIKA Gubernur Djawa Barat Solichin GP berdiri dipanggung
Gedung Merdeka Bandung mengantarkan pertundjukan pada penutup
Djuni kemarin hadirin sudah menduga akan disuguhi hasil kesenian
atau sematjam itu jang "mudah-mudahan sanggup bersaing dengan
penjuguhan-penjuguhan hiburan jang tidak/kurang menitikberatkan
pada nilai-nilai idiil". Dan memang itulah jang diketengahkan
pada pertundjukan malam itu. Nilai-nilai jang mana?
Sebuah perkumpulan bernama Lingkung Seni Lingga Binangkit
membawa kan djenis gending karesmen jang ketiga (sesudah Leuwi
Sipatahu-nan dan Saidja djeung Adinda), kali ini mengangkut
djudul Sang Pitrana Sri Baduga atau Lahirnja Negara Padjadjaran.
Nilai-nilai idiilnja tentulah akan tertangkap -- di samping dari
segala embel-embelnja terutama dari pokok tjerita sendiri.
Begini:
Sang Purana Sri Baduga lari kearah barat menghindar dari
pertengkaran sesama saudara. Dia dan seluruh kawul menebas hutan
dan membabat semak belukar, dan permohonannja jang sangat kuat
dalam samadi jang salih disertai amal jang gigih menjebarkan
angin dan bau semarak sampai kahjangan. Maka Sunan Ambu,
jaitulah satu djenis perempuan jang merupakan kepalanja segala
dewa dan dewi, mengutus tiga orang pohatji (sedjenis dewa
wanita) turun kebumi membawa hadiah disertai satu udjian. Itu
para dewi jang bagaikan merek satu produksi bedak rupa-rupanja
merupakan sari pohatji, dimajapada lantas mendjelma sebagai peri
dan mengamuk dan melabrak para kawula jang sedang bekerdja.
Adapun tuntutan mereka: minta tumbal empat njawa, dari dua
pasang manusia jang lagi berkasih-kasihan, begitulah adanja.
Perbuntingan. Tetapi adjaiblah. Bukannja rakjat pada ngatjir
ketakutan tapi malah berbondong menjediakan diri. Konon
banjaklah udjang-udjang dan euis-euis, jaitulah para pemuda dan
para pemudi berdatangan dan siap berkorban, bahkan djuga
perempuan-perempuan jang lagi bunting jang menghitung
masing-masing dirinja sebagai dua orang. Disitu tampaklah bahwa
perbuntingan pun bukan halangan, manakala sudah tertariam
kesadaran bahwa negara hakikatnja berada diatas njawa. Lebih
baik gugur buat tanah air daripada makan tanah dan minum air,
begitulah kiranja.
Maka dalam pertemuan besar ditanah terbuka semua sukarelawan
memakai kerudung, buat diundi siapa jang termasuk beruntung.
Maka para peripun memilih keempat tumbal. Maka diajunkanlah
kapak dan tentu sadja para hadirin berdebar-debar. Tapi
adjaiblah bahwa ketika kapak hampir menetak sasaran, para peri
menjuruh berhenti sebab rupanja mereka tjuriga. Dibuka dulu
untuk dilihat siapa orangnja dan ternjata, dua orang dari mereka
adalah, titik-titik. Sri Baduga sendiri dan permaisuri. Melihat
bahwa kapak akan diajunkan lagi buru-buru dua pasang pengikut
radja bunuh diri -- dan demikian radja dan permaisuri selamat,
tumbal terlaksana dan negarapun bakal diridhai Tuhannja para
pohatji.
Nawaitu. Benar. Sebab setelah peri mendjelma lagi djadi pohatji,
dengan segera mereka berikan hadiah kedewataan kepada Radja,
berupa pisau melengkung dan itulah kudjang namanja. Lebih
landjut bisa diberitakan bahwa Sang Radjapun ditahbiskan
mendjadi Prabu Siliwangi, bertahta dikeradjaan baru Padjadjaran.
Sedang itu para Sjahid jang pada mati, tentu sadja, dihidupkan
lagi -- hanja bukan sebagai insan tetapi sebagai maung jaitulah
harimau Sunda pembela negara. Itulah.
Tetapi apakah gending karesmen? Gending karesmen adalah, menurut
guru, satu djenis teater dari bermatjam kombinasi unsur-unsur
kesenian. Kira-kira sematjam opera jang hanja terdapat di tanah
Sunda, bentuk jang merupakan hasil zaman paling mutachir ini
mengantarkan tjeritanja terutama lewat njanjian. Hanja sadja
daripada memberikan tekanan pada unsur vokal darimana lahir
sematjam Maria Callas atau para soprano dan penjanji tenor
lain-lainnja seperti di manca-negara, dalam apa jang disebut
gending karesmen titik-berat lebih diberikan kepada usaha
mengeksploitir sebanjak mungkin berbagai djenis njanjian Sunda
jang tak djarang dibawakan beramai-ramai -- dengan nawaitu
memperkenalkan kekajaan daerah. Oleh itu pula maka bentuk
berbabak-babak biasa di bawakan gending karesmen untuk sekedar
memberikan tjerita jang singkat-sebab disamping jang lain-lain
diperlukan pula berbakul-bakul nasihat.
Sifatnja. Untunglah rasa bosan penonton (harus diingat: mereka
djuga orang Sunda) terhadap tjerita jang biasanja berdjalan
lamban, tak djarang di tutupi usaha keras sang sutradara untuk
mengedjar kemampuan dalam teknik: lampu jang warna-warni,
dekorasi jang menakdjubkan, setting-setting aneka ragam.
Kadang-kadang bakat-bakat komposisi muntjul keatas panggung:
sebagian tidak mustahil tjiptaan sendiri dan jang lain ambilan
dari sana-sini: satu-dua kali dari bentuk-bentuk jang sangat
asing dan seribukali dari gerak tarian rakjat berbagai daerah
(nelajan mengangkat ukat, petani mentjangkul, mbok-mbok menumbuk
padi sambil tak lupa memakai topi lebar dan menjanji
beramai-ramai), hampir sama sadja dari Atjeh sampai Irian.
Begitulah setidak-tidaknja ada dua rombongan gending karesmen
jang besar ditanah Sunda: selain jang lagi ditjeritakan terdapat
misalnja rombongan Wahju Wibisana jang pernah mementaskan
Galunggung Ngadeg Tumenggung jang, konon, tjukupan bagusnja.
Tapi tentang nilai, orang toh belum banjak bitjara. Untuk
pementasan jang disutradarai RA Affandi inipun tak ada penilaian
dari penjumbang laporan -- mungkin karena nilai-nilai idiil
seperti dikemukakan Gubernur atau semua orang lebih penting dari
seninja sendiri. Meskipun tidak mustahil pertundjukan malam itu
tjukup memukau, tentu sadja bukan lantaran sifatnja jang Sunda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini