Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tamasya Asteroid Pangeran Kecil

Folkteatern I Gavleborg, kelompok teater boneka asal Swedia, mementaskan Little Prince karya Antoine de Saint-Exupery di Taman Ismail Marzuki minggu lalu.

28 Februari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pak Raden mengeleng-geleng kepala. Begitu pertunjukan Little Prince usai, ia langsung menyuruk ke belakang panggung. Ia kaget. Properti panggung ternyata begitu sederhana. Drs Suyadi, 72 tahun, mantan pengisi suara musuh Si Unyil itu, melupakan encoknya. Ia mencoba menggerak-gerakkan boneka-boneka Swedia itu.

”Pertunjukan ini sangat memanjakan fantasi penonton. Kalau wayang, imaji penonton harus aktif, sebab sebuah simbol dapat dipakai apa pun. Gunungan, misalnya, bisa menjadi hutan, keraton….”

Siapa pun pasti setuju, tafsir visual pertunjukan teater boneka Swedia pimpinan Michael Meschke, 73 tahun, memainkan Little Prince, cerita Antoine de Saint-Exupery, memang memikat. Panggung serba kuning mengandaikan gurun pasir dengan gumuk-gumuknya. Inti kisahnya: sebuah pesawat jatuh di Gurun Sahara dan sang pilot bertemu dengan seorang makhluk kecil berasal dari asteroid nun di sana.

”Ini teks yang indah bagi kita semua. Sebuah teks yang sesungguhnya berbicara mengenai kematian kepada anak-anak,” kata Michael Meschke. Di sebelah kiri panggung ada prop memberi kesan ekor pesawat. Di tengah, empat lekukan bukit pasir (dari tripleks). Seorang aktor memainkan tokoh pilot yang terdampar itu. Lalu dari balik gumuk—dalang-dalang bersembunyi di situ—muncul boneka. Inilah sang Pangeran Kecil. Dan mengertilah kita mengapa di Eropa fabel-fabel begitu dalam menggambarkan keakraban boneka dan manusia seperti Pinokio.

”Tolong, gambarkan biri-biri….”

”Apa!”

”Gambarkan biri-biri untukku….”

Si pilot yang membawa papan tulis kecil menggoreskan kapurnya. Mereka lalu melihat senja bersama. Sang boneka merangkul sang pilot yang akan tewas karena kehausan itu. ”Bila kamu sedih, sangat indah menikmati senja,” kata sang boneka. Cahaya kuning mengalami gradasi. Panggung temaram. Lingkaran bulan muncul. Pilot itu rebah, menyelimuti boneka. Sang boneka mengelus-elus kepalanya. Selanjutnya kita dibawa ke alam renungan boneka.

Ruang tiba-tiba gelap. Lalu kita melihat bentangan tiga dimensi menggambarkan semesta angkasa raya, penuh bintang bercahaya—dibuat dengan lapisan tirai-tirai sutra tipis. Hup! Muncul bola planet. Hup! Tiba-tiba, si Pangeran Kecil berdiri di bola itu. Ia menyiram-nyiram. Hup! Tumbuh bunga berduri. Ia tampak bertengkar dengan bunga itu.

Kesal ia melompat. Muncul boneka burung menyambar tengkuknya membawanya terbang, lalu melemparkannya ke boneka burung lain. Muncul bola-bola planet. Dalang-dalang yang tak kelihatan itu selanjutnya menampilkan perjalanan sang pangeran dari planet ke planet, asteroid ke asteroid. Penonton terkekeh. Ada Saturnus yang lingkarannya lepas. ”Keren banget,” bisik seseorang ketika boneka si pangeran secara luwes jungkir balik, mampu bersijingkat, berakrobat, melayang-layang, salto di udara.

Sekali lagi, sebuah teater boneka dari Eropa mengesankan dari sisi teknik dan imaji. Pada 1987, sebuah teater boneka Prancis pimpinan Alain Recoing Theatre Aux Main Nues bekerja sama dengan mahasiswa pedalangan ASKI, Surakarta, dan komponis Rahayu Supanggah menampilkan Gilgamesh, mitologi Sumeria secara semikolosal—menggunakan banyak dalang dan properti gulungan kain-kain besar untuk mengimajikan air bah.

Pernah juga, datang teater boneka dari Tubingen (Figuren Theater Tubingen), yang terkenal dengan ciptaan boneka-boneka ganjilnya, mementaskan Flamingo Bar. Frank Soehnle, sang dalang, duduk sendiri. Di sampingnya ada boneka seperti tengkorak dengan moncong burung. Tangan, tungkai, lengan, dan kepala digerakkan benang dari jari-jemari Soehnle. Saksofon mengalun. Boneka itu berubah jadi balerina, malaikat, dan penari kipas. Pernah pula ke Jakarta, Mimo Cuticchio, dalang pupi, boneka tradisional asal Sisilia. Ia memboyong puluhan boneka yang dimiliki keluarganya selama ratusan tahun. Boneka-boneka realis menampilkan cerita Perang Salib. Pasukan Charlemagne dibuat dengan jubah berwarna merah rubi. Serdadu Arab bersorban.

Semua memiliki kekuatannya sendiri. Tapi harus diakui, Little Prince paling puitis. Dibandingkan dengan pertunjukan wayang golek, misalnya, kita terasa miskin soal skenografi. Tirai penutup yang membuat terkuak sejengkal tangan saja membuat Meschke menunda pertunjukan setengah jam. Ada suara jatuh saat panggung gelap membuatnya segera melakukan evaluasi setelah pertunjukan, tak peduli telinganya di Jakarta ini berdarah karena infeksi.

”Seluruh boneka buatan sendiri. Sudah ratusan jumlahnya,” tutur Meschke. Selain Little Prince, teater bonekanya mementaskan naskah-naskah berat: Antigone (Sophocles), Ubu Roi (Alfred Jarry), A Dreamplay (Strindberg). Bahkan pada 1978, bekerja sama dengan komponis tersohor Gyorgi Ligeti, ia mementaskan Grand Macabre karya penulis Belgia, Michelle de Gelderode. ”Itu pertunjukan berskala dunia bersama Royal Opera Stockholm,” katanya.

Menurut dia, itu membuat kelompoknya selalu menciptakan eksperimen-eksperimen tipe boneka. Bila kita bandingkan pembaruan pada wayang golek hanya pada mulut yang bisa muntah. Atau eksperimen bayang-bayang kelir, seperti pada Wayang Ukur dari Yogya, Wayang Sadosa dari Solo, atau Wayang Cudamani, Bali. Tampaknya inovasi Meschke setapak ke depan. Menurut Meschke, meski Marionette telah menjadi tradisi di Italia, Prancis, Jerman, Belanda, dan Belgia, masing-masing memiliki perbedaan teknik. ”Saya belajar di Jerman pada Aru Ziegel pada 1951. Dia dalang nomor satu Marionette abad ini,” puji Meschke.

Lalu ia memperkaya tekniknya dari Asia. Boneka Little Prince, misalnya, dimainkan oleh tiga orang. Di lengan, kepala, tungkai kaki Little Prince ada kayu penggeraknya. Pada antara sendi dibuat sambungan hingga membuat tangan, kaki bisa lentur bergerak ke segala arah.” Inspirasinya datang dari Bunraku Jepang,” aku Meschke.

”Saya memainkan khusus bagian lengan,” kata Arabella Lyons, salah satu dalang. Kekompakan antardalang merupakan tantangan terberat. Di situlah tugas sutradara. ”Meschke yang mengawasi keserasian antara apa yang saya gerakkan dan yang digerakkan teman saya,” tutur Arabella. Sayang, tontonan berharga ini tidak banyak dihadiri dalang-dalang kita.

Meschke juga mengungkapkan keheranannya. ”Dulu saya sering mengundang pertunjukan wayang dari Indonesia ke Eropa.” Pada 1975, ia ke Jakarta, bertemu dengan banyak dalang. Bahkan ia dinobatkan sebagai dalang kehormatan. ”Banyak dalang tua yang bagus. Ke mana mereka pergi? Apa yang dilakukan oleh pemerintah,” ujarnya beruntun.

Rugilah tak mengikuti perjalanan Pangeran Kecil dari asteroid ke asteroid. Tiba di sebuah planet yang dikuasai seorang pemabuk. Hup! Boneka sang Pangeran Kecil tiba-tiba mencelat, mengganti botol minuman di tangan kanan boneka sang pemabuk… dan ketika si botol datang lagi, langsung ditampar oleh boneka pemabuk. Tak kalah cepat sabetannya dengan Manteb Sudarsono. Bravo!

Sampai jatuhlah sang Pangeran di bumi, di gurun pasir Afrika. Seekor ular merayap mendekatinya.

”Di mana manusianya? Sepi sekali di sini…,” tanya sang Pangeran.

”Kau akan juga merasa sepi, walaupun berada di tengah manusia,” jawab si ular.

Seno Joko Suyono dan Evieta Fadjar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus