Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Palestina bukanlah nama asing bagi panitia penyelenggara Festival Film Cannes (FFC). Palestina pertama kali diundang ke FFC pada 1987, lewat film Wedding in Galilee karya sutradara Michel Khleifi. Sepanjang 30 tahun setelahnya, tercatat ada 20 film lain karya sutradara Palestina yang diundang untuk memeriahkan FFC di berbagai seksi, dari Kompetisi Utama untuk memperebutkan penghargaan tertinggi trofi Palem Emas (Palme d’Or) hingga seksi Dua Pekan Sutradara, Pekan Kritik, dan Sorotan Khusus (Un Certain Regard).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa film itu bahkan mendapat anugerah bergengsi. Wedding in Galilee, misalnya, diganjar penghargaan oleh persatuan kritikus internasional Fipresci. Dalam FFC 2002, Divine Intervention garapan sutradara Elia Suleiman meraih Penghargaan Juri. Anugerah yang sama diberikan Dewan Juri FFC 2013 kepada sutradara Hany Abu-Assad untuk filmnya, Omar. Tahun lalu, Palestina diwakili film A Drowning Man garapan sutradara Mahdi Fleifel, yang bertarung di seksi kompetisi Film Pendek. Nama Palestina juga menghiasi lembaran FFC tahun ini dengan dipercayanya sutradara dan penyair perempuan Annemarie Jacir sebagai salah seorang juri untuk seksi Un Certain Regard.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati film-film Palestina tampil cukup aktif dalam FFC, semua kehadiran tersebut merupakan prakarsa perseorangan, terutama produser film, dan tidak melalui wadah resmi yang dikelola atas nama otoritas Palestina. Dalam FFC ke-71, yang berlangsung pada 8-19 Mei 2018, Palestina mengukir sejarah baru: untuk pertama kalinya mereka hadir di bawah bendera pemerintah otoritas Palestina, melalui stan di arena International Village. Arena International Village, yang merupakan bagian dari Pasar Film FFC, berbatasan langsung dengan Pelabuhan Cannes, berjarak sekitar 300 meter dari Palais des Festival (gedung pusat penyelenggaraan FFC). Dari puluhan stan yang mewakili berbagai negara yang terdapat di arena International Village, stan Palestina berada di ujung sisi utara, hanya terpaut beberapa stan dari stan Israel. Biasanya stan Indonesia juga berada di arena yang sama. Namun pemerintah, melalui Badan Ekonomi Kreatif, memutuskan untuk absen dalam FFC tahun ini.
Kehadiran Palestina dalam FFC ini ditangani Institut Perfilman Palestina (IPP) dengan sokongan dana dari Kementerian Kebudayaan serta Konsulat Prancis di Yerusalem. IPP juga sudah merancang sejumlah acara untuk memeriahkan stan Palestina, di antaranya pertemuan dan diskusi dengan para profesional di bidang industri film untuk membahas sejumlah tantangan mutakhir yang dihadapi sinema Palestina, khususnya di bidang produksi dan distribusi.
Di mata IPP, keikutsertaan mereka dalam perhelatan ini merupakan langkah signifikan guna memperkokoh status Palestina di peta sinema dunia, sekaligus diharapkan akan membuat industri sinema negeri itu kian berkembang. "Hampir setiap tahun ada film Palestina yang lolos seleksi panitia dan diundang untuk hadir di FFC. Namun kehadiran di tahun-tahun yang lalu itu belum dapat dianggap sebagai kehadiran yang resmi. Tahun ini, kami hadir di bawah bendera Palestina," kata Lina Bokhary, Kepala Departemen Sinema Kementerian Kebudayaan Palestina, di stan Palestina, Kamis dua pekan lalu.
Bokhary menjelaskan, stan negerinya juga akan mempromosikan sepuluh film-lima film panjang dan lima film pendek-yang tengah dalam proses persiapan produksi. Proyek-proyek itu akan ditawarkan kepada para produser yang menghadiri FFC dan barangkali berminat menanamkan modal untuk mendukung produksi film-film tersebut.
Dana produksi memang bukan urusan yang sederhana bagi para sutradara Palestina, terutama karena sebagian besar dari mereka berstatus warga negara Israel. Peliknya persoalan mengenai kewarganegaraan ini bisa dilihat dari contoh nyata yang menimpa sutradara perempuan Suha Arraf pada 2014. Sutradara berdarah Palestina yang memiliki kewarganegaraan Israel ini menerima dana bantuan dari Yayasan Film Israel saat memproduksi film panjang perdananya, Villa Touma. Ketika film ini diundang untuk ikut Festival Film Venesia di Italia, Arraf mendaftarkannya sebagai film Palestina. Pemerintah Israel yang mengetahui kejadian itu tersinggung dan memintanya mengembalikan dana yang diperoleh dari negara itu, yang jumlahnya mencapai US$ 580 ribu. Beberapa pekan setelah Festival Film Venesia, Villa Touma juga diundang untuk memeriahkan Festival Film Toronto di Kanada. Arraf memenuhi undangan tersebut, tapi kali ini dia tidak mencantumkan asal negara filmnya itu. Itu sebabnya Villa Touma kemudian mendapat sebutan sebagai film pertama di dunia yang berstatus stateless alias tak memiliki negara asal.
Lina Bokhary juga menyebutkan, kehadiran stan Palestina di Pasar Film FFC diharapkan menjadi tempat bertemu dan berkumpul bagi para pekerja kreatif sinema asal Palestina yang selama ini tersebar, baik di dalam negeri sendiri maupun di berbagai penjuru dunia. Bagi mereka, bertemu langsung tidaklah mudah. Bahkan mereka yang berada di wilayah Palestina pun menghadapi berbagai kendala, termasuk urusan sekat-sekat dan perbatasan, untuk bisa bertemu serta bertukar pengalaman. "Di Cannes ini mereka bisa berjumpa di stan ini," kata Bokhary.
Selain itu, di mata Bokhary dan IPP, Cannes memiliki arti penting bagi sinema Palestina. "Semua orang sepakat bahwa FFC adalah pintu utama untuk mengakses pasar Eropa yang selama ini dikenal sebagai pasar yang amat potensial untuk film-film Palestina," ujarnya.
Arya Gunawan Usis
Kontributor Tempo dari Cannes
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo