Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat perempuan berjas kuning dan bertopi membawa buntalan seperti karung kecil serta membagikan isinya berupa uang kertas kepada penonton. Tapi, belum semua kebagian, seorang pemuda (diperankan Taksu Wijaya) menghentikannya. "Stop, berhenti! Jangan teruskan pembagian uangnya. Jangan-jangan itu uang sogokan buat kita," ujarnya. Pak RT dan istrinya, Pak Lurah, serta warga lain pun mundur.
Awal drama ini sepintas klise. Ini tentang orang kaya bernama Nyonya Baron van Iblis (diperankan Dwi Hastuti) yang ingin menggusur tanah warga untuk dijadikan pusat hiburan. Tapi, sebagaimana sejumlah cerita pendeknya, Putu Wijaya selalu bisa menyisipkan hal yang mengejutkan. Inilah pentas Kok Putu Wijaya. Kok telah dipentaskan Putu pada 2011 saat peringatan 40 tahun Teater Mandiri. Pada Januari lalu, Kok dipentaskan lagi dengan judul Trik. Kini Kok dipentaskan lebih panjang.
Dikisahkan bahwa warga menolak pembangunan. Warga marah. Tapi bukan Putu kalau ia tak bisa menyajikan dengan sudut pandang lain. Oleh Putu, letupan kemarahan itu dibuat alih-alih bukan karena penolakan tegas warga terhadap suap atau korupsi, melainkan karena warga terprovokasi oleh bendera Merah Putih yang dipasang terbalik. Adegan ini menjadi adegan konyol sekaligus sebuah satire mengingat sebentar lagi adalah peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-70. Di sini kita melihat Putu selalu punya cara lain untuk menyodorkan persoalan nasionalisme. "Masih ada rasa itu, meski ada opini rasa kebangsaan sudah semakin tipis," ujar Putu.
Naskah ini merupakan penggabungan dua naskah cerita pendek Putu berjudul Protes dan Bendera. Pada awalnya Putu ingin menyajikan soal kerakusan dan keserakahan yang dibalut dengan janji kebaikan. Adegan huru-hara warga diwarnai letusan "bom molotov". Layar yang disorot cahaya merah dan efek bergelombang seperti terkena getaran. Saat drama dimainkan di Bentara Budaya Jakarta pada Januari lalu, efek dimainkan dengan "bom-bom kertas molotov" yang dilemparkan ke penonton.
Pada dasarnya Putu menggambarkan warga yang rentan disuap. Ada Amat serta Ketua RT (Izul Julung) dan istrinya (Laila Uliel Elnama), yang kehilangan cek kompensasi proyek Nyonya Baron yang dibawa kabur Pak Lurah (Ari). Supaya tidak mengulang naskah dan pentas sebelumnya, Putu sengaja memperpanjang cerita dengan mengubah awal dan akhir cerita. Pada awal cerita, ditambahkan adegan Lurah yang mencecar Ketua RT setelah menghadiri undangan makan malam Nyonya Baron. Sutradara kawakan itu menyadari penambahan atau pengurangan cerita, adegan ini bisa menjadi sesuatu yang berbahaya. "Kalau tidak hati-hati, bisa anjlok ceritanya," ujarnya.
Pentas ini sangat sederhana. Tak banyak properti yang ditampilkan. Putu menghindari dekorasi yang gemebyar. Dia seolah-olah ingin kembali ke kesederhanaan main-main teater rakyat. Tawa penonton agaknya diinginkan Putu agar membuat penonton bertahan. Demi memancing tawa penonton, Putu pun menyisipkan dialog dari situasi saat ini yang sedang populer. "Yang penting pemain bisa menghadirkan semua pesan yang ada," ujarnya. Akting penampil baru Teater Mandiri, seperti Dwi Hastuti dengan dialognya yang panjang-panjang atau Uliel yang galak dan cerewet, cukup segar.
Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo