DARI empatpuluh orang artis djelita jang digembar-gemborkan itu,
achirnja hanja limabelas orang jang betul-betul djeli. Meskipun
diantaranja ada jang hitam legam dengan rambut mereka jang
terlalu keriting seperti "per". Sisanja kaum lelaki Brazil, jang
tentu sadja sama sekali tidak djeli. Mereka ini di gembalakan
oleh dua orang manager mengaku datang dari "Group Braziliana
Ballet Carnaval Rio" Meskipun sudah di bajar lebih dari
enambelas ribu dollar sekian ratus sekian, untuk tudjuh hari
pertundjukan di Basket Hall Senajan, mereka bukan main karetnja.
Duapuluh empat djam mereka terlambat. Sehingga pertundjukan jang
sejogia-nja harus dimulai tanggal 9 Djuli, djatuh kepada malam
berikut-nja. Meskipun ini masih dapat diampuni sebagai bukan
dosa mereka. 12 koli perlengkapan karena bermatjam-matjam alasan
baru mendarat di Kemayoran lewat dari pukul 20.00 hari
berikutnja -- 10 Djuli 1971. Tetapi ketjelakaan ketjil ini
merugikan para pembeli kartjis pada hari pertama. Dengan
semena-mena mereka dipersilakan menonton hari berikutnja sadja.
Pertundjukan jang didjual oleh Panitia dengan harga Rp 1.000, Rp
750, Rp 300, per kursi itu mempunjai keistimewaan jang agak
menjakitkan hati tukang-tukang potret. Untuk pertama kalinja
barangkali suatu pertundjukan jang berifat menghibur menjatakan
dirinja sebagai anti potret. Dipintu masuk pertama setiap
sendjata kaum kuli tinta itu di persona-non-grata kan,
dipersila-kan beristirahat sementara di Seksi Polisi Keamanan
Setempat. Ini atas permintaan manager rombongan. Diduga oleh
jang mendjadi korban sebagai suatu tindakan penjelamatan, agar
djangan sampai potret-potret itu mendjadi bahan perdagangan.
Karena rombongan itu bukan duta resmi, bukan kesenian resmi
rakjat Brazilia. Tetapi gojang kibul, gojang jang penuh dengan
bara gairah, tarian-tarian kasmaran jang dilakukan dengan
pakaian jang sangat pelit.
Djenderal Panggabean. Pertundjukan pertama, jang sesungguhnja
merupakan malam penebusan itu, tidak mendapat sambutan rakjat
Djakarta. Hanja sepertiga, boleh djadi seperempat kursi-kursi
jang didjual itu laku. Inipun harus di hitungkan kursi-kursi
gratis jang diduduki pantat-pantat VIP. Pertundjukan jang
dilakukan duakali dalam satu malam itu, tidak berhasil
mengatjau-kan atjara malam minggu warga Djakarta. Walaupun
barangkali mereka tjukup berbahagia karena Kapolri Hoegeng dan
Djenderal Panggabean menjediakan waktu djuga menonton gojang
Brazil itu.
Pertundjukan membuka langkahnja dengan menjulap suasana dengan
lampu remang-remang. Panggung jang taram temaram memberikan
asosiasi djauh, masa lampau jang penuh tjerita. Berlatar
belakang rombongan musik mereka, dimainkan adegan-adegan jang
diangkat dari idea perbudakan, kemiskinan, perdjuangan masa
lalu. Sematjam tjerita sedjarah rakjat Brazilia jang penuh suka
duka. Dilakukan dengan njanjian, tarian serta djuga
pertjakapan-pertjakapan dalam bahasa mereka. Para penonton di
bius untuk melupakan Djakarta, menonton kekedjaman pendjadjahan
jang meletjut budak-budak mereka dan memperkosa isteri-isteri
orang-orang Brazilia.
Seluruh pertundjukan menitik beratkan kepada peranan
lampu-lampu. Dengan semangat panas dan enersi besar mereka
memberi asosiasi tentang pasar, daerah pelatjuran, Bulu-bulu
dikepala mereka bergojang, dan bunga-bunga jang mendjadi
pengganti BH para wanitanja bergetar. Panggung kadangkala
mendjadi lapangan berpesta, dengan pradjurit-pradjurit jang
berebutan betina, tarian-tarian jang mengeduk birahi,
tjumbuan-tjumbuan bahkan djuga tjiuman. Sementara itu para
wanitanja kadangkala membuat lelutjon dengan mengangkat wig
mereka, sehingga per-per dikepala mereka mendjatuhkan birahi
penonton mendjadi ketawa. Ditambah bunji kendang jang dimainkan
sedemikian rupa ndut-ndut-nja jang mengingatkan orang kepada
bunji kentut.
Pinggul. Penonton barisan seribu perak mendapat pahala, pada
saat pertundjukan hampir mendjelang dua djam. Dara-dara djeli
jang putih, jang hitam dan setengah putih itu berterbangan turun
seperti lebah mentjari mangsanja. Dengan bermatjam ragam
pakaian, terutama pakaian-pakaian pelit mereka menarik penonton
untuk masuk kedaerah panggung. Maka petjahlah bingkai
pertundjukan itu mendjadi sebuah pesta bersama.
Penonton-penonton malam itu mendapat redjeki ikut meliuk
dipanggung. Salah seorang djelita jang hitam menjuruh salah
seorang penonton menggosok tubuhnja, sehingga ia mempunjai
kesempatan untuk menggojang pinggulnja lebih kurang-adjar lagi.
Para penonton kelihatannja berhasil djuga dibuat senang.
Meskipun pembawa atjara Eddy Sutikno dari Djakarta Fair tidak
dapat mendjelaskan makna pertundjukan jang sesungguhnja. Pun
tidak didjumpai selebaran jang dapat sedikit menuntun penonton
tentang adegan-adegan jang dimaksud. Barangkali memang
pertundjukannja tanpa makna. Beberapa penonton jang awas dengan
mudah dapat menjaksilan bahwa perundjukan tidak begitu rapi.
Penonton-penonton dibarisan depan, dapat mendengar kepala
rombongan memberi instruksi-instruksi kepada teman-temannja
selama pertundjukan berlangsung. Bahwa mereka bukan menundjukkan
seni jang serius, memang alasan untuk memaafkan itu. Tetapi
bahwa mereka datang dari seberang udara jang begitu djauhnja,
hanja untuk memperlihatkan kekatjauan tentu sadja perlu
dikeluhkan.
Bossanova. "Sajang sekali waktu mereka terlalu kasip. Sehingga
sulit sekali untuk memberikan waktu buat latihan serta
istirahat bagi mereka" kata Eddy Sutikno. Carlos Alberto,
anggota rombongan bekas mahasiswa Universitas Messina mengakui,
pertundjukan malam minggu itu tidak lengkap. Memakai singlet
sadja pemuda berumur tigapuluh tahun itu berkata kepada TEMPO
dengan bahasa Inggeris jang putus-putus bahwa show malam itu
tidak baik. "Perlengkapan kami masih dalam perdjalanan dan tiba
malam ini. Besok dan seterusnja shownja akan baik". Bemuda jang
memilih untuk menari daripada mendjadi tukang djahit itu mengaku
memperoleh duit 400 dollar sebulan, untuk djerih pajahnja
membawakan tarian-tarian: navio negreiro, out pourri Lundl,
bahia samba, bossanova, arrastan dan caouclincho carnaval.
Tarian-tarian mana di peladjarinja selama 4 tahun. Sementara itu
Watusi penjanji berkulit legam tidak memberi komentar apa-apa.
Dipenginapannja di Wisma Hasta Kebajoran wanita berumur 25 tahun
itu hanja menjata-kan bahwa ia senang Asia. "Sajang waktu kami
dinegeri ini sempit sekali" katanja.
Apapun nama gojang Brazilia jang anti potret itu jang paling
berkesan adalah keragaman pengaruh jang ada didalamnja. Ada
unsur Afrika. Ada unsur Sepanjol jang membangun suatu suasana
primitif dan sekaligus modern. Kita melihat suatu pertundjukan
tjampuran jang menjebabkan kita takdjub betapa gado-gadonja
Brazilia itu, seandainja itu betul-betul Brazilia. Dan
menakdjubkan pula betapa rukunnja kulit putih dan kulit hitam
dalam sebuah rombongan jang terbilang besar itu. Hampir
menimbulkan kesan tidak pertjaja, pula ketjurigaan kalau misi
mereka ini misi propaganda menentang diskriminasi warna kulit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini