WAH Produksi: Teater Mandiri Naskah & Sutradara: Putu Wijaya Gedung Kesenian Jakarta, 25 Maret-3 April KETIKA layar putih diturunkan, Guru Besar maling pun muncul. Segera ia menatar para maling. Penataran yang sukses. Operasi para maling menjadi begitu sempurna, hingga orang tak tahu kalau dimalingi. Penjara pun kosong, polisi tak ada kerjaan dan kemudian dibubarkan. Tapi itu justru menjadi pukulan balik bagi maling. Karena tak ada polisi, orang jadi waspada dengan sendirinya. Maling pun keok bukan karena dipenjarakan, tapi karena kelaparan. Guru Besar kembali muncul, penataran kedua dilakukan, para maling diminta beroperasi secara biasa lagi. Kembali penjara penuh maling, kembali polisi berfungsi lagi. Begitulah Wah, sebuah cerita yang tak sulit dipahami dan punya kaitan dengan isu di masyarakat. Dari segi itulah karya Putu Wijaya kali ini sedikit berbeda dengan yang lalu-lalu. Tapi dari segi penyajian Putu masih seperti Putu yang dulu. Lihatlah: akting yang penuh otot, dialog yang keras, tata panggung yang kolosal: tutup panggung Gedung Kesenian bagian atas dibuka hingga kerangka gedung terlihat, dan di kerangka itu boneka-boneka seukuran manusia ditaruh. Dengan dominasi warna hitam, panggung jadinya mengesankan sebuah medan laga yang keras. Ditambah kostum serta tata rias berselera gembel, dan iringan musik Harry Roesli yang menggelegar serta sedikit berbau Bali, lengkaplah gedung pertunjukan menjelma sebagai wadah peristiwa yang jauh dari warna manis. Bai saya, inilah teater yang mesti dilihat bahwa panggung sebagai panggung, bukannya sepotong pemandangan yang diangkat ke pentas. Dialog sebagi dialog, bukannya serentetan pembicaraan yang menceritakan sesuatu. Dan akting adalah akting, bukan sebuah seni tingkah laku yang menirukan tingkah laku sehari-hari kita. Lalu, apa yang bisa dinikmati dari drama seperti itu? Sugesti-sugesti, imajinasi-imajinasi yang memancar dari pentas, yang kita cernak dalam kepala, dalam hati. Itulah, kita adalah penonton yang aktif. Yang ikut merasakan gemuruh suara (musik), yang ikut merasa pengap ketika panggung gelap, yang ikut merasakan gebrakan seorang aktor yang berjumpalitan. Tentu, tak cuma itu. Dialog, yang adalah kata-kata, bagaimanapun mengingatkan kita pada gambaran yang sudah kita kenal. "Maling", "petugas", "penataran", "ilmu menghilang" merupakan jembatan yang membuat kita bolak-balik dari perasaan yang tak berbentuk ke dunia bentuk-bentuk atau dunia nyata. Dalam wadah teater seperti itulah Wah -- dan pementasan Putu yang lain sejak Lho -- disajikan. Putu bukan memasalahkan sebuah peristiwa. Ia lebih menyuguhkan pengalaman batin. Bila kemudian ada "cerita" di situ, itu lebih merupakan tali-tali guna mengikat adegan-adegan. Tali itulah dalam hal Wah lebih terasakan dibanding pementasan Putu yang lalu-lalu. Dan tampaknya ini kurang menguntungkan. Kisah petugas yang mencoba membasmi maling yang mencoba berkelit dengan menerapkan ilmu dari Guru Besar terasa mengganggu kebebasan akting. Hampir semua pemain seolah mencoba menjelaskan apa yang ia katakan dengan gerakan-gerakan. Bahkan sang Guru Besar (dimainkan oleh Gandung Bondowoso) terasa encer wibawanya di hadapan para maling. Ia sering tak menarik perhatian ketika harus menjadi fokus. Bahkan hiruk-pikuknya petugas menangkapi maling -- dilukiskan dengan petugas lari menarik gerobak berputar-putar di panggung -- tak memberikan imajinasi hiruk-pikuknya suasana. Adalah pencurian Tugu Monas yang menurut saya berhasil baik. Adegan itu kocak, terasa berotot, dan kena. Seorang berpakaian hitam-hitam, membawa tali panjang, mencoba mengikat Tugu Monas dan lalu menariknya pergi. Sebuah ambisi yang fantastis, yang kurang ajar, menyugestikan sebuah semangat di luar kekuatan manusia. Dan sesungguhnya dari adegan itulah bisa ditangkap semangat Wah. Ambisi para petugas membasmi ludas maling sebenarnya cuma sia-sia. Sementara itu, kelihaian maling bermaling-maling, betapapun canggihnya, tak sama sekali bisa sempurna. Sebagaimana kata Guru, "... maling perlu dilestarikan untuk dijadikan bal-balan dan sumber keseimbangan. Ini yang bernama harmoni. Manusia tidak hidun sendirian ...." Saya rasa Putu Wijaya sudah berusaha semaksimal mungkin menyajikan kecenderungan barunya untuk bercerita dalam teaternya yang khas. Bisa jadi, kecenderungan baru ini yang menyulitkan para pemainnya, yang mungkin sudah terbiasa bermain tak mementingkan cerita. Di panggung hampr semua pemain jadi terkungkung oleh dialog. Mereka tak bebas menggebrak sebagaimana dalam pementasan Teater Mandiri yang lalu-lalu. Bila suasana masih tertolong, memang Harry Roesli punya andil besar. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini