Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bangkit dari bunting

Lingkung seni lingga binangkit membawakan gending karesmen di panggung gedung merdeka bandung dengan judul sang puraha sribaduga atau lahirnya pajajaran. mengisahkan tumbal untuk mencapai negara aman.

24 Juli 1971 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA Gubernur Djawa Barat Solichin GP berdiri dipanggung Gedung Merdeka Bandung mengantarkan pertundjukan pada penutup Djuni kemarin hadirin sudah menduga akan disuguhi hasil kesenian atau sematjam itu jang "mudah-mudahan sanggup bersaing dengan penjuguhan-penjuguhan hiburan jang tidak/kurang menitikberatkan pada nilai-nilai idiil". Dan memang itulah jang diketengahkan pada pertundjukan malam itu. Nilai-nilai jang mana? Sebuah perkumpulan bernama Lingkung Seni Lingga Binangkit membawa kan djenis gending karesmen jang ketiga (sesudah Leuwi Sipatahu-nan dan Saidja djeung Adinda), kali ini mengangkut djudul Sang Pitrana Sri Baduga atau Lahirnja Negara Padjadjaran. Nilai-nilai idiilnja tentulah akan tertangkap -- di samping dari segala embel-embelnja terutama dari pokok tjerita sendiri. Begini: Sang Purana Sri Baduga lari kearah barat menghindar dari pertengkaran sesama saudara. Dia dan seluruh kawul menebas hutan dan membabat semak belukar, dan permohonannja jang sangat kuat dalam samadi jang salih disertai amal jang gigih menjebarkan angin dan bau semarak sampai kahjangan. Maka Sunan Ambu, jaitulah satu djenis perempuan jang merupakan kepalanja segala dewa dan dewi, mengutus tiga orang pohatji (sedjenis dewa wanita) turun kebumi membawa hadiah disertai satu udjian. Itu para dewi jang bagaikan merek satu produksi bedak rupa-rupanja merupakan sari pohatji, dimajapada lantas mendjelma sebagai peri dan mengamuk dan melabrak para kawula jang sedang bekerdja. Adapun tuntutan mereka: minta tumbal empat njawa, dari dua pasang manusia jang lagi berkasih-kasihan, begitulah adanja. Perbuntingan. Tetapi adjaiblah. Bukannja rakjat pada ngatjir ketakutan tapi malah berbondong menjediakan diri. Konon banjaklah udjang-udjang dan euis-euis, jaitulah para pemuda dan para pemudi berdatangan dan siap berkorban, bahkan djuga perempuan-perempuan jang lagi bunting jang menghitung masing-masing dirinja sebagai dua orang. Disitu tampaklah bahwa perbuntingan pun bukan halangan, manakala sudah tertariam kesadaran bahwa negara hakikatnja berada diatas njawa. Lebih baik gugur buat tanah air daripada makan tanah dan minum air, begitulah kiranja. Maka dalam pertemuan besar ditanah terbuka semua sukarelawan memakai kerudung, buat diundi siapa jang termasuk beruntung. Maka para peripun memilih keempat tumbal. Maka diajunkanlah kapak dan tentu sadja para hadirin berdebar-debar. Tapi adjaiblah bahwa ketika kapak hampir menetak sasaran, para peri menjuruh berhenti sebab rupanja mereka tjuriga. Dibuka dulu untuk dilihat siapa orangnja dan ternjata, dua orang dari mereka adalah, titik-titik. Sri Baduga sendiri dan permaisuri. Melihat bahwa kapak akan diajunkan lagi buru-buru dua pasang pengikut radja bunuh diri -- dan demikian radja dan permaisuri selamat, tumbal terlaksana dan negarapun bakal diridhai Tuhannja para pohatji. Nawaitu. Benar. Sebab setelah peri mendjelma lagi djadi pohatji, dengan segera mereka berikan hadiah kedewataan kepada Radja, berupa pisau melengkung dan itulah kudjang namanja. Lebih landjut bisa diberitakan bahwa Sang Radjapun ditahbiskan mendjadi Prabu Siliwangi, bertahta dikeradjaan baru Padjadjaran. Sedang itu para Sjahid jang pada mati, tentu sadja, dihidupkan lagi -- hanja bukan sebagai insan tetapi sebagai maung jaitulah harimau Sunda pembela negara. Itulah. Tetapi apakah gending karesmen? Gending karesmen adalah, menurut guru, satu djenis teater dari bermatjam kombinasi unsur-unsur kesenian. Kira-kira sematjam opera jang hanja terdapat di tanah Sunda, bentuk jang merupakan hasil zaman paling mutachir ini mengantarkan tjeritanja terutama lewat njanjian. Hanja sadja daripada memberikan tekanan pada unsur vokal darimana lahir sematjam Maria Callas atau para soprano dan penjanji tenor lain-lainnja seperti di manca-negara, dalam apa jang disebut gending karesmen titik-berat lebih diberikan kepada usaha mengeksploitir sebanjak mungkin berbagai djenis njanjian Sunda jang tak djarang dibawakan beramai-ramai -- dengan nawaitu memperkenalkan kekajaan daerah. Oleh itu pula maka bentuk berbabak-babak biasa di bawakan gending karesmen untuk sekedar memberikan tjerita jang singkat-sebab disamping jang lain-lain diperlukan pula berbakul-bakul nasihat. Sifatnja. Untunglah rasa bosan penonton (harus diingat: mereka djuga orang Sunda) terhadap tjerita jang biasanja berdjalan lamban, tak djarang di tutupi usaha keras sang sutradara untuk mengedjar kemampuan dalam teknik: lampu jang warna-warni, dekorasi jang menakdjubkan, setting-setting aneka ragam. Kadang-kadang bakat-bakat komposisi muntjul keatas panggung: sebagian tidak mustahil tjiptaan sendiri dan jang lain ambilan dari sana-sini: satu-dua kali dari bentuk-bentuk jang sangat asing dan seribukali dari gerak tarian rakjat berbagai daerah (nelajan mengangkat ukat, petani mentjangkul, mbok-mbok menumbuk padi sambil tak lupa memakai topi lebar dan menjanji beramai-ramai), hampir sama sadja dari Atjeh sampai Irian. Begitulah setidak-tidaknja ada dua rombongan gending karesmen jang besar ditanah Sunda: selain jang lagi ditjeritakan terdapat misalnja rombongan Wahju Wibisana jang pernah mementaskan Galunggung Ngadeg Tumenggung jang, konon, tjukupan bagusnja. Tapi tentang nilai, orang toh belum banjak bitjara. Untuk pementasan jang disutradarai RA Affandi inipun tak ada penilaian dari penjumbang laporan -- mungkin karena nilai-nilai idiil seperti dikemukakan Gubernur atau semua orang lebih penting dari seninja sendiri. Meskipun tidak mustahil pertundjukan malam itu tjukup memukau, tentu sadja bukan lantaran sifatnja jang Sunda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus