Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Berakhirnya Keriuhrendahan

Untuk pertama kali Trienale Seni Grafis Indonesia mengadakan kompetisi internasional. Apa kekurangan pegrafis kita dibanding pegrafis luar?

9 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak 2003, Bentara Budaya menyelenggarakan Kompetisi Trienale Seni Grafis Indonesia. Inisiatif penyelenggaraan kompetisi seni grafis itu didasari anggapan bahwa medan seni rupa kita sudah lama didominasi praktek seni lukis, termasuk seluk-beluk wacana dan pangsa pasarnya. Situasi itu membuat para pegrafis—di dalam dan di luar lembaga pendidikan seni—merasa minder; kegiatan mereka lesu, tak ajek.

Pancingan Trienale Seni Grafis dari tahun 2003 itu bersambut. Setidaknya tiap tiga tahun Bentara Budaya mengadakan kompetisi grafis. Ratusan karya seni grafis diseleksi. Dipilih yang terbaik, diganjar hadiah, dan dipamerkan keliling. Sejumlah pegrafis muda tekun mengikuti kompetisi ini. Sejak 2003 itu, Trienale tidak saja berupaya memasyarakatkan seni grafis, tapi mensyaratkan pula konvensinya, yakni prosedur teknik yang dianggap standar (lazim dikategorikan sebagai cetak tinggi, cetak datar, dan cetak dalam).

Apakah hal ini terdengar kontradiktif dengan pesatnya perkembangan teknologi cetak? Atau bertentangan dengan perluasan medium seni yang cenderung nonspesialis di masa sekarang? Saya melihat, justru selama ini karya cetak tinggi belum menunjukkan mutu yang setinggi-tingginya, dan teknik cetak dalam absen melahirkan karya seni yang cukup mendalam. Di samping itu, karya seni grafis kita kerap latah dan datar saja menafsirkan pokok berkarya. Dalam bahasa seni grafis: syarat teknis justru belum sungguh-sungguh dijelajahi dan ditaklukkan oleh para pegrafis kita.

Menarik bahwa Bentara Budaya meluaskan Trienale tahun ini menjadi kompetisi internasional yang diikuti pegrafis luar negeri dari 20 negara. Informasi bahwa di negara-negara tetangga seni grafis amat maju—Singapura, misalnya, memiliki lembaga print and paper yang sangat maju, bernama Singapore Tyler Print Institute—memacu Trienale berhenti menimbang sekadar naik-turunnya animo pegrafis di Tanah Air.

Pada Trienale Seni Grafis V ini, kita perlu mencatat beberapa hal tentang pencapaian mutu dan konvensi teknik grafis. Hampir menjadi kelaziman bahwa selama ini karya-karya Trienale didominasi teknik cetak tinggi (cukilan kayu atau lino). Karya jenis ini umumnya dikerjakan pegrafis dari Yogyakarta. Lebih dari separuh karya finalis merupakan karya cetak tinggi pada Trienale lalu (2012).

Tapi lihatlah karya-karya para finalis Trienale Seni Grafis di Bentara Budaya, Jakarta, sejak 22 Oktober lalu, yang akan dipamerkan juga di Balai Soedjatmoko, Solo, sampai 26 Januari 2016. Kita menyaksikan hanya ada empat karya cukilan kayu dan lino. Yang banyak adalah penggunaan teknik cetak dalam (intaglio), seperti etsa, aquatint, dan mezzotint, atau penggunaan lebih dari satu medium. Litografi—tergolong langka di lingkungan seni grafis kita—termasuk medium favorit, diikuti cetak saring. Harap maklum, di Indonesia, mesin cetak litho cuma ada di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung.

Teknik cetak dalam—antara lain karena torehan dan pengasaman—memungkinkan munculnya berbagai citra bernuansa dan corak gambar yang halus dan rinci. Meski melalui alat cetak atau mesin, penggunaan warna mampu meninggalkan jejak yang bukan sekadar permukaan.

Lihatlah, misalnya, karya Jayanta Naskar, 40 tahun, Reinvention of Myself (2014, etsa berwarna dan intaglio), yang meraih penghargaan pertama. Seniman kelahiran Batanagar, India, ini menampilkan citra kelam dua sosok laki-laki seperti pantulan cermin; sebelah tangannya mengelus dada layaknya seorang ibu. Sosok di sebelah kiri itu gelap, gosong. Siluetnya dibentuk oleh tumpukan huruf dan terlilit tambang. Di antara kedua sosok itu, sebuah pinggan penuh berisi kata-kata yang merujuk pada bencana mengambang di bawah kecamuk horizon. Gelap-terang pada sosok dan pinggan itu memantulkan bayangan lembut dan tonjolan halus, seakan-akan kerokan benda tajam yang memunculkan tekstur kertas. Itulah kekuatan "kisah" sebuah gambar.

Citra dan nuansa fotografis yang halus, ilusi dengan teknik gelap-terang yang sempurna, muncul melalui karya seniman Thailand, Puritip Suriyapatarapun, yang karyanya, Our Whole Life Searching (2014), memperoleh hadiah kedua. Seniman dari Jurusan Lukis, Patung, dan Grafis Universitas Silpakorn ini menampilkan citra sebuah gembok terkunci, yang kalung besinya berwujud kepala manusia. Wajah pucat bercitra oriental itu seakan-akan melar, terdorong keluar. Bidang temaram memantulkan bayangan logam yang dingin di permukaan gambar. Lapisan warna lebih gelap membentuk siluet kunci yang samar-samar. Pada Eternal (2015), Puritip seakan-akan menegaskan lagi akhir dari antroposentrisme yang telah menjadi mayat. Itulah wajah manusia sebagai pasir waktu yang terbentuk dan terhapus.

Cleo Wilkinson (Australia), Rakesh Bani (India), Silvana Martignoni (Italia), dan Chayan Pol-asa (Thailand), masing-masing dengan teknik mezzotint, etsa-aquatint, dan litografi, menampilkan citra fotografis sebuah potret yang tajam dan bening, konstruksi robot yang precise, lanskap yang lembut, dan binatang-mesin sebagai kreasi baru di tengah alam. Karya-karya itu tentu menunjukkan bahwa konvensi teknik pada seni grafis bukanlah batasan yang mengekang. Sebaliknya, disiplin teknik dan berbagai variannya adalah prosedur yang niscaya untuk menampilkan kekhasan. Teknik mezzotint, misalnya, mengandaikan keterampilan mengikis tekstur permukaan pelat untuk menghadirkan tingkatan warna. Kekhasan teknik itulah yang melahirkan kekhususan corak gambar di pameran ini.

Pemenang ketiga adalah Addiction (2015, cukilan kayu), karya Muhlis Lugis. Pegrafis muda, 28 tahun, lulusan Pascasarjana Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, ini menampilkan teknik cukil klasik hitam-putih yang rapi dan teliti. Muhlis menggambarkan gumpalan lemak yang menjijikkan, rebahan di antara puing bangunan roboh. Semua anggota tubuhnya berkomunikasi dengan peranti komunikasi mutakhir.

Karya-karya ini merepresentasikan kehadiran suasana diam yang beku, berubahnya manusia menjadi gugusan benda atau obyek tak bernyawa. Apakah karya-karya itu memang menafsirkan tema Trienale, "Dunia dalam Karantina", yang dipaparkan juri sebagai "ruang bagi kepentingan sekelompok orang yang menciptakan ketidakpastian, situasi asing, dan canggung"? Boleh jadi para seniman tidak secara harfiah menafsirkan tema besar itu. Beberapa karya mungkin malah mengabaikannya. Yang lebih terasa adalah kesadaran untuk menarik jarak dengan keaktualan, menghadirkan ruang gambar yang reflektif dan metaforis.

Perhatikan bagaimana Rachmawati Widyasari menjemput citra-citra nostalgis kemurnian dan misteri masa kanak-kanak pada The New Look of Some Past (2015). Karyanya merupakan cluster tujuh gambar, menggunakan teknik etsa-aquatint dengan nuansa hitam-putih yang cermat. Tengok pula karya Tobias Crone (Jerman) yang menggambarkan adegan aneh dengan suasana represif pada deretan ruang seperti bangsal-bangsal sempit di dalam pasar becek (Dealing with the Authorities, 2015, etsa dan aquatint). Juga karya Martin Garcia-Rivera, yang mengetengahkan adegan turisme penuh parodi yang disuguhi budaya eksotis dan pseudo-primitif (Zaramambiche Danguilere Performance, 2015, dry point).

Jangan berharap Anda bersua dengan keriuhan garis, coret-moret torehan, atau cukilan untuk menggambarkan chaos masyarakat. Melalui penjelajahan medium, ketidakpastian melebur sebagai renungan tematis dan tamasya teknis. Pada saat itulah kompetisi internasional trienal ini sekaligus menjadi wahana bagi kritik seni grafis kita yang cenderung riuh-rendah dan klise menafsirkan sodoran tema.

Hendro Wiyanto, pengamat seni rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus