Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Benda-Benda yang Bermigrasi

Pameran seni rupa "Exodus Barang" yang berlangsung di Nadi Gallery, 15-28 Februari 2005, mengetengahkan karya-karya tiga dimensional dari benda-benda keseharian.

28 Februari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Benda-benda itu benda-benda biasa. Di ruang pameran Nadi Gallery, mereka seperti merayakan (kembali) peleburan batas antara obyek seni dan non-seni. Inilah pameran yang akan membuktikan kekuatan sebuah galeri memancing perhatian dengan barang-barang populer yang memiliki sejarah sederhana sebagai obyek-obyek konsumen.

Secara dominan, pameran ini menampilkan genre artistik yang sering disebut dengan beberapa istilah khusus: ready-mades, assemblage, instalasi, dan barang temuan (found objects). Ya, seperti langkah Marcel Duchamp dan gerakan Dada, Fluxus, dan Pop Art di Eropa-Amerika awal hingga pertengahan abad ke-20, atau banyak seniman Indonesia sejak Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) pada dekade 1970.

Lima belas seniman?antara lain Agus Suwage, F.X. Harsono, Handiwirman, Heri Dono, Lie Fhung, Rudi Mantofani, Tisna Sanjaya, dan Yusra Martunus?diundang untuk memamerkan karyanya dengan material yang wajib mereka beli di Ace Hardware, sebuah pusat perbelanjaan barang-barang rumah tangga di Jakarta. Sangat provokatif, paling tidak dari segi gagasan. Pameran ini menawarkan kemungkinan yang paling radikal dari paradigma seni rupa kontemporer yang konon menganut paham "apa pun boleh" (anything goes).

Hasilnya: beragam kecenderungan dan paham artistik para seniman itu. F.X. Harsono, Handiwirman, S. Teddy D., dan Yusra Martunus memperlihatkan cara pandang dan respons menarik terhadap obyek-obyek keseharian. Mereka mengolah benda-benda dengan teknik minim, namun mampu tampil secara kuat sebagai obyek representasional. Karya S. Teddy D., Belum Ada Judul (2005), menggabungkan dus-dus mi instan yang disusun bertumpuk dengan dua buah roda plastik sehingga menyerupai sebuah kendaraan pengangkut yang hendak bergerak. Tumpukan dus mi instan?yang notabene merupakan barang yang paling sering ditemui di supermarket dan posko-posko kemanusiaan di daerah bencana?secara mencolok di ruang galeri juga bisa menjadi gambaran ikonik yang relevan dari "Exodus Barang" sebagai tajuk pameran.

Karya Asmudjo Jono Irianto, Seni Rupa Kontemporer Peduli? dan His Portrait (2005), boleh jadi salah satu yang paling menarik. Sepintas, penampilan karya ini tidak jauh berbeda dengan display, bentuk, dan fungsi benda-benda yang dipajang di supermarket. Asmudjo menggunakan seperangkat minum teh (tableware) yang ia pecahkan dan susun kembali. Sebuah karya yang kini menyerupai bentuk awal, tapi dengan imbuhan berbagai teks populer yang ia kutip secara personal. Tindakan merusak, menyatukan kembali benda-benda konsumer, dan "pencurian tanda-tanda" (bricollage, parody, pastiche) untuk menampilkannya kembali sesuatu yang lain ini seperti menyiratkan sikap kritis terhadap produk industri massal.

Gairah menggunakan benda-benda keseharian untuk menyampaikan narasi sosial juga tampak pada karya-karya Tisna Sanjaya, Yuli Prayitno, Heri Dono, Titarubi, Sunaryo, dan Agus Suwage. Karya Tisna Sanjaya, Puisi Meja (2005), menggabungkan sebatang pohon, lengkap dengan pot, tanah, dan cangkokannya, dengan sebuah meja bergaya desain modern. Batang pohon itu, menjulang dari lantai, menembus bidang datar meja, seperti berfungsi sebagai salah satu kaki penyangga meja yang sengaja dihilangkan. Pada permukaan meja, Tisna menuliskan bait puisinya yang ditorehkan secara terbalik: "Pohon tidak tumbuh tergesa-gesa." Perakitannya sangat sederhana, tapi karya ini mampu menyampaikan pesan yang kuat tentang kontradiksi produk budaya modern?yang diciptakan demi efektivitas kehidupan manusia, namun pada prakteknya cenderung arbitrer, eksploitatif, dan agresif?dengan ritme kehidupan alam yang kekal dan harmonis.

Sebagian besar seniman memang masih tampak terobsesi pada persoalan kecakapan tangan mereka dalam mengolah material, sehingga karya-karya mereka masih menampakkan keinginan untuk mentransformasi benda-benda keseharian menjadi karya-karya seni rupa tiga dimensional yang "selazimnya". Karya Aditya Novali, In the Store dan Caution! Art Floor (2005), Rudi Mantofani, Bermimpi tentang Langit (2005), atau Lie Fhung, Unshelving (2004/2005), misalnya, malah memperlihatkan perlakuan dan pengolahan yang agak berlebihan (redundant) terhadap benda-benda yang mereka susun sebagai material karyanya.

Ade Darmawan agak berbeda. Ia lebih tertarik pada obyek yang ia susun dari pelbagai produk desain industri yang dibuat untuk kebutuhan-kebutuhan sangat khusus: kaca pembesar dan alat-alat pemotong mungil dan unik. Karyanya, Worldwide Quickmix (2005), sebentuk rakitan dari berbagai benda-benda kecil yang diletakkan dalam kotak kaca, layaknya benda-benda purbakala atau penemuan canggih yang dipajang di museum. Impresi enigmatik sekaligus konseptual yang muncul dari karya ini sepertinya dapat mengalihkan sejenak perhatian para pengunjung yang dibombardir oleh tampilan benda-benda populer keseharian lain yang dominan di ruang pamer.

Pada awalnya, kemunculan kecenderungan pemakaian obyek sehari-hari diklaim sebagai pemberontakan dan "anti-seni". Sebagaimana terjadi pada Dada, Fluxus, bahkan GSRB, karya-karya yang mengaburkan batasan antara seni dan benda keseharian pernah disebut sebagai perlawanan radikal, bahkan dekadensi. Namun, pameran "Exodus Barang", yang notabene dilangsungkan di awal abad baru, setelah seni modern dinyatakan "bubar", seperti semakin menegaskan kembali apa yang pernah disinyalir filsuf Arthur Danto ketika menyaksikan karya termasyhur Andy Warhol, Brillo Box (1963), yang berwujud tumpukan kotak sabun. Danto mengatakan: kini, yang melegitimasi sebuah obyek sebagai karya seni bukanlah melulu seniman sendiri, melainkan perangkat institusional yang melengkapinya, termasuk galeri, kurator, kritikus, media massa, dan para audiens.

Pameran di Nadi Gallery barusan adalah sebuah provokasi para senimannya, pemancing wacana kontemporer. Wacana yang berangkat dari hal-hal sederhana, keseharian. Namun, lebih dari itu, adalah penting untuk melihat pameran ini sebagai refleksi cara pandang para seniman kontemporer Indonesia terhadap "pola produksi" karya seni dewasa ini. Yakni, ketika manusia?sebagai homo economicus?tidak lagi bisa mengontrol obyek-obyek konsumsi, ketika ia dikuasai oleh komoditas beserta logika "hasrat", yang ironisnya malah sering kali dianggap lebih utama ketimbang "kebutuhan".

Agung Hujatnikajennong, Staf Pengajar FSRD ITB, Kurator Selasar Sunaryo Art Space, Bandung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus