10 November 1483, seorang bayi lahir di Eisleben, Saxony, di
wilayah yang kini terbilang Jerman Timur. Martin Luther, tentu
saja. Tapi kenapa anak lelaki buruh tambang bekas petani ini
kelak bisa mengguncang kehidupan agama sampai 500 tahun, dan
mengubah sejarah?
Pertama-tama, mungkin karena tabiatnya. Ayahnya, Hans, dan
ibunya, Grethe, punya cara mendidik yang lazim di kalangan bawah
masa itu: bahwa anak, agar berada di jalan yang benar, harus
dipukul dengan tongkat yang tepat. Martin Luther bertahun
kemudian menulis tentang perlakuan orangtuanya kepada dirinya,
"Kehidupan yang keras dan kasar yang kutempuh bersama mereka
jadi alasan kenapa aku kemudian mencari perlindungan ke biara
dan jadi rahib."
Dan agaknya itu pula sebabnya ia jadi pemberontak kepada
otoritas - terutama Bapa Suci di Roma. Agama yang membesarkan
Martin, anak kedua dari tujuh bersaudara itu, adalah agama yang
muram. Tuhan digambarkan mahakeras dan mengancam tiap saat
dengan neraka abadi. Di sekolall Martin juga dijejali ajaran
serta dibiasakan dengan hukuman pukul.
Mungkin itu pula sebabnya Martin kelak menulis, tentang manusia,
dengan kata-kata ini: "Kita semua adalah anak-anak kemurkaan."
Manusia pada dasarnya cenderung berdosa. "Tak seorang pun
menurut kodrat bersifat Kristen ataupun saleh .... Yang jahat
selalu melebihi jumlah yang baik." Di dunia yang seperti itu,
hanya derita dan kematian Kristus, kata Luther, yang menebus
dosa manusia, dan hanya iman kepada penebusan itu yang
menyelamatkan manusia dari api neraka.
Orang yang keras - memang itulah Martin Luther. "Aku telah
dilahirkan untuk perang," tulisnya, ".... sebab itu bukuku
gemuruh serta galak." Tak heran bila ia, dalam sebuah lukisan
lama, pernah digambar dalam pakaian kesatria, dengan zirah dan
pedang, tegak di depan Kota Worms tempat ia di tahun 1521
diadili serta dihukum Gereja.
Namun, kekerasan hanyalah satu sisi saja dari kepribadian
pembaharu agama yang gemar berpolemik ini. Lahir di malam
peringatan Santo Martinus (konon pelindung kegembiraan dan minum
-minum), dan diberi nama menurut nama san santo, Luther tak
menolak kenikmatan hidup yang sehari-hari. Bahkan dalam soal
makan, bukan cuma fitnah bila seorang lawannya suatu kali
mencercanya sebagai "pendeta gembul". Luther sendiri pernah
mengatakan, "Aku makan seperti seorang Bohemia dan minum seperti
seorang Jerman, syukur ya Tuhan, Amin."
Dengan singkat, Luther adalah seorang yang penuh vitalitas. Tapi
tentu bukan karena kekuatan wataknya saja yang menyebabkan orang
yang bisa memaki Paus dengan kata-kata kasar ini berhasil
mengguncang Eropa di abad ke-15. Zamannya memang menantikannya.
Bahkan ia punya pendahulu, lama sebelum ia dilahirkan.
Pendahulu itu, antara lain, adalah Jan dari Husinetz, atau
disingkat Jan Huss. Padri dari Praha ini di tahun 1411
memberontak kepada Paus Johanes, sebagaimana Luther seabad lebih
kemudian membangkang kepada Paus Leo.
"Memberontak melawan seorang paus yang salah adalah mematuhi
Yesus Kristus," demikianlah statemen Huss. Pada 1411, Paus
Johanes XXIII (lain dari Paus Johanes XXIII yang kemudian, tahun
1958-1963) menawarkan indulgensi. "Pengampunan" hukuman
sementara akibat suatu dosa ini dalam ajaran Gereja, hanya
diberikan kepada mereka yang berbuat baik. Dalam praktek zaman
itu, "berbuat baik" bisa berarti memberi uang untuk proyek
gerejani. Dalam zaman Paus Johanes XXIII dari abad ke-15, proyek
gerejani utama adalah perang.
Johanes XXIII memang bertahta dalam masa yang ruwet. Ia dipilih
menggantikan seorang paus yang mendadak wafat - seorang paus
yang dimaksudkan untuk mengatasi perpecahan Gereja masa itu,
dengan adanya Paus Gregorius dan Paus Benedictus. Johanes harus
mengukuhkan kekuasaannya. Perang, tentu saja salah satu jalan
menghadapi para raja pendukung paus yang lain. Tapi perang perlu
biaya.
Menjual indulgensi untuk ongkos perang itulah yang ditentang Jan
Huss dengan sengit. Ia memang tak sendiri. Sang Paus,
sebaliknya, seorang yang tak punya wibawa kerohanian: Johanes
XXIII akhirnya juga dimakzulkan oleh Konsili di Constance (kini
Jerman Barat) pada 1414. Tapi tak urung Jan Huss juga harus
berhadapan dengan Konsili itu. Tak mau mencabut seluruh
tulisannya, Huss pada 1415 dihukum bakar hidup-hidup. Ia mati,
seraya menyanyikan masmur.
100 tahun kemudian, sebuah risalah Huss terbaca oleh Luther. Ia
waktu itu masih seorang pastor berusia 25 tahun. Luther
terkesima. Ia heran kenapa "seorang yang bisa menulis sedemikian
kristiani dan sedemikian kuatnya dihukum bakar." Selesai membaca
Huss, ia pun "berpaling dengan hati yang luka".
Juga hati yang ragu. Dalam usia sekitar 30 tahun itu pikiran
keagamaannya berkembang mengikuti arah tersendiri. Bagi Luther
hanya iman saja yang akan memberikan iustitia. Seperti inti
surat Paulus kepada jemaah di Roma, manusia dibenarkan karena
iman. "Bukankah suatu kabar gembira," tulis Luther, "bila suatu
ketika ada seorang yang penuh dosa, Injil datang dan berkata
kepadanya: Percayalah dan berimanlah, maka dosamu dihapuskan?"
Memang, salah satu kritik kepada ajaran Luther: ia seakan
menganggap bahwa dengan iman segala akan beres. Namun, seperti
kemudian dikatakan ahli teologi Rudolf Hermann, rumus Luther
yang sebenarnya ialah, seorang yang berdosa "tetap benar dan
tetap pendosa sekaligus". Luther sendiri pernah dikutip
mengatakan, agak bergurau, "Kalau seseorang terlalu takut
berbuat dosa, ia akan sesat". Salah satu pertanda sesat itu
agaknya: orang menghindari dosa hanya karena takut akan hukuman,
bukan karena dosa itu sendiri suatu pelanggaran.
Tak heran bila Luther kemudian lebih dikenal karena
perlawanannya terhadap indulgensi, yang seakan merupakan ijazah
bebas hukuman dari dosa. Indulgensi, yang hanya dapat diberikan
dengan wibawa kepausan, sebenarnya tak menyatakan bahwa
pengampunan Tuhan dapat diperjualbelikan. Juga ia tak dapat
diperoleh oleh mereka yang tak bertobat atau mengakui dosa.
Tapi, seperti di masa Jan Huss, di masa Luther pun kebutuhan
akan uang mambuahkan penyelewengan.
Paus Leo X, seperti Paus Julius sebelumnya, ingin membangun
basilika baru di atas makam Santo Petrus di Vatikan. Sebuah
bulla atau maklumat dikeluarkan: siapa yang menyumbang proyek
Tahta Suci itu akan memperoleh indulgensi. Maka, dikirimlah para
pengkhotbah ke seluruh Eropa. Ke tepi Kota Wittenberg datanglah
Johan Tetzel, pastor yang memang pandai memikat, bagaian
seorang pemain sirkus.
Tetzel sebenarnya tak bisa masuk kota diwilayah Saxony itu.
Penguasa Saxony, Frederich yang Bijak, melarangnya. Sang raja
merasa diperlakukan tak adil oleh Paus. Ia tak dapat bagian dari
uang yang diperoleh melalui penawaran indulgensi. Seperti raja
-raja lain di Eropa, Frederich menolak mengalirnya duit dari
negeri mereka ke Roma. Tapi, tak seperti Henry VIII di Inggris
(yang mendapat 25% dari uang iridulgensi) atau Albert dari
Hohenzollern (yang memperoleh 50%), raja Saxony tak dapat
apa-apa. Ia marah.
Begitu pula Luther, pastor pengajar di Universitas Wittenberg
itu. Tentu saja dengan alasan lain: bukan finansial, tapi
teologis. Dan 31 Oktober 1517, Luther pun melakukan tindakan
bersejarahnya: memasang plakat berisi 95 tesis menantang debat
di pintu utara Gereja Kastil. Isinya, antara lain: penjual
indulgensi menipu karena Paus, atau siapa pun, tak punya hak
mengatur proses pengadilan di akhirat.
"Dalam tiga minggu akan kusuruh lemparkan orang murtad itu ke
dalam api," kata Tetzel geram, mendengar tindakan Luther. Tapi
zaman telah berubah, seabad setelah tubuh Jan Huss diperlakukan
demikian. Pada 1520 Paus Leo X mengeluarkan bulla menghukum
karya Luther, tapi selama empat dasawarsa pertama abad ke-16 itu
Gereja ditinggalkan di mana-mana: di Inggris oleh Henry VIII dan
di Jenewa oleh Calvin, yang membela kaum pembangkang penyeru
reformasi itu.
Luther tak mati dibakar. Ia meninggal dalam usia 63, setelah
malamnya makan enak. Tapi tak berarti segalanya tenang.
Toleransi ternyata tetap tipis. Perang dan sengketa pun tak
kunjung reda antara orang Protestan dan Katolik. Dicampur dengan
kepentingan politik, ekonomi, ataupun kemegahan, kita masih
menyaksikan sisanya di Irlandia kini.
Tapi itu di Eropa, dan juga di luar pengaruh Gereja. Di
Indonesia, yang sepi dari peringatan 500 tahun Martin Luther,
orang Kristen tampaknya lebih cenderung "bergerak dengan
semangat oikumenis", seperti kata Dr. Fridolin Ukur dari Lembaga
Penelitian dan Studi Dewan Gereja Indonesia. Mungkin Luther juga
mengingatkan, kadang dengan ngeri, beratnya beban pembaharu dan
sengitnya intoleransi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini