Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perbankan Remuk Redam

Gebyar BCA mendadak hilang dari layar kaca pada pertengahan Mei 1998. Padahal sudah hampir setahun program hiburan yang menyajikan kuis hingga konser musik itu rutin hadir tiap malam Minggu di stasiun televisi Indosiar.

20 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perbankan Remuk Redam

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gebyar BCA mendadak hilang dari layar kaca pada pertengahan Mei 1998. Padahal sudah hampir setahun program hiburan yang menyajikan kuis hingga konser musik itu rutin hadir tiap malam Minggu di stasiun televisi Indosiar. Tujuannya apa lagi jika bukan mempromosikan berbagai layanan bank yang kala itu dimiliki Grup Salim tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ternyata, di lingkup internal BCA, keberadaan acara itu menjadi perdebatan. Menurut mantan Wakil Direktur BCA, Aswin Wirjadi, perusahaan bingung antara mempertahankannya dan tidak. "Betul, BCA tetap harus promosi. Tapi, dalam situasi krisis, tidak ada duit, bagaimana mau membiayai?" ujar Aswin seperti dikutip dari bukunya, Game Changing: Transformasi BCA 1990-2007.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Situasi krisis yang makin parah akhirnya membuat Aswin menghentikan Gebyar BCA. Tak hanya menghentikan program tersebut, Aswin juga memangkas anggaran iklan di media cetak dari iklan besar menjadi iklan kuping. Itu pun isinya bukan promosi, melainkan informasi mengenai cabang yang masih aktif.

Hilangnya Gebyar BCA merupakan gambaran kecil dampak krisis ekonomi 1997-1998. Dampak krisis terhadap sektor perbankan bermula ketika kebijakan pemulihan ekonomi pemerintah, yang didukung Dana Moneter Internasional (IMF), mengatur kebijakan suku bunga tinggi. Suku bunga simpanan naik hingga 70 persen, suku bunga pinjaman pun naik dua-tiga kali lipat.

Kenaikan suku bunga tak ayal memicu masalah kredit macet yang fantastis. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mencatat, angka kredit macet sempat menyentuh Rp 300 triliun. Imbasnya, pendapatan perbankan ikut macet. Padahal mereka harus mengeluarkan biaya operasional dan membayar bunga tinggi kepada nasabah. Akhirnya, debitor dan kreditor sama-sama remuk.

Perusahaan yang menderita kredit macet ternyata juga memiliki bank yang bermasalah. Tren mendirikan bank yang didorong Paket Kebijakan Oktober 1988 (Pakto 88) tak dibarengi sistem manajerial yang tepat ataupun pengawasan ketat otoritas moneter. Banyak bank mengandalkan pinjaman luar negeri bertenor pendek tanpa mekanisme lindung nilai. Penyaluran kredit ke debitor satu grup juga dipraktikkan.

"Pengawasan Bank Indonesia pun tak efektif lagi. Terlalu banyak lubang yang bisa dimanipulasi untuk menghindari batas pinjaman," ujar pengamat ekonomi Hendri Saparini dalam catatan jurnalnya, "Policy Response to Overcome Crisis: A Lesson from Indonesian Case".

Krisis perbankan mencapai puncaknya ketika 16 bank lokal ditutup pada November 1997. Alih-alih menyelesaikan masalah, penutupan itu justru menambah sentimen negatif terhadap sektor perbankan. Walhasil, penarikan dana besar-besaran tak terhindarkan di sejumlah bank besar dan kecil, yang membuat mereka sekarat atau bahkan kolaps.

BCA termasuk yang sekarat. Bank berlogo biru itu dua kali menjadi korban rush, yakni karena isu meninggalnya Sudono Salim pada November 1997 dan kerusuhan Mei 1998. Sekretaris Perusahaan BCA, Jan Hendra, mengakui terjadi penurunan dana pihak ketiga pada periode tersebut. "Dana pihak ketiga per Mei 1998 turun 37 persen," ucapnya kepada Tempo.

BCA pun menjadi pasien BPPN pada 28 Mei 1998. Bank Indonesia juga menyuntikkan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia sebesar Rp 26,6 triliun. Lantaran Grup Salim tak mampu mengganti dana tersebut, BCA diambil alih pemerintah dengan kepemilikan saham 92,8 persen. Pada akhir 2001, pemerintah melepas 51 persen saham di BCA ke Farindo. Saat ini, BCA dimiliki Grup Djarum milik Hartono bersaudara.

Empat bank di bawah konglomerasi Tirtamas Majutama milik Hashim Djojohadikusumo, yakni Bank Pelita, Bank Istismarat, Bank Papan Sejahtera, dan Bank Niaga, juga sekarat. Bank Niaga masuk program rekapitalisasi 1999-2000 yang mengharuskannya membeli obligasi pemerintah, sementara pemerintah mendapat saham sebagai ganti. Bank Niaga kemudian diakuisisi CIMB asal Malaysia.

Untuk bertahan hidup, beberapa bank yang sekarat juga melakukan merger atas dorongan pemerintah. Bank Mandiri lahir dari skema ini lewat penggabungan Bank Exim, Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, dan Bank Pembangunan Indonesia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus