Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menangkap Gerak Para Pendekar

Sebanyak 26 pematung menginterpretasikan pencak silat. Mengenang tokoh silat O'ong Maryono.

10 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perupa Artherio memilih medium yang lain daripada yang lain ketika diminta urun karya untuk pameran "Ekspresi Keindahan Rasa dan Bentuk dalam Gerak Pencak Silat". Seniman asal Bantul, Yogyakarta, itu memilih bongkah batu columnar joint yang hitam legam dan keras. Batu dengan dimensi 60 x 20 x 20 sentimeter itu ia pahat hingga membentuk kaki yang sedang berjinjit. Bentuknya yang begitu persis dengan kaki asli itu menandai pematung ini sudah lulus uji untuk urusan anatomi.

Batu yang diambil dari leher gunung berapi itu diampelas hingga licin. Saking mulusnya, seluruh kaki itu jadi sekinclong mata cincin batu akik. Tepat di atas tumit, Artherio membuat sebuah bentuk abstrak yang menyerupai dua mata rantai yang bertautan. Satu-satunya cara memutus pertalian dua mata rantai itu adalah mematahkan karya.

Inilah interpretasi pematung 35 tahun itu atas gerak dalam silat. Pilihan medium dan bentuk kaki mewakili filosofi kuda-kuda, posisi dasar yang menjadi fondasi segala gerakan dalam silat. Kuda-kuda harus kuat dan kukuh, sekeras batu langka pilihan Artherio. Dan mata rantai di atas tumit itu adalah representasi jurus kunci-mengunci. "Pilihan medium, warna, dan tekstur saya sesuaikan dengan filosofi silat," kata seniman yang pada masa remaja pernah belajar silat aliran Cimande itu.

Artherio adalah satu dari 26 perupa yang ikut meramaikan pameran patung yang terinspirasi gerak pencak silat yang digelar di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1-15 Agustus 2015. Seniman lain di antaranya Dunadi, Dolorosa Sinaga, Inge Rijanto, Taufan A.P., Tantio Adjie, Jhoni Waldi, Egi Sae, dan Adhy Putraka. Ada 37 patung macam-macam medium yang dipajang dalam pergelaran yang dibikin untuk mengenang Sumaryono alias O'ong Maryono, salah satu tokoh silat Indonesia, itu.

O'ong adalah atlet silat legendaris kelahiran Bondowoso, 28 Juli 1953. Ia wafat pada 2013 di Singapura akibat kanker usus buntu. Sejak kecil, O'ong menekuni silat berbagai aliran, antara lain Kuntao, Madura, dan Bawean. Sebagai atlet, prestasinya segudang. Ia mempertahankan gelar juara pencak silat nasional dan internasional selama delapan tahun berturut-turut sepanjang 1979-1987. Ia juga menjadi juara dunia di kelas bebas putra pada invitasi internasional pertama (1982) dan kedua (1984) serta juara pertama SEA Games XIV (1987).

Setelah karier sebagai atletnya usai, O'ong pindah ke Belanda. Di sanalah tercetus ide meneliti pencak silat. Sumbangannya di bidang penelitian adalah buku setebal 400 halaman berjudul Pencak Silat: Merentang Waktu (2008). Untuk membuat buku itu, ia melakukan studi pustaka serta mewawancarai puluhan pendekar berbagai aliran silat dari beragam padepokan di pelosok Indonesia. Teori besar yang ia sampaikan lewat buku itu di antaranya silat adalah ilmu bela diri yang berakar dari rumpun Melayu yang tersebar dari timur Madagaskar hingga daratan Asia Tenggara. Ia mencatat setidaknya ada 260 gaya dan aliran silat. Setiap daerah punya kekhasan masing-masing.

Pameran ini berpangkal pada ide pematung senior Dolorosa Sinaga. Tahun lalu, Dolorosa diminta membuat sebuah patung tentang silat untuk keperluan acara "Penghargaan Pencak Silat O'ong Maryono". Dolorosa berpikir, alangkah baiknya jika yang terlibat membuat patung bukan hanya dia. Membuat karya yang terinspirasi silat mestilah menjadi hal yang menarik bagi pematung. Sebab, di dalam silat, terkandung unsur-unsur yang serupa dengan seni patung.

"Ada elemen bentuk, gerak, komposisi, dan rasa," ujar Dolorosa.

Apalagi silat punya banyak dimensi. Sebagaimana ditulis O'ong dalam bukunya, ada aspek bela diri, seni tari, seni gerak, olahraga, dan aspek spiritual pada silat. Inilah yang menjadi tantangan bagi para perupa. Mereka tidak sekadar diminta menyalin bentuk, tapi juga dituntut mengabadikan "gerak" berikut "isi" yang terkandung di dalam silat.

Setiap perupa dipersilakan mencari jalan sendiri untuk mencari referensi dan inspirasi tentang pencak silat. Yang tak punya latar belakang silat bisa jadi butuh waktu lama untuk merenung dan berpikir.

Kekayaan pengetahuan akan dunia silat tampak jika kita menyimak empat karya Ilham Rohadi, pemegang sabuk putih. Di padepokan silat tempat Ilham berguru, sabuk putih itu tingkatan yang setara dengan grand master untuk karate.

Patung-patung kecil yang terbuat dari campuran serbuk kayu jati dan resin itu menangkap gerakan silat yang dipelajari hampir sepanjang hidup perupa 62 tahun itu. Sikap Pasang Tengah, Sikap Pasang Permainan Tombak, Kerbau Seruduk Dada, dan Hindaran Sempok Silat Pedang Bawean adalah segelintir dari sekian banyak jurus dan kuda-kuda yang dipelajari Ilham di sanggar silat Elang Putih, Bondowoso.

Sayangnya, pada karya itu pula bisa kita lihat bahwa pengetahuan yang mumpuni ihwal silat tak selamanya menjamin perupa berhasil membuat karya jadi hidup. Dibutuhkan penguasaan komposisi dan anatomi yang sempurna untuk membuat patung-patung itu tampak seperti pendekar yang sedang berlaga ketimbang berpose.

Penguasaan teknik pembuatan karya trimatra ditunjukkan Dunadi lewat Silat. Lihatlah bagaimana ia membuat dua pendekar yang sedang bertarung seolah-olah kulitnya berkibar diterpa angin. Pesilat yang satu terbang menerjang dengan tendangan ke arah kepala dan melandaskan tinju ke leher lawannya. Titik serangnya terpusat pada bagian-bagian fatal. Dunadi membuat patung itu sedemikian rupa sehingga lawan yang takluk tampak kehilangan kuda-kuda. Tapi justru di atas kuda-kuda yang rapuh itu terletak titik keseimbangan patung.

Kita bisa melihat keragaman interpretasi lewat karya Kuda-kuda Nanang Petrusi dan You Will Be in My Heart Cahyo Baskoro. Figur patung mereka tak berusaha mendekati bentuk orang bersilat ataupun berkelahi. Pada patung Cahyo malah ada wajah singa, ular kobra, monyet, kijang, dan elang yang mencuat dari jantung raksasa. Sedangkan karya Nanang hanya berupa kaki yang terbuat dari berlapis-lapis kayu, berdiri tanpa tubuh dan kepala.

Ananda Badudu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus