Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

500 tahun dari wittenberg

Peringatan 500 tahun lahirnya martin luther, pelopor pembaharu agama kristen (protestantisme). perang antara orang katolik & protestan masih seru di irlandia. (ag)

12 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

10 November 1483, seorang bayi lahir di Eisleben, Saxony, di wilayah yang kini terbilang Jerman Timur. Martin Luther, tentu saja. Tapi kenapa anak lelaki buruh tambang bekas petani ini kelak bisa mengguncang kehidupan agama sampai 500 tahun, dan mengubah sejarah? Pertama-tama, mungkin karena tabiatnya. Ayahnya, Hans, dan ibunya, Grethe, punya cara mendidik yang lazim di kalangan bawah masa itu: bahwa anak, agar berada di jalan yang benar, harus dipukul dengan tongkat yang tepat. Martin Luther bertahun kemudian menulis tentang perlakuan orangtuanya kepada dirinya, "Kehidupan yang keras dan kasar yang kutempuh bersama mereka jadi alasan kenapa aku kemudian mencari perlindungan ke biara dan jadi rahib." Dan agaknya itu pula sebabnya ia jadi pemberontak kepada otoritas - terutama Bapa Suci di Roma. Agama yang membesarkan Martin, anak kedua dari tujuh bersaudara itu, adalah agama yang muram. Tuhan digambarkan mahakeras dan mengancam tiap saat dengan neraka abadi. Di sekolall Martin juga dijejali ajaran serta dibiasakan dengan hukuman pukul. Mungkin itu pula sebabnya Martin kelak menulis, tentang manusia, dengan kata-kata ini: "Kita semua adalah anak-anak kemurkaan." Manusia pada dasarnya cenderung berdosa. "Tak seorang pun menurut kodrat bersifat Kristen ataupun saleh .... Yang jahat selalu melebihi jumlah yang baik." Di dunia yang seperti itu, hanya derita dan kematian Kristus, kata Luther, yang menebus dosa manusia, dan hanya iman kepada penebusan itu yang menyelamatkan manusia dari api neraka. Orang yang keras - memang itulah Martin Luther. "Aku telah dilahirkan untuk perang," tulisnya, ".... sebab itu bukuku gemuruh serta galak." Tak heran bila ia, dalam sebuah lukisan lama, pernah digambar dalam pakaian kesatria, dengan zirah dan pedang, tegak di depan Kota Worms tempat ia di tahun 1521 diadili serta dihukum Gereja. Namun, kekerasan hanyalah satu sisi saja dari kepribadian pembaharu agama yang gemar berpolemik ini. Lahir di malam peringatan Santo Martinus (konon pelindung kegembiraan dan minum -minum), dan diberi nama menurut nama san santo, Luther tak menolak kenikmatan hidup yang sehari-hari. Bahkan dalam soal makan, bukan cuma fitnah bila seorang lawannya suatu kali mencercanya sebagai "pendeta gembul". Luther sendiri pernah mengatakan, "Aku makan seperti seorang Bohemia dan minum seperti seorang Jerman, syukur ya Tuhan, Amin." Dengan singkat, Luther adalah seorang yang penuh vitalitas. Tapi tentu bukan karena kekuatan wataknya saja yang menyebabkan orang yang bisa memaki Paus dengan kata-kata kasar ini berhasil mengguncang Eropa di abad ke-15. Zamannya memang menantikannya. Bahkan ia punya pendahulu, lama sebelum ia dilahirkan. Pendahulu itu, antara lain, adalah Jan dari Husinetz, atau disingkat Jan Huss. Padri dari Praha ini di tahun 1411 memberontak kepada Paus Johanes, sebagaimana Luther seabad lebih kemudian membangkang kepada Paus Leo. "Memberontak melawan seorang paus yang salah adalah mematuhi Yesus Kristus," demikianlah statemen Huss. Pada 1411, Paus Johanes XXIII (lain dari Paus Johanes XXIII yang kemudian, tahun 1958-1963) menawarkan indulgensi. "Pengampunan" hukuman sementara akibat suatu dosa ini dalam ajaran Gereja, hanya diberikan kepada mereka yang berbuat baik. Dalam praktek zaman itu, "berbuat baik" bisa berarti memberi uang untuk proyek gerejani. Dalam zaman Paus Johanes XXIII dari abad ke-15, proyek gerejani utama adalah perang. Johanes XXIII memang bertahta dalam masa yang ruwet. Ia dipilih menggantikan seorang paus yang mendadak wafat - seorang paus yang dimaksudkan untuk mengatasi perpecahan Gereja masa itu, dengan adanya Paus Gregorius dan Paus Benedictus. Johanes harus mengukuhkan kekuasaannya. Perang, tentu saja salah satu jalan menghadapi para raja pendukung paus yang lain. Tapi perang perlu biaya. Menjual indulgensi untuk ongkos perang itulah yang ditentang Jan Huss dengan sengit. Ia memang tak sendiri. Sang Paus, sebaliknya, seorang yang tak punya wibawa kerohanian: Johanes XXIII akhirnya juga dimakzulkan oleh Konsili di Constance (kini Jerman Barat) pada 1414. Tapi tak urung Jan Huss juga harus berhadapan dengan Konsili itu. Tak mau mencabut seluruh tulisannya, Huss pada 1415 dihukum bakar hidup-hidup. Ia mati, seraya menyanyikan masmur. 100 tahun kemudian, sebuah risalah Huss terbaca oleh Luther. Ia waktu itu masih seorang pastor berusia 25 tahun. Luther terkesima. Ia heran kenapa "seorang yang bisa menulis sedemikian kristiani dan sedemikian kuatnya dihukum bakar." Selesai membaca Huss, ia pun "berpaling dengan hati yang luka". Juga hati yang ragu. Dalam usia sekitar 30 tahun itu pikiran keagamaannya berkembang mengikuti arah tersendiri. Bagi Luther hanya iman saja yang akan memberikan iustitia. Seperti inti surat Paulus kepada jemaah di Roma, manusia dibenarkan karena iman. "Bukankah suatu kabar gembira," tulis Luther, "bila suatu ketika ada seorang yang penuh dosa, Injil datang dan berkata kepadanya: Percayalah dan berimanlah, maka dosamu dihapuskan?" Memang, salah satu kritik kepada ajaran Luther: ia seakan menganggap bahwa dengan iman segala akan beres. Namun, seperti kemudian dikatakan ahli teologi Rudolf Hermann, rumus Luther yang sebenarnya ialah, seorang yang berdosa "tetap benar dan tetap pendosa sekaligus". Luther sendiri pernah dikutip mengatakan, agak bergurau, "Kalau seseorang terlalu takut berbuat dosa, ia akan sesat". Salah satu pertanda sesat itu agaknya: orang menghindari dosa hanya karena takut akan hukuman, bukan karena dosa itu sendiri suatu pelanggaran. Tak heran bila Luther kemudian lebih dikenal karena perlawanannya terhadap indulgensi, yang seakan merupakan ijazah bebas hukuman dari dosa. Indulgensi, yang hanya dapat diberikan dengan wibawa kepausan, sebenarnya tak menyatakan bahwa pengampunan Tuhan dapat diperjualbelikan. Juga ia tak dapat diperoleh oleh mereka yang tak bertobat atau mengakui dosa. Tapi, seperti di masa Jan Huss, di masa Luther pun kebutuhan akan uang mambuahkan penyelewengan. Paus Leo X, seperti Paus Julius sebelumnya, ingin membangun basilika baru di atas makam Santo Petrus di Vatikan. Sebuah bulla atau maklumat dikeluarkan: siapa yang menyumbang proyek Tahta Suci itu akan memperoleh indulgensi. Maka, dikirimlah para pengkhotbah ke seluruh Eropa. Ke tepi Kota Wittenberg datanglah Johan Tetzel, pastor yang memang pandai memikat, bagaian seorang pemain sirkus. Tetzel sebenarnya tak bisa masuk kota diwilayah Saxony itu. Penguasa Saxony, Frederich yang Bijak, melarangnya. Sang raja merasa diperlakukan tak adil oleh Paus. Ia tak dapat bagian dari uang yang diperoleh melalui penawaran indulgensi. Seperti raja -raja lain di Eropa, Frederich menolak mengalirnya duit dari negeri mereka ke Roma. Tapi, tak seperti Henry VIII di Inggris (yang mendapat 25% dari uang iridulgensi) atau Albert dari Hohenzollern (yang memperoleh 50%), raja Saxony tak dapat apa-apa. Ia marah. Begitu pula Luther, pastor pengajar di Universitas Wittenberg itu. Tentu saja dengan alasan lain: bukan finansial, tapi teologis. Dan 31 Oktober 1517, Luther pun melakukan tindakan bersejarahnya: memasang plakat berisi 95 tesis menantang debat di pintu utara Gereja Kastil. Isinya, antara lain: penjual indulgensi menipu karena Paus, atau siapa pun, tak punya hak mengatur proses pengadilan di akhirat. "Dalam tiga minggu akan kusuruh lemparkan orang murtad itu ke dalam api," kata Tetzel geram, mendengar tindakan Luther. Tapi zaman telah berubah, seabad setelah tubuh Jan Huss diperlakukan demikian. Pada 1520 Paus Leo X mengeluarkan bulla menghukum karya Luther, tapi selama empat dasawarsa pertama abad ke-16 itu Gereja ditinggalkan di mana-mana: di Inggris oleh Henry VIII dan di Jenewa oleh Calvin, yang membela kaum pembangkang penyeru reformasi itu. Luther tak mati dibakar. Ia meninggal dalam usia 63, setelah malamnya makan enak. Tapi tak berarti segalanya tenang. Toleransi ternyata tetap tipis. Perang dan sengketa pun tak kunjung reda antara orang Protestan dan Katolik. Dicampur dengan kepentingan politik, ekonomi, ataupun kemegahan, kita masih menyaksikan sisanya di Irlandia kini. Tapi itu di Eropa, dan juga di luar pengaruh Gereja. Di Indonesia, yang sepi dari peringatan 500 tahun Martin Luther, orang Kristen tampaknya lebih cenderung "bergerak dengan semangat oikumenis", seperti kata Dr. Fridolin Ukur dari Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja Indonesia. Mungkin Luther juga mengingatkan, kadang dengan ngeri, beratnya beban pembaharu dan sengitnya intoleransi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus